Jumat, 30 April 2010

Info seputar Tes HIV

Obat atau vaksin untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS belum juga ditemukan setelah dunia mengenal penyakit ini lebih dari 25 tahun. Namun demikian, orang yang ketahuan positif bisa mencegah agar penyakit HIV tidak cepat berlanjut ke tahap AIDS. Dengan menjalani terapi antiretroviral (ART), orang yang terkena HIV bisa hidup relatif sehat selama bertahun-tahun.

Maka, di saat HIV belum bisa disembuhkan, penting bagi kita semua untuk mengetahui status HIV kita dengan melakukan Tes HIV secara berkala, agar bisa lebih cepat diketahui jika positif dan bisa segera menjalani terapi pengobatan. Pasien yang baru ketahuan HIV positf setelah penyakit berada pada stadium lanjut akan lebih sulit ditolong.

Seberapa seringkah kita perlu melakukan Tes HIV? Hal itu tergantung tingkat risiko kita masing-masing tetapi tidak ada salahnya tes HIV dilakukan tiap tahun sebagai bagian dari tes rutin kesehatan.

Menurut ketentuan yang umum berlaku, Tes HIV bersifat “voluntary”. Artinya, tidak diharuskan. Yang melakukan Tes HIV perlu menyetujui dilakukannya tes tsb. dan perlu memahami cara-cara pencegahan penularan HIV serta implikasi dari tindakan itu. Terutama, bagaimana nanti seandainya hasil tes HIVnya ternyata positif? Sudahkan Peserta siap menerima kenyataan itu? Adakah orang dekat yang bisa diajak bicara soal itu? Tahukah Peserta tentang keberadaan Kelompok Pendukung Sebaya (KDS) dan KDS mana yang bisa dihubungi? Informasi itu akan diperoleh pada saat melakukan Konsultasi dengan Konselor MAUTAU.

Dengan merebaknya HIV di berbagai penjuru di dunia, banyak negara mulai mengharuskan Tes HIV. Di beberapa negara bagian di Amerika, Tes HIV bagi ibu hamil dilakukan secara rutin sejak tahun 2004. Di negeri itu, calon tentara diharuskan menjalani Tes HIV dan yang ternyata positif tidak diterima lamarannya. Tentara aktif juga harus menjalani Tes HIV, hal mana dilakuan setiap dua tahun. Tapi yang ketahuan positif tidak serta merta dikeluarkan dan boleh tetap bekerja selama keadaan fisik masih memungkinkannya.

Di beberapa negara bagian di Malaysia dan mulai tahun depan di Arab Saudi, orang yang mau menikah diharuskan melakukan Tes HIV.

Di negara-negara dengan prevalensi HIV tinggi seperti di negara-negara Afrika sub-Sahara, menurut penelitian yang baru-baru ini dilakukan (Macro/Measure DHS 2007), pernikahan merupakan sumber utama penularan baru HIV karena kebanyakan pasangan tidak tahu status HIVnya sendiri maupun status HIV pasangannya, sehingga mudah terjadi penularan antar pasangan yang salah satunya HIV positif, terutama karena penggunaan kondom secara konsisten lebih sulit dilakukan oleh pasangan yang telah menikah.

Di Indonesia sendiri, Tes HIV sampai saat ini masih bersifat “voluntary”. Tapi, walaupun telah dilakukan bebagai macam penyuluhan tentang HIV&AIDS, jumlah penduduk yang telah melakukan Tes HIV sampai saat ini masih tergolong rendah. Pertama, tidak banyak yang menyadari bahwa HIV&AIDS sebetulnya mengancam kita semua, sehingga yang merasa tidak berperilaku berisiko tertular HIV tidak menganggap perlu melakukan Tes HIV karena yakin bahwa mereka pasti negatif. Kedua, karena stigma yang melekat pada HIV&AIDS begitu kuat, maka banyak orang yang seharusnya ingin tahu status HIVnya, urung datang ke laboratorium untuk melakukan Tes HIV karena alasan malu, enggan, takut, dll.

Untuk itulah, antara lain, MAUTAU mengadakan Kon TesHIV sehingga yang tidak mau bertatap muka dengan Konselor bisa mendapatkan informasi tentang HIV&AIDS dengan melakukan Konsultasi Online melalui Chatting Tertutup dengan Konselor MAUTAU yang bersertifikasi nasional, dan melakukan Tes HIV di laboratorium yang menjadi bagian dari jaringan kerjasama MAUTAU tanpa harus mengungkapkan jati dirinya.

Bagi yang ingin melakukan Tes HIV dan melakukan Konsultasi Online melalui Chatting Tertutup dengan Konselor MAUTAU klik di sini.

Di Amerika, di mana kesadaran melakukan Tes HIV lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang, ternyata 1 dari 3 orang yang diperkirakan mengidap HIV tidak mengetahui status HIVnya. Oleh karenanya, Tes HIV di sana sekarang dijadikan bagian dari tes rutin kesehatan. Hal ini disebut dengan istilah Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Artinya, inisiatif melakukan Tes HIV bukan berasal dari Pasien tetapi dari pihak rumah sakit atau klinik, di mana orang yang melakukan tes rutin kesehatan juga menjalani Tes HIV, kecuali jika orang yang bersangkutan secara spesifik menyatakan tidak mau melakukannya. Cara penolakan ini disebut “opt-out”.

Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, diperkirakan lebih dari 80% orang yang mengidap HIV tidak tahu status HIVnya. Di Indonesia, seperti yang tercantum pada Stranas 2007-2010, jumlah penduduk yang telah mendapatkan penyuluhan tentang HIV&AIDS dan yang telah melakukan Tes HIV sampai saat ini masih rendah, namun tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah orang yang diperkirakan mengidap HIV tetapi tidak tahu status HIVnya.

Semoga dengan hadirnya MAUTAU, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang “tahu” status HIVnya bisa lekas tercapai, sehingga AIDS STOP DISINI.


Tes Antibody

Pada umumnya, Tes HIV yang dilakukan di klinik-klinik yang melayani Tes HIV ialah Tes Antibody HIV. Artinya, tes ini mencari antibody terhadap virus yang ada di dalam darah pasien. Bagi kebanyakan orang, antibody memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan untuk terbentuk di dalam darah. Tapi ada juga yang sampai 6 bulan, dan bahkan lebih dari 6 bulan walaupun hal ini sangat jarang terjadi. Bisa dikatakan, 99% dari infeksi HIV bisa terdeteksi dalam waktu 6 bulan setelah terjadi paparan terhadap HIV, melalui Tes Antibody. Jangka waktu di mana seseorang telah tertular HIV tetapi antibody belum terbentuk di dalam tubuhnya disebut sebagai “masa jendela”.

Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang, maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut “antibody”. Antibody merupakan respon dari tubuh terhadap terjadinya suatu infeksi. Maka, jika seseorang memiliki antibody terhadapHIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi dengan HIV.

Semua Tes Antibody yang tersedia saat ini berdasarkan teknik ELISA (disebut juga EIA) dan Western Blot, yang mana biasanya dilakukan setelah “masa jendela” berlalu. Jika hasil tes ELISA negatif, tidak perlu dilakukan tes konfirmasi ulang. Tapi jika hasil tes ELISA positif dan setelah diulang lagi juga positif, maka hasil tes harus dikonfirmasi ulang dengan teknik lain, biasanya dengan melakukan Tes Western Blot atau Tes IFA. Tes ini bisa dilakukan atas specimen darah dari tabung darah yang sama. Seorang pasien baru dianggap HIV+ jika hasil tesnya positif pada tes ELISA dan tes Western Blot/ Tes IFA.

Yang perlu diingat ialah bahwa hasil tes yang negatif tidak selalu berarti bahwa orang itu bebas dari HIV, mengingat antibody belum bisa terdeteksi bila penularan baru saja terjadi. Untuk memastikan bahwa seseorang memang tidak terinfeksi oleh HIV maka sebaiknya dilakukan tes HIV 3 sampai 6 bulan setelah terjadi paparan. Jika seseorang merasa telah melakukan tindakan yang dianggap berisiko tertular HIV tetapi hasil tes HIVnya ternyata negatif, sebaiknya tes HIV dilakukan lagi 3 bulan kemudian.

Kadang kala, hasil dari tes Western Blot tidak menunjukkan positif atau negatif tetapi “indeterminate”, artinya “tidak pasti”. Ini bisa berarati bahwa orang yang bersangkutan baru saja terinfeksi dengan HIV sehingga belum terbentuk antibody di dalam darahnya atau bisa juga karena diakibatkan oleh suatu kondisi yang tidak ada hubungannya dengan HIV. Maka, hasil tes yang “indeterminate” perlu diulang lagi beberapa minggu kemudian untuk memastikan apakah orang itu sebetulnya terinfeksi dengan HIV atau tidak.

Belum lama ini, satu-satunya cara untuk melakukan tes Antibody di dalam tubuh ialah dengan melakukan tes darah pada pasien. Tapi kini, dengan kemajuan teknologi, Tes Antibody bisa dilakukan melalui cairan mulut atau air seni dan ada juga yang bisa memberi hasil yang cepat, yang disebut dengan Rapid Test.

Tes Cairan Mulut
Tes ini mendeteksi antibody di dalam cairan di dalam mulut yang menempel pada gusi, yang disebut “mucosal transudate” (sangat mirip dengan air liur). Tes ini biasanya dilakukan pada pasien yang takut dengan jarum suntik atau tidak suka diambil darahnya, ataupun orang yang darahnya sulit diambil melalui urat nadinya. Tes ini juga dianjurkan bagi para “hemophiliac” (orang yang jika mengalami luka, darahnya terus megalir sehingga luka sulit mengering).

Tes Air Seni
Seperti Tes Air Liur, kelebihan Tes Air Seni ini ialah tidak perlu menggunakan jarum suntik untuk mengambil specimen dari pasien.

Rapid Test (Tes Cepat)
Rapid HIV Test (Tes HIV Cepat) juga merupakan Tes Antibody. Kelebihan tes ini ialah pasien tidak perlu kembali lagi di lain waktu untuk mengambil hasil tesnya karena hasil Rapid Test bisa diketahui dalam waktu 15-30 menit. Rapid Test ini sekali pakai dan tidak memerlukan perlengkapan laboratorium yang canggih ataupun petugas laboratorium yang handal. Specimen yang bisa dites dengan Rapid Test ialah darah atau cairan mulut yang menempel pada gusi.


Tes Antigen p24

Yang disebut sebagai antigen p24 ialah protein yang merupakan bagian dari HIV. Dalam kurun waktu beberapa minggu setelah terjadi penularan HIV, p24 diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang berlebihan dan dapat terdeteksi di dalam serum darah. Oleh karena Tes Antigen p24 bisa mendeteksi infeksi HIV sebelum terbentuknya antibody HIV. Maka tes ini digunakan untuk melakukan diagnosis HIV pada awal terjadinya infeksi. Jenis tes ini biasanya dianjurkan dilakukan 2 sampai 4 minggu setelah kemungkinan terjadi paparan terhadap HIV. Namun demikian, perlu diingat bahwa tidak semua orang yang baru saja terinfeksi dengan HIV mempunyai tingkat p24 yang dapat terdeteksi di dalam darahnya. Tes Antigen p24 (postif maupun negatif) harus selalu dibarengi dengan Tes HIV lainnya sebelum status pasien bisa ditentukan.


NAT (PCR)

Tes HIV yang mendeteksi unsur genetik HIV itu sendiri (jadi bukan antibody atau antigen HIV yang dideteksi) disebut sebagai Tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Proses ekstraksi dan amplifikasi unsur genetik suatu organisme (dalam hal ini HIV) dan pengetesannya dengan Tes PCR disebut dengan istilah Nucleic-acid Amplification Test (NAT). Ada dua jenis NAT, yaitu Tes PCR RNA dan Tes PCR DNA

Di negara maju, Tes PCR RNA biasanya digunakan untuk melakukan tes pada donasi darah dan donasi organ tubuh untuk memastikan tidak terkontaminasi dengan HIV. Tes CPR RNA bisa dilakukan kurang lebih 11 hari setelah terjadi paparan untuk menghasilkan tes yang positif.

Tes PCR DNA digunakan untuk melakukan tes pada bayi yang baru lahir (yang berumur kurang dari 18 bulan) dari ibu yang HIV+, di mana Tes Antibody tidak selalu dapat dipercaya (tidak “reliable”). Tes CPR DNA bisa dilakukan 3-4 minggu setelah terjadi paparan untuk menghasilkan tes yang positif walaupun kadang-kadang bisa lebih cepat. Namun perlu diingat bahwa, walaupun Tes PCR DNA bisa mendeteksi infeksi HIV lebih dini, tes ini tidak selalu bisa mendeteksi infeksi HIV.

Kedua jenis Tes HIV di atas bisa digunakan untuk mengukur jumlah virus yang ada di dalam tubuh pasien, maka disebut juga sebagai Viral Load Test. NAT kadang-kadang juga dipakai untuk melakukan diagnosis pada pasien tapi karena harganya mahal dan prosesnya sangat sulit, maka yang lazim dipakai di klinik-klinik pada umumnya ialah Tes Antibody HIV.

NAT biasanya memberikan hasil jauh lebih cepat daripada Tes Antibody yang standar, maka sangat berguna untuk kasus-kasus di mana diagnosis dini diperlukan. Karena Tes PCR sangat peka, maka lebih sering menghasilkan false positive result (hasil positif tetapi setelah dites ulang ternyata negatif) daripada false negative result. Maka, jika terjadi hasil tes yang positif, akan dilakukan konfirmasi ulang dengan melakukan Tes Antibody yang standar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar