Jumat, 30 April 2010

AIDS 2

Cermin Dunia Kedokteran No. 31 33
Berbagai Pemeriksaan Imunologi
untuk Menunjang Diagnosa
dr.
Siti Boedina Kresno
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta
Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi dan imunokimia
membuka jalan bagi kinik untuk secara luas menerapkan
pemeriksaan laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosa
dan sebagai pedoman
penatalaksanaan penderita. Secara umum
pemeriksaan imunologi dalam menunjang diagnosa tersebut
dibagi dalam dua golongan
1
, yaitu :
I. pemeriksaan imunologi untuk menentukan kompetensi
imunologik baik pada orang normal maupun pada kelainan
respons imunologik.
II.
pemeriksaan imunologi yang dipakai untuk menunjang
diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik.
Dalam makalah ini penulis membatasi diri pada prinsip-prinsip
imunodiagnostik
in vitro
yang pada saat ini telah dapat
dilakukan di laboratorium Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Disamping itu
akan dikemukakan pula beberapa tes untuk
menguji respons imunologik seluler yang sepengetahuan penulis
telah dapat dilakukan di laboratorium
-
laboratorium tertentu di
Indonsia.
Pada
bagian
lain tulisan ini akan
dikemukakan prinsip-
prinsip berbagai tes imunokimia yang selain dapat dipakai untuk
menguji respons imunologik humoral juga dapat dipakai untuk
menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik.
I. Pemeriksaan untuk menilai fungsi imunologik.
Untuk
memudahkan
Bellanti
'
membagi
pemeriksaan-
pemeriksaan ini dalam 3 golongan, yaitu tes untuk menguji
respons imunologikc non spesifik (primer), spesifik (sekunder)
dan yang mengakibatkan kerusakan jaringan (tertier).
1. Tes untuk menguji respons imunologik nonspesifik
menggambarkan respons tubuh terhadap benda asing secara
nonspesifik, baik berupa reaksi inflamasi maupun reaksi
fagositosis. Yang dapat dilakukan
in vitro
diantaranya adalah
hitung jumlah leukosit danhitung jenis,
penetapan laju endap
darah, dan penetapan CRP
untuk reaksi inflamasi, serta
penetapan NBT (nitroblue tetrazolium) untuk reaksi fagositosis.
2. Tes untuk menguji respons
imunologik spesifik (sekunder)
dapat
pula digolongkan dalam jenis-jenis tes untuk menguji
respons imunologik seluler d
an jenis-jenis tes untuk menguji
respons imunologik humoral.
Uji respons imunologik seluler.
Diantara uji respons imunologik seluler
yang sudah sering
dilakukan
adalah penentuan jumlah limfosit T dan B, uji ham-
batan migrasi leukosit atau
makrofag (LMI) dan stimulasi
limfosit.
2
,3
Tahap pertama yang diperiksa adalah jumlah limfosit secara
absolut. Adanya limfopenia
mengarahkan pikiran kita kepada
imunodefisiensi.
Tahap selanjutnya
adalah penentuan jumlah masing
-
masing
populasi limfosit. Limfosit T dan B dapat dibedakan satu
dari
yang lain
berdasarkan
surface markers
limfosit T dan B yang
berbeda. Limfosit
B pada permukaannya menunjukkan
imunoglobulin sehingga apabila direaksikan dengan anti-imuno-
globulin yang telah ditandai (label)
dengan zat warna fluores-
cein atau zat
warna lain dapat dibihat sebagai limfosit yang
berfluoresensi dan
dapat diperlcsa dibawah mikroskop fluore-
sensi.
Limfosit T mempunyai sifat
yang khas yaitu dapat
membentuk roset
dengan eritrosit domba secara spontan suatu
sifat
yang tidak dipunyai oleh limfosit B. Dengan menghitung
berapa persen limfosit yang berfluoresensi dan berapa yang
membentuk roset
dapat diketahui jumlah limfosit B dan T
dalam darah perifer seseorang. Dalam
keadaan normal jumlah
limfosit
B adalah 1--15% sedangkan limfosit T 75--85%.
1
Selebinya
merupakan limfosit non--T non--B, termasuk
diantaranya sel K atau sel Null dan sel NK
(natural killer).

Uji
hambatan migrasi leukosit adalah suatu tes berdasarkan
kemampuan sel T untuk mengeluarkan zat-zat tertentu apabila
dirangsang. Sel T penderita yang sensitif terhadap salah satu jenis
antigen. Bila dikonfrontasikan dengan antigen itu, akan
mengeluarkan berbagai zat
(faktor).
Salah satu faktor meru-
pakan suatu zat yang dapat menghambat migrasi leukosit atau
makrofag.
3
Prinsip tes ini adalah untuk mengukur migrasi
leukosit yang diinkubasi dalam tissue culture medium limfosit
yang berisi antigen tertentu. Pada keadaan hipersensitifitas
limfosit terhadap antigen itu, migrasi leukosit ini dihambat.
Tes stimulasi limfosit berdasarkan responst limfosit terhadap
stimulasi antigen. Responst itu dapat berupa transformasi
limfosit ke dalam blast, proliferasi atau peningkatan sintesa DNA
dan RNA dalam sel tersebut. Aktifitas ini dapat diukur dengan
berbagai cara, diantaranya yang paling mudah adalah
memeriksa transformasi
sel
setelah dirangsang dengan
phytohemaglutinin (PHA).
1,2
Uji respons imunologik humoral.
Yang paling banyak dilakukan in vitro adalah penetapan imu-
noglobulin secara kwantitatif yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya cara imunodifusi radial, rocket imu-
noelektroforesis, imunonefelometri dan turbidimetri.
4-8
Penetapan ini dilakukan apabila disangka ada imunodefisi -
ensi akibat gangguan fungal sel B. Ciri utama kelainan ini
adalah penurunan kadar imunoglobulin hingga defisiensi
secara selektif misalnya defisiensi IgA, defisiensi IgM bahkan
defisiensi subkelas IgG.
Pada kelainan imunoporliferatif, disamping penetapan
imunoglobulin kuantitatif perlu pula dilakukan penetapan
imunoglobulin kualitatif.
Telah diketahui bahwa ada 2 jenis kelainan imunoproli-
feratif yaitu gamopati polilclonal yang terjadi akibat stimulasi
antigenik secara kronik, dan gamopati monoklonal yang ter-
jadi akibat proliferasi imunosit yang berasal
dari
satu clone
secara tidak terkendalikan yang biasanya terjadi pada kegana -
san
9,10
Kedua jenis gamopati ini prognosanya jauh berbeda
sehingga perlu keduanya dibedakan satu
dari
yang lain. Beberapa
cara untuk membedakannya adalah elektroforesis protein
serum, imunoelektroforesis serum dengan menggunakan
antisera monospesifik, serta elektroforesis dan imunoelektro-
foresis urin 24 jam.
3. Uji
respons imunologik yang mengakibatkan kerusakan
jaringan dilakukan apabila kerusakan jaringan disangka terjadi
akibat adanya responst imunologik baik terhadap antigen
eksogen (alergi), antigen homolog (transfusi, transplantasi,
tumor) maupun antigen autolog (penyakit autoimun).
Beberapa tes in vitro yang dapat dilakukan adalah pengu-
kuran IgE dan anti--IgE pad a alergi yang dapat dilakukan
dengan cara RIA (radioimmunoassay) atau (enzymeimmunoas-
say
(EIA), tes Coombs dan tes terhadap aglutinin eritrosit
pada reaksi transfusi yang dapat dilakukan dengan cara aglu-
tinasi, dan apabila kerusakan jaringan disangka disebabkan
penyakit autoimun dapat dilakukan pemeriksaan terhadap
34 Cermin Dania Kedokteran No. 31
RA faktor, komplemen dan antibodi terhadap berbagai jaringan
tubuh seperti anti-nuclear-antibody, anti-smooth muscle-
antibody dB.
II. Pemeriksaan imunologi untuk menunjang diagnosa penya-
kit non-imunologik.
Berdasarkan kenyataan bahwa sebagai reaksi terhadap
antigen, tubuh dapat membentuk antibodi spesifik terhadap antigen
itu, amak penetapan adanya antibodi terhadap kuman-kuman
tertentu dapat dipakai untuk menentukan diagnosa berbagai jenis
infeksi
Disamping itu dengan tersedianya antiserum spesifik terhadap
berbagai jenis antigen atau protein, dapat pula ditetapkan adanya
antigen-antigen tertentu misalnya HBsAg, AFP dan lain-lain atau
perubahan berbagai jenis protein seperti fraksi-fraksi protein
tertentu, hormon dan lain lain dalam serum.
Dasar tes imunokimia yang dipakai adalah interaksi antigen
antibodi yang dapat ditetapkan dengan macam-macam cara
misalnya imunopresipitasi dan aglutinasi, radio-immunoassay
(RIA) enzyme-immunoassay (EIA) atau imunomikroskopi.
Berbagai jenis tes tadi mempunyai spesifisitas dan sensitifitas
yang berbeda-beda. Cara RIA dan EIA dapat mencapai sensitifitas
sampai kadar nanogram per mililiter, akan tetapi untuk cara ini
diperlukan reagens berupa antigen atau antibodi yang murni
(purified) dan suatu teknik untuk memisahkan kompleks antigen
-
antibodi
dari
antigen atau antibodi yang bebas.
11-13
Sebaliknya cara
presipitasi dan aglutinasi sensitifitasnya hanya mencapai
mikrogram per mililiter, akan tetapi cara ini biasanya sederhana
dan mudah dilakukan.
Dalam memilih cara yang akan dipakai, perlu pula diper-
hatikan nilai diagnostik'hasil yang diperoleh. Sebagi contoh,
dengan cara imunodifusi kadar terendah AFP yang dapat
ditentukan adalah
±
3000 nanogram/ml, dan biasanya kadar
setinggi signifikan untuk hepatokarsinoma atau karsinoma
embrional.
14
Dengan cara RIA kadar AFP dapat ditentukan
sampai 1 nanogram/ml, yaitu suatu kadar AFP yang bukan saja
terdapat pada berbagai jenis penyakit hati, tetapi juga pada
keadaan normal.
Cara imunopresipitasi.
4, 6-8
Termasuk ke dalam golongan ini adalah antara lain cara imu-
nodifusi
ganda,
elektrimunodifusi,
imunoelektroforesis,
imunodifusi radial dan imunonefelometri.
Imunodifusi ganda.
Yang masih banyak dipakai adalah imunodifusi ganda menu-
rut Ouchterlony. Teknik ini menggunakan lapisan agar sebagai
media yang memisahkan antigen
dari
antibodi. Pada lapisan
agar tersebut dibuat sumur-sumur, kemudian ke dalam dua
sumur yang berhadapan masing
-
masing dimasukkan antigen
dan antibodi. Setelah itu antigen dan antibodi dibiarkan men-
difusi kedalam lapisan agar dan ditempat dimana keduanya
bertemu dan mencapai keseimbangan akan terbentuk kom-
pleks antigen
-
antibodi berupa gads presipitasi.
Teknik ini dapat dipakai untuk menetapkan antigen atau

IMUNODIFUSI GANDA
GARIS PRESIPITASI
Difusi
Difusi
ii i
- 0 -
_ 1 %
:
A
Ekses Antibodi (
Prozone)
Ekses Antigen (
Postzone)
Y
Reaktan
Lapisan agar
t
Sample
Keseimbangan
antibodi secara semikuantitatif, yaitu dengan melakukan
beberapa pengenceran dan melaporkan pengenceran tertinggi
yang masih dapat membentuk presipitasi.
Elektroimunodifusi.
Prinsip cara elektroimunodifusi ini sama dengan cara
Ouchter-
lony, hanya saja di sini difusi dipercepat dengan meletakkan
kedua reaktan di antara medan listrik. Juga di sini presipitasi
kompleks antigen-antibodi terjadi pada titik keseimbangan
kedua reaktan.
Imunoelektroforesis.
Imunoelektroforesis merupakan gabungan antara teknik pemi-
sahan fraksi
-
fraksi protein dengan cara elektroforesis dan tek-
nik imunodifusi ganda. Setelah fraksi
-
fraksi protein dipisahkan
satu
dari
yang lain dengan elektroforesis, ke dalam parit yang
dibuat sejajar dengan garis migrasi fraksi
-
fraksi protein, dima-
sukkan antiserum, kemudian dibiarkan berdifusi. Setiap fraksi
protein akan beraksi dengan masing
-
masing antibodi spesifik
yang terdapat di dalam antiserum, sehingga masing-masing
fraksi kemudian dapat diidentifikasikan secara terpisah.
Cara ini selain dapat dipakai menetapkan adanya antigen
tertentu, juga dapat dipakai untuk menunjukkan kelainan
pada salah satu fraksi, misalnya kelainan imunoglobulin yang
disebut gamopati monoklonal atau paraprotein.
9
"
0
Pada
keadaan normal atau pada gamopati polildonal garis presipi-
tasi berbentuk lengkung merata, sedangkan paraprotein atau
gamopati monoklonal menunjukkan kelainan dalam bentuk
garis presipitasi seperti
scooping, bulging
atau bifurkasi.
Imunodifusi radial
Prinsip imunodifusi radial menurut Mancini,' adalah menggu-
nakan lapisan agar yang telah mengandung antibodi mono-
spesifik kemudian ke dalam sumur-sumur yang dibuat pada
agar tersebut dimasukkan serum yang akan diperiksa.
Setelah serum dibiarkan berdifusi, maka presipitasi kom-
pleks antigen
-
antibodi yang terjadi tampak sebagai suatu cincin
di sekitar sumur. Cara ini adalah cara kuantitatif; besarnya
cincin merupakan parameter untuk kadar antigen yang ada
dalam serum dan dapat ditentukan dengan menggunakan
kurve standar. Aplikasi klinik yang terpenting
dari
cara ini
adalah
penetapan imunoglobulin di dalam serum.
"
Rocket elektroimunodifusi
"
.
Cara ini dikembangk:an oleh Laurell dan menupakan variasi cara
imunodifusi radial. Juga di sini digunakan lapisan agar yang telah
mengandung antibodi, kemudian ke dalam sumursumur yang
dibuat pada agar tersebut dimasukkan serum yang ingin diperiksa
atau larutan standar. Difusi dipercepat dengan meletakkan lempeng
agar ini di antara medan listrik, sehingga presipitasi kompleks
antigen
-
antibodi tampak sebagai kerucut. Tinggi kerucut dapat
diukur dan merupakan parameter untuk kadar antigen dalam serum.
Imunonefelometri.
Dalam dekade terakhir telah dikembangkan suatu cara yang
menggunakan alat yang dapat mengukur cahaya yang di-
hamburkan oleh molekul
-
molekul kompleks antigen
-
antibodi.
Dengan menggunakan sinar laser sebagai sumber cahaya yang
mempunyai energi yang lebih kuat daripada lampu halogen biasa,
sensitifitas tes dapat ditingkatkan.
Aglutinasi
4
'
8
Teknik ini dapat menentukan antigen atau antibodi secara
semikuantitatif, sedangkan aglutinasi dapat dilihat dengan mata
belaka atau dengan mikroskop. Bermacam-macam variasi telah
dikemukakan oleh para hali, akan tetapi yang banyak dipakai
adalah aglutinasi lateks dan hemaglutinasi, yang masing-masing
menggunakan partikel lateks dan sel eritrosit yang dilapisi antibodi
atau antigen, tergantung apakah yang
Cermin Dunia Kedokteran No. 31 35

36 Cumin Dania Kedokteran No. 31
hendak ditentukan itu antigen atau antibodi.
Cara aglutinasi lateks banyak dipakai untuk menetapkan
adanya rheumatoid faktor (RA) atau CRP dalam serum dan
human
chorionic gonadotropin (HCG) dalam urin, sedangkan
cara hemaglutinasi sering dipakai untuk menetapkan HBsAg dan
anti--HBsAg, masing
-
masing cars
reverse passive
hemaglu-
tination (RPHA) dan
passive
hemaglutination (PHA), disam-
ping itu juga untuk menetapkan adanya antibodi terhadap
Treponema pallidum.
Radioimmunoassay (RIA)"
Sejak cara RIA untuk pertama kali dikemukakan oleh Berson,
Yalow dan Eskins sekitar tahun 1960, berbagai modifikasi cara
ini
telah
dikembangkan
untuk
menyederhanakan
dan
memudahkan penggunaan serta meningkatkan sensitifitas cara
ini. Kalau dahulu dipergunakan
liquid phase
RIA, maka
sekarang lebth disukai
solid phase
RIA. Pada cara terakhir ini
antibodi dilekatkan pada benda padat seperti misalnya dinding
bagian
dalam sebuah tabung, cakram kertas, butir-butir gelas
atau lain lain, sehingga dengan demikian kompleks antigen-
antibodi dengan mudah dapat dipisahkan
dari
antigen atau
antibodi yang bebas.
Salah satu cara yang disukai adalah cara
sandwich,
yaitu
menginkubasikan serum penderita yang disangka mengandung
antigen tertentu dengan benda padat yang telah dilapisi anti-
bodi. Setelah terbentuk kompleks antigen-antibodi, dimasukkan
antibodi yang telah ditandai dengan radioisotop, sehingga
membentuk kompleks Ab--Ag--Ab
*.
Setelah antibodi radioktif
yang bebas dipisahkan, maka radioaktifitas kompleks Ab--Ag--
Ab* dapat diukur dengan gammacounter dan merupakan
ukuran untuk kadar antigen yang ada dalam serum.
Enzymeimmunoassay (EIA) ts,13
Prinsip cara EIA sebenarnya sama dengan cara RIA, hanya saja
di s i n sebagaipengganti isotop radioaktif untuk menandai
antibodi dipakai salah satu jenis enzim. Enzim yang banyak
dipakai adalah peroksidase dan fosfatase. Cara EIA mempunyai
kelebtan daripada cara RIA, yaitu tidak mengandung bahaya
radioaktif, mempunyai
shelf life
yang lebih lama, dapat
menggunakan spektrofotometer biasa, sedangkan sensitifitasnya
hampir sama dengan cara RIA.
Juga pada EIA disukai cara
sandwich,
yaitu melapisi bendan
padat dengan antibodi atau antigen, kemudian menginku-
basikannya dengan serum yang mengandung antigen atau
antibodi. Setelah serum yang tidak bereaksi dibuang, kompleks
antigen-antibodi direaksikan dengan antibodi yang ditandai
dengan enzim (Ab
E
), sehingga terbentuk kompleks Ab--Ag--Ab
b
. Ab
E
yang bebas kemudian dipisahkan, dan kepada kompleks
Ab--Ag--Ab
E
dibubuhkan suatu substrat. Substrat ini
dihidrolisa oleh enzim tadi, dan jumlah substrat yang dihidroli-
sa dapat dinyatakan dengan perubahan warna yang terjadi dan
dapat diukur dengan spektrofotometer.
Imunomikroskopi
15
Imunomikroskopi adalah suatu cara histokimiawi atau sitoki-
miawi untuk menyatakan adanya kompleks antigen-antibodi
Anti-imunoglobulin
di-label dengan
fluorescein
Antigen
Jaringan
Kaca
_
~
obyek
Sinai
U.V.
II
/
ftt
(
&
Z
/ i 1 \
/11\
rIl
1
Its
bag
I
TEST IMUNOFLUORESENSI DENGAN CARA INDIREK
pada permukaan sel atau jaringan. Dengan menggunakan anti-
gen atau antibodi yang ditandai dengan zat warna atau indika-
tor, kompleks tersebut dapat dilihat dibawah mikroskop.
Untuk teknik imunofluoresensi, indikator yang dipakai
Antibodi
Antibodi *
Antigen
Antibodi yang
dilekatkan
Benda
padat
RADIO IMMUNOASSAY
Antibodi
Antigen
-
Antibocli yang
dilekatkan
Benda
padat
anti Antibodi *

Cermin Dunia Kedokteran
No. 31 37
adalah fluorescein dan mikroskop yang digunakan adalah imun, misalnya adanya anti-nuclear-antibody (ANA), anti mikroskop
fluoresensi. Untuk teknik imunoperoksidase indi- smooth-muscle-antibody dan lain-lain. Disamping itu cara ini kator yang dipakai
adalah enzim peroksidase yang apabila dapat pula dipakai untuk menentukan adanya antibodi terhadiwarnai dengan zat warna
khusus dapat dilihat dibawah mi- dap mikroorganisme tertentu seperti Treponema, tuberkulosis, kroskop cahaya biasa.toxoplasma
dan lain-lain.
Imunomikroskopi bermanfaat untuk menentukan adanya
antibodi terhadap sel atau komponen sel tubuh seperti auto-
antibodi yang terdapat dalam serum penderita penyakit auto-
DaftarPustaka dapat diminta pada penulis/redaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar