Selasa, 20 April 2010

baru

Apa itu Penyakit Lupus PDF Print E-mail
Written by Administrator
Monday, 20 April 2009 07:00

Penyakit LUPUS adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.

Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan”. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

Gejala penyakit dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus. Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala umum dijumpai adalah:

1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta

timbulnya gangguan pencernaan.

2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah,

kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-pegal.

Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif.

3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang

membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu.

Kadang disebut (butterfly rash) yang

menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh

tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik.

4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah

yang dihancurkan oleh penyakit LUPUS ini

5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang

berlebihan

Obat baru penyakit lupus

Dilaporkan beberapa obat baru untuk lupus yang dibahas di Kongres Internasional Lupus di New York. Salah satu obat baru adalah LymphoStat-B, bekerja menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi, odi yang salah arah pada pasien lupus.

Obat baru ini telah mendapat persetujuan FDA (Badan POM-nya Amerika), melalui jalur cepat, karena dianggap amat potensial sebagai obat penyakit SLE. Uji klinik telah membuktikan manfaat dan keamanan obat ini untuk mengobati penyakit lupus. Aktivitas penyakit lupus menurun. Obat tersebut juga memulihkan aktivitas auto imun kembali ke normal. Pada uji klinik tersebut juga dijumpai pengurangan jumlah limfosit B sebesar 12 persen-40 persen serta pengurangan kadar anti-dsDNA (double-stranded DNA); anti-dsDNA adalah salah satu kriteria penting untuk penyakit lupus. Obat lain yang serupa LymphoStat B yang dilaporkan hasil uji kliniknya adalah rituximab (antilimfosit B) dan infliximab, yang mempunyai aktivitas anti-TNF (Tumor Necrosing Factor).

Peneliti lain melaporkan dehydroepiandrosterone (DHEA) dapat mengurangi keperluan dosis prednisone untuk pasien lupus. Khusus untuk pasien lupus dengan gangguan di ginjal (lupus nefritis), setelah mendapat obat siklofosfamid, sekarang ada 2 pilihan untuk obat pemeliharaan (maintenance), yaitu azatioprin atau mycophenolate mofetil yang ternyata hasilnya lebih baik dibandingkan dengan siklofosfamid. Masih dalam penelitian awal adalah pengobatan lupus dengan cangkok sumsum tulang, yang hasilnya cukup memberi harapan. Dapat disimpulkan, sekarang ini makin banyak pilihan pengobatan untuk SLE yang memberikan harapan baru, walaupun belum dapat memberikan kesembuhan total.
Penyakit LUPUS adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.

Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh.

Gejala-gejala penyakit dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus. Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah:

Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya gangguan pencernaan.
Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus dicurigai mengidap Lupus.
Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan oleh penyakit LUPUS ini
Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan
Dr. Rahmat Gunadi dari Fak. Kedokteran Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.

“Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat genetik, dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun. Bangsa Afrika dan Asia lebih rentan dibandingkan kulit putih. Dan tentu saja, keluarga Odapus. Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stres,” ujarnya. Penyakit ini justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu dianggap diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen.

Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk geja LUPUS. Sering dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.

Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas . Antibodi yang berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :

Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.

Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu.

Kesembuhan total dari penyakit ini, tampaknya sulit. Dokter lebih berfokus pada pengobatan yang sifatnya sementara.Lebih difokuskan untuk mencegah meluasnya penyakit dan tidak menyerang organ vital tubuh.
materi referensi:
Dari Salah satu Anggota Y!A













































































Penyakit lupus yang dalam bahasa kedokterannya dikenal sebagai systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri. Apa penyebab penyakit ini?

PENYAKIT lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga.

Penyebab dan mekanisme terjadinya SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun diduga mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan banyak faktor seperti genetik, lingkungan, dan sistem kekebalan humoral. Faktor genetik yang abnormal menyebabkan seseorang menjadi rentan menderita SLE, sedangkan lingkungan berperan sebagai faktor pemicu bagi seseorang yang sebelumnya sudah memiliki gen abnormal. Sampai saat ini, jenis pemicunya masih belum jelas, namun diduga kontak sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat golongan sulfa, penghentian kehamilan, dan trauma psikis maupun fisik.

Gejala Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh terkenanya sistem yang lain. Pada tipe menahun terdapat masa bebas gejala dan masa kambuh kembali. Masa bebas gejala dapat berlangsung bertahun-tahun. Munculnya penyakit dapat spontan atau didahului faktor pemicu. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum, seperti demam, badan lemah, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.

Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam. Untuk menegakkan diagnosis SLE umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang memiliki nilai diagnosis tinggi untuk SLE.

Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria, yaitu bercak-bercak merah pada hidung dan kedua pipi yang memberi gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash), kulit sangat sensitif terhadap sinar matahari (photohypersensitivity), luka di langit-langit mulut yang tidak nyeri, radang sendi ditandai adanya pembengkakan serta nyeri tekan sendi, kelainan paru, kelainan jantung, kelainan ginjal, kejang tanpa adanya pengaruh obat atau kelainan metabolik, kelainan darah (berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah), kelainan sistem kekebalan (sel LE positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau antibodi anti SM positif atau uji serologis positif palsu sifilis) dan antibodi antinuklear (ANA) positif.

Kelainan yang paling sering pada SLE adalah kelainan sendi dan kelainan kulit. Sendi yang sering terkena adalah sendi jari-jari tangan, sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan kaki. Kelainan kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE.

Pengobatan
Sampai sekarang, SLE memang belum dapat disembuhkan secara sempurna. Meskipun demikian, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi. Program pengobatan yang tepat bersifat sangat individual tergantung gambaran klinis dan perjalanan penyakitnya. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ vital dapat diterapi secara konservatif.

Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ vital, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif. Terapi konservatif maupun agresif sama-sama menggunakan terapi obat yang digunakan secara tunggal ataupun kombinasi. Terapi konservatif biasanya menggunakan anti-inflamasi non-steroid (indometasin, asetaminofen, ibuprofen), salisilat, kortikosteroid (prednison, prednisolon) dosis rendah, dan antimalaria (klorokuin). Terapi agresif menggunakan kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresif (azatioprin, siklofoshamid).

Selain itu, penderita SLE perlu diingatkan untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan bekerja di bawah sinar matahari karena penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari. Infeksi juga lebih mudah terjadi pada penderita SLE, sehingga penderita dianjurkan mendapat terapi pencegahan dengan antibiotika bila akan menjalani operasi gigi, saluran kencing, atau tindakan bedan lainnya. Salah satu bagian dari pengobatan SLE yang tidak boleh terlupakan adalah memberikan penjelasan kepada penderita mengenai penyakit yang dideritanya, sehingga penderita dapat bersikap positif terhadap terapi yang akan dijalaninya. Saat ini di beberapa negara telah tersedia penjelasan mengenai penyakit SLE dalam bentuk brosur, bahkan telah berdiri perkumpulan penderita SLE.

Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Namun saat ini dengan pemakaian kortikosteroid yang tepat serta adanya kombinasi dengan obat lain dapat memberikan hasil yang baik. Kematian paling sering disebabkan komplikasi gagal ginjal, kerusakan jaringan otak, dan infeksi sekunder.

* 2 tahun lalu

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS

SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS
(terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition translated by Husnul Mubarak,S.Ked )

Definisi dan Prevalensi

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).

Etiologi dan Patogenesis

Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet

SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas.

Patologi

Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.

Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO). Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS) telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria diagnosis lainnya.

Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis

Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence

Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis

Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.

Class III: Focal Lupus Nephritis

Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%>

Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis

Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis

Class IV: Diffuse Lupus Nephritis

Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.

Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing

Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual

Diagnosis

Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2 dibawah ini :

No


Gejala


Pengertian

1


Malar Rash (Butterfly rash)


Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)

2


Discoid rash


Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi

3


Fotosensitivitas


Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak

4


Ulkus oral


Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

5


Arthritis


arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

6


Serositis


Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura

7


Gangguan Ginjal


Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8


Gangguan neurologik


Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

9


Gangguan hematologik


Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>

10


Gangguan Imunologis


Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

11


Antibodi Antinuklear


Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya.

Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody. Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.

Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk memperbesar)

Interpretasi dari Manifestasi klinis

Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.

Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.

Manifestasi Muskuloskeletal

Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif

Manifestasi Penyakit Kulit

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.

Manifestasi Sistem Saraf

Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.

Oklusi Vaskuler

Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam investigasi.

Manifestasi Pulmoner

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan perawatan suportif.

Manifestasi Penyakit Jantung

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.

Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat. Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya ditangani dengan strategi tambahan.

Manifestasi Gastrointestinal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.

Manifestasi Okuler

Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

Pemeriksaan Autoantibodi

Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Antibody


Prevalensi, %


Antigen yang Dikenali


Clinical Utility

Antinuclear antibodies


98


Multiple nuclear


Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE

Anti-dsDNA


70


DNA (double-stranded)


Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm


25


Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA


Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.

Anti-RNP


40


Kompleks protein pada U1 RNAγ


Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.

Anti-Ro (SS-A)


30


Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa


Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.

Anti-La (SS-B)


10


47-kDa protein pada hY RNA


Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone


70


Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)


Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Antiphospholipid


50


Phospholipids,β2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin


Tiga tes tersedia –ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte


60


Membran eritrosit


Diukur sebagai tes Coombs’ langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antiplatelet


30


Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.


Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)


60


Neuronal dan permukaan antigen limfosit


Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Antiribosomal P


20


Protein pada ribosome


Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.

(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis

Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis

Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan

Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit

Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan, karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes mellitus

Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.

Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa

Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.

SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis

Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna (Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV, berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis.

Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.

Table 4. Medications for the Management of SLE

Medication


Dose Range


Drug Interactions


Serious or Common Adverse Effects

NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirina approved by FDA for use in SLE)


Doses toward upper limit of recommended range usually required


A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides


NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction

Salicylates: ototoxicity, tinnitus

Both: GI events and symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension

Topical glucocorticoids


Mid-potency for face; mid to high potency other areas


None known


Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection

Topical sunscreens


SPF 15 at least; 30+ preferred


None known


Contact dermatitis

Hydroxychloroquinea (quinacrine can be added or substituted)


200–400 mg qd (100 mg qd)


None known


Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia

Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration

DHEA (dehydroepiandrosterone)


200 mg qd


Unclear


Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone

Methotrexate b (for dermatitis, arthritis)


10–25 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl <>


Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim


Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures

Glucocorticoids, orala (several specific brands are approved by FDA for use in SLE)


Prednisone, prednisolone: 0.5–1 mg/kg per day for severe SLE

0.07–0.3 mg/kg per day or qod for milder disease


A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2,
cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin


Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis

Methylprednisolone sodium succinate, IVa (approved for lupus nephritis)


For severe disease, 1 g IV qd x 3 days


As for oral glucocorticoids


As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis

Cyclophosphamideb

IV


7–25 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose


Allopurinol, bone marrow suppressants, colony-stimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine


Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure

Oral


1.5–3 mg/kg per day




Decrease dose for CrCl <>

Mycophenolate mofetilb


2–3 g/d PO; decrease dose if CrCl <25>


Acyclovir, antacids, azathioprine, bile acid–binding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives


Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma, lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash

Azathioprineb


2–3 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl <>


ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine


Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI symptoms
KRITERIA UNTUK KLASIFIKASI SLE (REVISED)
1) Malar rash, berupa eritema yang jelas, datar atau
menonjol, pada eminentia malar, cenderung menyebar ke
lipatan nasolabial.
2) Discoid rash, bercak-bercak eritema yang menonjol
dengan sisik keratotik yang berlapis, dan sumbatan folikel.
Parut atrofi dapat terjadi pada lesi lama.
3) Fotosensitivitas, adanya ruam kulit akibat reaksi terhadap
sinar matahari yang dilihat oleh pemeriksa atau berdasarkan
anamnesa.
4) Ulkus Oral, ulkus yang terdapat di oral atau nasofaring,
biasanya tidak terlalu sakit dan terlihat oleh pemeriksa.
5) Artritis, artritis tanpa erosi mengenai 2 atau lebih sendi
perifer, ditandai dengan adanya nyeri tekan, bengkak atau ada-
nya cairan dalam sendi.
6) Serositis
a)
Pleuritis; jelas dalam anamnesis adanya riwayat nyeri
pleuritik atau ronkhi yang terdengar oleh pemeriksa atau adanya
efusi pleura
atau
b)
Perikarditis berdasarkan pemeriksaan EKG atau rub atau
adanya pericardial effusion.
7) Gangguan ginjal
a)
Proteinuria yang menetap lebih dari 0,5 gram/hari atau
lebih dari 3+ pada pemeriksaan kwalitatif
atau
b)
Sedimen, dapat bcrupa sel darah merah, hemoglobin,
granuler, tubuler atau campuran.
8) Gangguan Neurologis
a)
Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau ke-
lainan metabolik seperti : uremia, ketoasidosis, gangguan
elektrolit
atau
b)
Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau
kelainan metabolik.
9) Gangguan Hematologis
a)
Anemia hemolitik dengan retikulositosis
atau
b)
Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau lebih
pemeriksaan
atau
c)
Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih
pemeriksaan
atau
d)
Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau
lebih pemeriksaan.
10) Gangguan Imunologis
a)
LE sel positif
atau
b)
Anti-DNA: abnormal
atau
c)
Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap Sm nuklear antigen
atau
d)
false positive terhadap test scrologi syphilis selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan Triponema pallidum Immobilization
atau Fluorescent treponemal antibody absorption test.
11) Antibodi Anti Nuklear
Titer abnormal pada pemeriksaan sewaktu dengan immu-
nofluoresens atau metode yang secara dan pada saat pemeriksaan
tidak mendapat pengobatan dengan ohat yang menginduksi
terjadinya sindrom lupus.
Klasifikasi berdasarkan 11 kriteria. Dalam studi klinik,
untuk menegakkan diagnosis SLE harus didapati 4 atau lebih
dari 11 kriteria di atas yang timbulnya berurutan atau serentak
selama periode observasi

SLE !

APAKAH LUPUS ITU?
Lupus adalah penyakit “autoimmune” di mana antibodi yang seharusnya melindungi tubuh karena sebab yang tidak diketahui sampai saat ini, menjadi liar dan menyerang jaringan-jaringan tubuh normal.
v Lupus merupakan penyakit kronik/menahun dan dikenal sebagai penyakit autoimun

v Lupus dikatakan great imitator alias peniru ulung, atau juga disebut sebagai penyakit seribu wajah karena menyerupai penyakit lain (mimikri)

v Menyerang seluruh organ tubuh

v Hampir separuh pasien lupus terserang organ vitalnya

v Gejala lupus mulai dari ringan sampai berat. Manusia membentuk antibody yang gunanya melindungi tubuh dari berbagai serangan virus, kuman, bakteri.

Pada Lupus, produksi antibody yang seharusnya normal menjadi berlebihan. Dan antibody ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman, bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang sel dan jaringan tubuhnya sendiri.


Ada berapa jenis penyakit Lupus?
Ada 3 (tiga) jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneous Lupus, yaitu: penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemic Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemic Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced Lupus, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

Apakah Discoid Lupus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus?
Kira-kira 10% kasus Discoid Lupus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus, tetapi tidak bisa diprediksi dan dicegah sejak timbulnya Discoid Lupus ini.

Apakah beda antara Drug-Induced Lupus dengan Systemic Lupus?
Drug-Induced Lupus bersifat reversible, artinya dapat kembali normal setelah pemakaian obat dihentikan, tetapi Systemic Lupus bersifat irreversible.

Apakah Lupus penyakit infeksi atau penyakit menular?
Lupus bukan penyakit infeksi atau penyakit menular.

Apakah Lupus sama dengan AIDS?
Beda. Pada AIDS, sistem kekebalan tubuh menurun, sebaliknya pada Lupus sistem kekebalan tubuh menjadi hiperaktif (liar), AIDS menular tetapi Lupus tidak.

Apakah penyebab penyakit Lupus?
- Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, diduga merupakan beberapa – kombinasi dari beberapa faktor

- Bukan penyakit yang disebabkan virus, kuman atau bakteri

- Bukan penyakit menular dan menurun

- Keterlibatan genetic, hormone dan lingkungan diduga sebagai factor

penyebab penyakit lupus


Apakah penyakit Lupus merupakan penyakit keturunan?
Orang-orang yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.

Berapa besar angka kemungkinan terkena penyakit Lupus ini?
Untuk orang-orang kulit hitam seperti Amerika dan Afrika angka kemungkinannya yaitu 1:250, sedang untuk orang kulit putih 1:1000 dan orang-orang latin 1:500, untuk orang asia belum ada angka yang pasti.

Apakah penyakit Lupus ini hanya menyerang wanita?
Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita dalam usia produktif.

Berapa besar angka kematian akibat penyakit Lupus ini?
Penelitian di Eropa dan Canada baru-baru ini menunjukkan menurunnya angka kematian akibat penyakit ini, di mana 90% penderita dapat bertahan lebih dari 5 (lima) tahun dan 75-85% penderita dapat bertahan sampai 10 (sepuluh) tahun.

Bagaimana SLE didiagnosa?
Dari informasi berbagai sumber, seperti sejarah pengobatan masa lalu, hasil tes laboratorium dan gejala-gejala yang timbul saat ini, ada 11 (sebelas) kriteria untuk mendiagnosa SLE. Umumnya seseorang memenuhi paling sedikit 4 (empat) kriteria sebelum diagnosa dilakukan.
11 (sebelas) kriteria itu, yaitu:
1. Malar rash (merah pada pipi).
2. Discoid rash (bercak merah pada kulit).
3. Photosensitivity (peka terhadap cahaya).
4. Oral Ulcers (luka sekitar mulut).
5. Arthritis (radang sendi).
6. Serositis (radang pada selaput sereus).
7. Renal disorder (kelainan pada ginjal).
8. Neurologic disorder (kelainan fungsi saraf).
9. Hematologic disorder (kelainan darah).
10. Immunologic disorder (kelainan pada sistem kekebalan tubuh).
11. Antinuclear antibody (ANA).

*GEJALA YANG BISA TERJADI

Gejala awal yang dialami saat lupus mulai bersemayam dalam tubuh :

Ø Sakit pada sendi / tulang

Ø Demam berkepanjangan / panas tinggi bukan karena infeksi

Ø Sering merasa cepat lelah, kelemahan berkepanjangan

Ø Ruam pada kulit

Ø Anemia (kurang darah)

Ø Gangguan ginjal (kebocoran ginjal, protein banyak terbuang melalui urin)

Ø Sakit di dada bila menghirup nafas dalam

Ø Bercak merah pada wajah yang berbentuk seperti kupu-kupu butterfly rash)

Ø Sensitif terhadap sinar matahari

Ø Rambut rontok

Ø Ujung jari berwarna kebiruan/pucat

Ø Stroke

Ø Penurunan berat badan

Ø Sakit kepala

Ø Kejang

Ø Sariawan yang hilang timbul

Ø Keguguran

Apabila 4 dari gejala tersebut terdapat pada Anda, maka periksalah segera, mungkin Anda menderita Penyakit Lupus.


Apa itu ANA tes?
ANA tes adalah suatu pemeriksaan darah yang menghitung antibodI yang terbentuk yang secara langsung melawan berbagai komponen dari nucleus (inti sel).
ANA tes ini merupakan pemeriksaan awal untuk penyakit Lupus. Pasien Lupus umumnya mempunyai antinuclear antibodI yang tinggi, hampir 95% pasien SLE akan positif jika diperiksa dengan tes ini.
Jarang sekali pasien Lupus memiliki hasil tes yang negatif. Walaupun ini terjadi kemungkinan itu hanya sementara sebelum tes ini menjadi positif.
Tetapi hasil tes ANA yang positif ini tidak langsung memberikan hasil diagnosa positif Lupus, tapi ini hanya salah satu indikator. Hasil positif tes ANA ini hanya merupakan salah satu kriteria dan pasien setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) kriteria tambahan sebelum dikatakan terkena penyakit Lupus.

Mengapa SLE sulit didiagnosa?
Karena SLE merupakan suatu penyakit yang menyerang banyak sistem tubuh, jadi sebelum keseluruhannya dapat didiagnosa, dapat terjadi gejala-gejala di beberapa bagian tubuh dan dengan beberapa tes darah barulah dapat mendukung keberadaan penyakit ini.
SLE juga sulit didiagnosa karena penyakit ini merupakan tipe yang berkembang dengan lambat dan lama, di mana gejalanya dapat datang dan pergi, jadi butuh waktu untuk membuktikan keberadaan penyakit ini di dalam darah, di mana hasil pemeriksaan suatu saat positif dan disaat lain dapat menjadi negatif.
Ini membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan beberapa tahun bagi dokter untuk dapat memberikan diagnosa yang akurat untuk penyakit ini. SLE juga sulit didiagnosa karena tidak ada tes laboratorium khusus untuk penyakit ini. Seorang dokter harus melakukan pengamatan secara penuh dan melakukan berbagai tes sebelum dapat memberikan keputusan yang tepat.

Dokter apa yang tepat merawat pasien SLE ini?
Tidak ada peraturan khusus, pasien Lupus dapat didiagnosa dan diobati oleh banyak dokter spesialis, misalnya dokter ahli rematik, dokter ahli kulit, dokter ahli saraf, dokter ahli immunologi, atau dapat juga diobati oleh dokter umum.

Apakah semua pasien Lupus memberikan gejala yang sama?
Tidak, gejalanya bervariasi dari satu pasien ke pasien yang lain, bahkan bervariasi pada satu pasien dari waktu ke waktu. SLE ini dapat menyerang berbagai organ tubuh yang berbeda. Oleh karenanya dapat menyerang setiap orang secara berbeda-beda.

Adakah pencegahan untuk penyakit ini?
Untuk saat ini masih belum ada cara pencegahan untuk penyakit ini, tetapi riset sedang dilakukan di seluruh dunia untuk menemukan cara pengobatan yang baru dan penyebab pasti dari pasti penyakit ini. Mudah-mudahan ada harapan untuk masa depan. Bagaimanapun penyakit ini dapat dikendalikan dengan pengobatan.

Bagaimana mengobati SLE?
Kebanyakan gejala penyakit Lupus adalah peradangan. Jadi pengobatan lebih banyak ditujukan untuk mengurangi peradangan tersebut. Ada 4 (empat) kelompok obat yang digunakan dalam pengobatan penyakit ini yaitu: Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids, antimalarials, dan obat-obat cytotoxic.
Apakah lupus itu? Apa saja tipe-tipe lupus?

Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis bermacam-macam jaringan tibuh. Penyakit autoimun adalah penyakit-penyakit yang terjadi jika jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri. Sistem imun adalah sistem yang kompleks di dalam tubuh yang didisain untuk melawan agen-agen infeksi, seperti bakteri dan mikroba-mikroba asing lain. Salah satu cara sistem imun melawan infeksi adalah dengan memproduksi antibodi yang mengikat mikroba. Pasien dengan lupus menghasilkan antibodi abnormal di dalam darahnya dimana jaringan targetnya adalah lebih ke tubuhnya sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi2 bersama sel2 inflamasi dapat mempengaruhi jaringan manapun di dalam tubuh, lupus berpotensi mempengaruhi berbagai area tubuh. Kadang-kadang lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru2, ginjal, persendian dan atau sistem saraf. Jika hanya kulit yang terkena, kondisinya disebut lupus dermatitis atau cutaneous lupus erythematosus. Bentuk dari lupus dermatitis yang dapat diisolasi dari kulit, tanpa penyakit organ dalam, disebut discoid lupus. Jika organ dalam terlibat, maka disebut systemic lupus erythematosus (SLE)

Keduanya, discoid dan systemic lupus lebih banyak pada wanita daripada pria (sekitar 8 kali lebih sering). Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi lebih sering dimulai sejak usia 20 sampai 45 tahun. Statistik menunjukkan bahwa lupus sedikit lebih sering pada ras Afro Amerika dan orang-orang keturunan Cina dan Jepang.

Apakah penyebab lupus? Apakah keturunan?

Penyebab pasti abnormalitas autoimun yang mendasari lupus tidak diketahui. Gen yang diturunkan, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu mungkin juga ikut berperan.

Faktor2 genetik meningkatkan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun, dan penyakit2 autoimun seperti lupus, rheumatoid arthtitis dan penyakit thyroid autoimun lebih sering di antara famili dari pasien dengan lupus dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa sistem imun pada lupus lebih muda distimulasi oleh faktor2 eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat ditimbulkan atau diperburuk hanya oleh terkena cahaya matahari sebentar saja.

Telah diketahui juga bahwa beberapa wanita dengan SLE dapat mengalami pemburukan gejala sebelum periode menstruasinya. Fenomena ini, bersama dengan wanita dengan SLE predominan, menunjukkan bahwa hormon2 wanita mempunyai peran penting dalam ekspresi SLE. Hubungan dengan hormonal ini merupakan area aktif penelitian2 yang sedang dilakukan oleh para ilmuwan.

Penelitian terbaru menunjukkan adanya bukti bahwa kegagalan enzym kunci untuk membuang sel2 mati juga berperan dalam terjadinya SLE. Enzym DNase1, normalnya mengeliminasi apa yang disebut “DNA sampah” dan sampah2 sel lainnya dengan membelahnya menjadi potongan2 yang mudah dibuang. Para peneliti mematikan gen DNase1 pada tikus2 percobaan. Tikus2 tersebut tampak sehat saat lahir, tetapi setelah 6 sampai delapan bulan, mayoritas tikus yang tidak mempunyai DNase1 menunjukkan tanda2 SLE. Jadi, mutasi genetik pada gen yang dapat mengganggu pembuangan sampah sel2 tubuh mungkin terlibat dalam permulaan timbulnya SLE.

Obat apa yang dapat memicu lupus?

Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut : hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), phenytoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat2an jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat2 tsb dihentikan.

Apa saja gejala2 dan tanda2 lupus?

Pasien dengan SLE dapat mengalami kombinasi yang berbeda dari gejala2 dan organ2 yang terkena. Keluhan dan gejala tersering meliputi keletihan, demam ringan, kehilangan nafsu makan, nyeri otot, radang sendi, ulkus pada mulut dan hidung, rash di wajah (”butterfly rash”), sensitifitas yang berlebihan thd sinar matahari (photosensitivity), peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis), dan sirkulasi darah yang buruk pada jari2 dan jempol kaki jika terpapar dingin (fenomena Raynaud). Komplikasi dari organ2 yang terkena dapat menyebabkan gejala2 lanjut yang tergantung pada organ2 yang terkena dan beratnya penyakit.

Manifestasi kulit sering pada lupus dan kadang2 dapat menyebabkan parut. Pada discoid lupus, hanya kulit yang terlibat. Skin rash pada discoid lupus sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi yang menaik. Rash pada discoid lupus, biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan discoid lupus bisa menjadi SLE.

Lebih dari separuh pasien dengan SLE mengalami rash khas yang datar dan berwarna merah pada wajah melewati hidung. Karena bentuknya maka disebut “butterfly rash”. Rash tersebut tidak sakit dan tidak gatal. Rash wajah, bersama dengan peradangan organ2 lain, dapat ditimbulkan dan diperburuk oleh paparan cahaya matahari, yang dikenal dengan photosensitivity. Photosensitivity ini dapat bersama2 dengan pemburukan peradangan di sekujur tubuh, yang disebut dengan “nyala api (flare)”

Yang khas, rash ini dapat sembuh tanpa parut permanen dengan terapi.

Kebanyakan pasien SLE akan mengalami radang sendi (arthtritis) selama perjalanan penyakitnya. Arthritis pada SLE sering terdapat pembengkakan, nyeri, kekakuan, dan bahkan perubahan bentuk sendi2 kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Kadang2 arthritis pada SLE dapat mirip dengan rheumatoid arthtritis (salah satu penyakit autoimun juga)

Organ2 yang lebih serius dapat mengalami peradangan seperti otak, hati dan ginjal. Sel darah putih dan faktor pembekuan darah juga dapat menurun pada SLE, dikenal dengan sebutan berturut2 lekopeni dan trombositopeni. Lekopeni dapat meningkatkan resiko infeksi dan trombositopeni dapat meningkatkan resiko perdarahan.

Peradangan otot (myositis) dapat menyebabkan nyeri otot dan kelemahan. Ini dapat menyebabkan peningkatan kadar enzim otot dalam darah.

Peradangan pembuluh darah (vasculitis) yang mensuplai oksigen ke jaringan dapat menyebabkan perlukaan pada saraf, kulit, atau organ dalam. Pembuluh darah terdiri dari arteri yang dilalui darah yang kaya akan oksigen menuju jaringan tubuh dan vena yang mengembalikan darah yang kehabisan oksigen dari jaringan ke paru-paru. Vasculitis dicirikan oleh peradangan dengan kerusakan dinding berbagai pembuluh darah. Kerusakan tersebut menghalangi sirkulasi darah dan dapat menyebabkan perlukaan pada jaringan yang seharusnya disuplai oksigennya oleh pembuluh darah tersebut.

Peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis) dapat menyebabkan nyeri dada yang tajam. Nyeri dada tersebut diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Otot jantung sendiri jarang mengalami peradangan (carditis). Seorang wanita muda dengan SLE mempunyai resiko yang meningkat signifikan terhadap serangan jantung akibat penyakit arteri koroner.

Peradangan ginjal pada SLE dapat menyebabkan kebocoran protein ke dalam urin, retensi cairan, tekanan darah tinggi, dan bahkan gagal ginjal. Ini dapat menyebabkan keletihan berlebihan dan pembengkakan tungkai dan kaki. Dengan terjadinya gagal ginjal, mesin diperlukan untuk membersihkan darah dari racun2 yang prosesnya disebut dialisis.

Terlibatnya otak dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan pikiran (psikosis), seizure, dan bahkan koma. Kerusakan saraf dapat menyebabkan mati rasa, rasa menggelenyar, dan kelemahan bagian tubuh atau ekstremitas yang terlibat. Keterlibatan otak disebut dengan lupus celebritis.

Banyak pasien SLE mengalami kerontokan rambut (alopesia). Sering, ini terjadi bersama2 dengan peningkatan aktifitas penyakitnya. Kerontokan rambut dapat sebagian atau menyebar dan tampak lebih seperti penipisan rambut.

Beberapa pasien SLE mengalami Raynaud’s phenomenon. Pada pasien2 ini, suplai darah pada jari2 dan jempol kaki menjadi terganggu pada paparan dingin, menjadi memucat, memutih dan atau membiru, dan terasa sakit serta mati rasa pada jari2 dan jempol kaki yang terkena.

Bagaimana lupus didiagnosa?

Karena pasien SLE dapat mempunyai gejala yang bermacam2 dan mempunyai kombinasi yang berbeda dalam hal organ2 yang terlibat, maka tidak ada satu tes yang dapat menegakkan diagnosa systemic lupus. Untuk membantu dokter memperbaiki akurasi diagnosa SLE, 11 kriteria telah ditetapkan oleh American Rheumatism Association. 11 kriteria itu sangat erat hubungannya dengan gejala2 yang telah didiskusikan diatas. Beberapa pasien yang disangka SLE mungkin tidak pernah mengalami kriteria untuk diagnosis pasti. Pasien yang lain mempunyai cukup banyak kriteria hanya setelah beberapa bulan atau tahun pengamatan. Jika seseorang mempunyai 4 atau lebih kriteria tersebut, diagnosa SLE bisa ditetapkan. Meskipun demikian, diagnosis SLE mungkin saja dibuat pada beberapa keadaan dimana pasien tsb hanya mempunyai sedikit kriteria klasik ini dan pengobatannya dapat ditetapkan pada tahap ini. Pada pasien dengan kriteria minimal, beberapa kemudian mengalami kriteria lain, tetapi banyak yang tidak mengalaminya.

11 kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa systemic lupus erythematosus adalah

1. rash “butterfly” malar (di wajah di atas pipi)

2. rash kulit discoid (bercak kemerahan dg hiperpigmentasi dan hipopigmentasi yg dpt menyebabkan parut.

3. Fotosensitifitas (rash kulit karena reaksi thd paparan cahaya matahari (sinar uv)

4. Ulkus selaput lendir (ulkus pada selaput mulut, hidung dan tenggorokan)

5. Radang sendi /arthritis (dua atau lebih pembengkakan, nyeri sendi ekstremitas)

6. Pleuritis atau pericarditis (peradangan selaput yang meliputi paru2 atau jantung)

7. Ginjal abnormal (jumlah protein urin yang abnormal atau adanya sekumpulan elemen seluler abnormal yang terdeteksi pada pemeriksaan air kencing)

8. Inisiasi otak (manifestasinya kejang dan atau psikosis)

9. Hitung jumlah darah yang abnormal (penurunan jumlah sel darah putih dan sel darah merah, atau trombosit pada pemeriksaan darah rutin)

10. Gangguan imunologi (tes imun yang abnormal meliputi antibodi anti-DNA atau antibodi anti-Sm (Smith), positif palsu sifilis, antibodi antikardiolipin, lupus anticoagulant, atau tes LE prep positif)

11. Antibodi antinuklear (tes antibodi ANA positif [antibodi antinuklear dalam darah])

Di samping 11 kriteria tersebut, tes2 lain dapat sangat membantu dalam mengevaluasi pasien SLE untuk menilai beratnya keterlibatan organ. Tes ini meliputi tes darah rutin untuk mendeteksi adanya peradangan (misalnya, tes yang disebut angka pengendapan/ sedimentation rate dan protein C-reaktif), test kimia darah, analisis langsung cairan tubuh dan biopsi jaringan. Cairan tubuh dan sampel jaringan yang abnormal (biopsi ginjal, kulit dan saraf) dapat menunjang diagnosis SLE. Prosedur tes yang sesuai dipilih untuk pasien secara individual oleh dokter.

Bagaimana pengobatan systemic lupus?

Tidak ada penyembuhan permanen untuk SLE. Tujuan pengobatan hanyalah menghilangkan gejala dan melindungi organ tubuh dengan menurunkan peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun tubuh. Banyak pasien dengan gejala ringan dapat memerlukan pengobatan atau hanya diberi obat2 anti peradangan rutin terus-menerus. Mereka yang mengalami gejala yang lebih berat dengan melibatkan kerusakan organ2 dalam memerlukan dosis yang lebih tinggi kortikosteroid dengan dikombinasi obat2 lain yang menekan sistem imun tubuh.

Pasien dengan SLE memerlukan lebih banyak istirahat selama periode aktif penyakitnya. Para peneliti telah melaporkan bahwa jeleknya kualitas tidur merupakan faktor yang signifikan dalam munculnya keletihan (fatigue) pada pasien dengan SLE. Laporan ini menekankan pentingnya bagi pasien dan dokter untuk memperhatikan kualitas tidur dan pengaruh yang dilatarbelakangi depresi, kurangnya olahraga, dan strategi mengatasi perawatan diri pada kesehatan secara keseluruhan. Selama periode ini, penentuan latihan secara hati2 masih tetap penting untuk memelihara kekuatan otot dan rentang gerakan sendi.

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) sangat membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi dan jaringan2 lain. Contoh dari NSAID adalah aspirin, ibuprofen, Naproxen dan sulindac. Karena respon individu pada NSAID bervariasi maka biasa bagi seorang dokter untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan satu yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping paling sering adalah rasa tidak enak pada perut, nyeri perut, ulkus dan bahkan perdarahan ulkus. NSAID biasanya diminum bersama dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang2, obat pencegah ulkus, diberikan bersama NSAID untuk mengurangi efek samping, seperti misoprostol (cytotec)

Kortikosteroid lebih kuat dibandingkan NSAID untuk mengurangi peradangan dan memperbaiki fungsi jika penyakitnya aktif. Kortikosteroid terutama sangat membantu jika organ2 dalam terkena. Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung ke dalam sendi dan jaringan lain. Atau diberikan secara intravena. Sayangnya, kortikosteroid mempunyai efek samping yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan dokter akan berusaha memonitor aktifitas penyakit untuk keperluan menentukan dosis terendah yang aman. Efek samping kortikosteroid meliputi, penambahan berat badan, penipisan otot dan kulit, infeksi, diabetes, bengkak wajah, katarak dan kematian jaringan (nekrosis) sendi2 besar.

Hydroxychloroquine (Plaquenil) adalah obat anti malaria yang diketahui mempunyai efektifitas tertentu pada pasien SLE dengan fatigue, masalah kulit, dan sakit sendi. Secara konsisten memakai Plaquenil dapat mencegah lupus flare-ups (nyala api). Efek samping jarang meliputi diare, rasa tidak enak pada perut, perubahan pigmen mata. Perubahanpigmen mata jarang tetapi memerlukan monitoring dari ahli optalmologi (spesialis mata) selama terapi dengan Plaquenil. Para peneliti menemukan bahwa Plaquenil secara signifikan menurunkan frekuensi pembekuan darah abnormal pada pasien dengan systemic lupus. Lebih lanjut, pengaruh yang tampaknya tidak tergantung pada supresi imun, menyebabkan Plaquenil dapat secara langsung mencegah pembekuan darah.

Penelitian yang menarik ini menekankan sebuah alasan penting bagi pasien dan dokter untuk mempertimbangkan Plaquenill untuk penggunaan jangka panjang, khususnya bagi mereka yang mempunyai resiko pembekuan darah pada vena dan arteri, seperti mereka yang dengan antibodi phospholipid (antibodi cardiolipin, antikoagulan lupus, dan tes laboratorium positif palsu penyakit kelamin). Ini artinya, tidak hanya Plaquenil menurunkan kemungkinan re-flare SLE, tetapi juga dapat menguntungkan dalam mencegah pembekuan darah abnormal yang luas. Plaquenil sering digunakan dalam kombinasi dengan terapi lain untuk lupus.

Untuk penyakit kulit yang resisten, obat antimalaria lain, seperti chloroquine (Aralen) atau Quinacrine, dianjurkan dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit kulit meliputi dapsone dan retinoic acid (Retin-A). Retin-A sering efektif untuk penyakit kulit lupus bentuk wart-like (seperti kutil) yang jarang. Untuk penyakit kulit yang lebih berat, pengobatan imunosupresif dianjurkan seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Obat2 yang menekan imunitas (obat2 imunosupresif) juga disebut obat sitotoksik. Obat2 imunosupresif digunakan untuk mengobati pasien dengan manifestasi SLE yang lebih berat, seperti kerusakan oragan dalam. Obat2 imunosupresif tersebut contohnya, methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat imunosupresif dapat secara serius menurunkan jumlah sel darah dan meningkatkan resiko infeksi dan perdarahan. Efek samping lain khas pada masing2 obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sementara Sandimmune dapat memperburuk fungsi ginjal.

Pada tahun2 terakhir, mycophenolate mofetil (Cellcept) telah digunakan sebagai obat yang efektif untuk lupus, khususnya jika berhubungan dengan penyakit ginjal. Cellcept telah sangat membantu dalam memperbaiki penyakit ginjal lupus aktif (lupus renal disease) dan dalam memelihara perbaikan setelahnya dianjurkan. Profil efek sampingnya yang lebih rendah menguntungkan bagi pengobatan imunsupresif tradisional.

Pada pasien SLE dengan penyakit otak atau ginjal yang serius, plasmapheresis kadang2 dipakai untuk menghilangkan antibodi dan substansi imun lain dari darah untuk menekan imunitas. Jarang, pasien SLE dapat mengalami kadar platelet rendah yang serius yang dapat meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena limpa diyakini merupakan tempat utama dalam penghancuran platelet, pembedahan untuk membuang limpa kadang2 menyebabkan perbaikan kadar platelet. Pengobatan lain menggunakan plasmapheresis dan menggunakan hormon laki-laki. Plasmapheresis juga digunakan untuk membuang protein cryoglobulin yang dapat menyebabkan vasculitis. Kerusakan ginjal end-stage pada SLE memerlukan dialisis dan atau transplantasi ginjal.

Penelitian terbaru menunjukkan keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam pengobatan lupus. Rituximab merupakan antibodi yang diberikan melalui infus intravena yang akan menekan sel darah putih tertentu, yaitu sel B, dengan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B telah diketahui berperan sentral dalam aktivitas lupus, dan jika ditekan maka penyakit akan cenderung membaik. Ini terutama sangat membantu pasien dengan penyakit ginjal.

Pada pertemuan Rheumatology nasional tahun 2007, terdapat paper yang dipresentasikan menyebutkan bahwa suplementasi diet dosis rendah dengan minyak ikan omega-3 dapat membantu pasien lupus dengan menurunkan aktifitas penyakit dan mungkin juga menurunkan resiko penyakit jantung.

Bagaimana pasien lupus dapat mencegah aktifitas penyakit (flare)?

SLE tanpa diragukan merupakan penyakit yang potensial serius yang melibatkan sejumlah sistem organ. Namun, penting untuk mengetahui bahwa kebanyakan pasien SLE menjalankan hidup yang penuh, aktif dan sehat. Peningkatan periodik aktifitas penyakit (flare) biasanya dapat dikelola dengan bermacam2 obat. Karena sinar ultraviolet dapat menimbulkan dan memperburuk flare, pasien dengan systemic lupus sebaiknya menghindari paparan sinar matahari. Sunscreen dan kain penutup ekstremitas (tangan dan kaki) dapat sangat membantu. Penghentian obat dengan tiba2, khususnya kortikosteroid dapat juga menyebabkan flare dan harus dihindari. Pasien SLE mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi, khususnya jika mereka menggunakan kortikosteroid atau obat2 imunosupresif. Karena itu, demam kadang2 dilaporkan dan harus dievaluasi.

Kunci pengelolaan yang sukses untuk SLE adalah kontak dan komunikasi teratur dengan dokter, melakukan monitoring gejala, aktifitas penyakit dan pengobatan terhadap efek samping.

Bagaimana lupus dapat mempengaruhi kehamilan dan bayi baru lahir?

Pasien SLE yang menjadi hamil dinyatakan “resiko tinggi”. Wanita dengan SLE yang hamil memerlukan observasi yang ketat selama kehamilan, kelahiran dan periode pasca melahirkan. Hal ini meliputi monitoring fetus oleh ahli kandungan selama akhir kehamilan. Wanita2 ini dapat mempunyai resiko tinggi terhadap keguguran (aborsi spontan) dan dapat mengalami flare selama hamil. Adanya antibodi fosfolipid, seperti antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulan di dalam darah dapat mengindikasikan pasien dalam resiko terjadinya keguguran. Antibodi cardiolipin dihubungkan dengan kecenderungan terjadinya pembekuan darah. Pasien SLE yang mempunyai antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulant memerlukan pengobatan pengenceran darah (aspirin dengan atau tanpa heparin) selama kehamilan untuk mencegah keguguran. Pengobatan lain yang telah dilaporkan adalah meliputi penggunaan gamma globulin intravena pada pasien2 yang mempunyai riwayat keguguran prematur dan mereka yang mempunyai elemen pembekuan darah (platelet) yang rendah selama hamil. Wanita hamil yang mempunyai kejadian pembekuan darah sebelumnya dapat menguntungkan bila melanjutkan pengobatan dengan pengencer darah selama dan setelah hamil 6 sampai 12 minggu, dimana resiko pembekuan yang berhubungan dengan kehamilan nampak berkurang. Plaquenil sekarang ini diketahui aman untuk digunakan dalam pengobatan SLE selama kehamilan.

Antibodi lupus dapat ditransfer dari ibu ke janin dan menyebabkan lupus pada bayi baru lahir (neonatal lupus). Ini meliputi terjadinya penurunan sel darah merah (anemia) dan atau jumlah sel darah putih dan platelet, dan rash kulit. Masalah dapat juga terjadi pada sistem kelistrikan jantung bayi (congenital heart block). Kadang-kadang, pacemaker jantung bayi diperlukan dalam hal ini. Neonatal lupus dan congenital heart block lebih sering pada bayi baru lahir dengan ibu yang menderita SLE yang membawa antibodi yang disebut anti-Ro (atau SS-A) dan anti-La (atau SS-B). (bijaksana untuk dokter bayi baru lahir untuk hati-hati jika ibunya diketahui membawa antibodi ini, juga sebelum kelahiran. Resiko terjadinya blok jantung adalah 2%, resiko neonatal lupus 5%). Neonatal lupus biasanya hilang setelah 6 bulan, saat antibodi ibu pelan-pelan dimetabolisasi oleh bayi.

Apakah pegangan masa depan bagi pasien lupus?

Secara keseluruhan, harapan pasien dengan systemic lupus semakin baik tiap tahun dengan berkembangnya tes monitoring dan pengobatan yang makin akurat

Peran sistem imun dalam menyebabkan penyakit dipahami dengan semakin baik melalui penelitian. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mendisain metode pengobatan yang lebih aman dan efektif. Sebagai contoh, perbaikan lengkap sistem imun pada pasien dengan pengobatan yang sangat agresif yang secara temporal menghapus sistem imun telah dievaluasi. Penelitian terbaru melibatkan eradikasi imun dengan atau tanpa penggantian sel yang dapat mengembalikan sistem imun (transplantasi stem sel)

Perlu dicatat bahwa pasien SLE sedikit meningkat resikonya untuk terkena kanker. Resiko kanker paling dramatis pada kanker darah, seperti leukemia dan lymphoma, tetapi juga meningkat pada kanker payudara. Resiko ini mungkin terkait perubahan sistem imun yang khas pada SLE.

Wanita dengan SLE tampaknya meningkat resikonya untuk penyakit jantung (penyakit arteri koroner) berdasarkan laporan terakhir. Wanita dengan SLE sebaiknya dievaluasi dan dinasehatkan untuk meminimalkan faktor2 resiko terjadinya penyakit jantung, seperti peningkatan kolesterol darah, berhenti merokok, tekanan darah tinggi dan obesitas.

DHEA (dehydroepiandrosterone) telah sangat membantu mengurangi keletihan (fatigue), memperbaiki kesulitan berpikir, dan memperbaiki kualitas hidup pasien SLE. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa DHEA telah terbukti memperbaiki dan menstabilkan tanda2 dan gejala2 SLE. DHEA umum tersedia di dalam toko2 makanan sehat, farmasi dan groseri2.

Penelitian yang penting telah menunjukkan dengan jelas bahwa kontrasepsi oral tidak meningkatkan angka terjadinya flare pada SLE. Penemuan penting ini telah membantah apa yang telah dipercaya bertahun2. Sekarang kita dapat meyakinkan kembali wanita dengan lupus bahwa jika ingin memakai pil kontrasepsi, mereka tidak mengalami peningkatan resiko terjadinya flare lupus. CATATAN: pil kontrasepsi atau obat estrogen apapun sebaiknya tetap dihindari oleh wanita yang mempunyai resiko yang tinggi terhadap pembekuan darah, seperti wanita dengan lupus yang mempunyai antibodi fosfolipid (termasuk antibodi cardiolipin dan lupus anticoagulant)

Individu dengan SLE dapat memperbaiki prognosisnya dengan belajar tentang banyak aspek tentang penyakitnya juga memonitor dengan ketat kesehatannya sendiri dengan dokternya.
Dimanakah informasi lebih banyak tentang lupus bisa diperoleh?

Untuk informasi lebih lanjut tentang systemic lupus erythematosus, lihat situs dibawah ini:

The Arthritis Foundation http://www.arthritis.org)
P.O Box 19000
Atlanta, Georgia 30326

Lupus Foundation of Minnesota http://www.lupusmn.org)

Sekilas tentang Systemic Lupus Erythematosus

* SLE adalah suatu penyakit autoimun
* SLE dicirikan oleh produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah
* SLE 8x lebih banyak pada wanita daripada pria
* Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus, sinar ultraviolet dan obat2an, semuanya dapat berperan.
* Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi systemic lupus erithematosus
* Sebelas kriteria membantu dokter mendiagnosa SLE
* Pengobatan SLE secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun
* Pasien dengan SLE dapat mencegah “flare” dengan menghindari paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba2 dan memonitor kondisinya dengan dokter.

SLE

PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
digambarkan pertama kali oleh Cazenave dan
Clausit di tahun 1852. Pada awal abab ke-20
William Osler dkk menggambarkan berbagai bentuk
klinis yang melibatkan sendi, ginjal dan susunan
syaraf pusat. Di tahun 1948 Hargreaves pertama kali
menemukan sel LE tetapi antibodi antinuklear baru
ditemukan oleh Friou dkk dengan bantuan teknik
imunofluoresen di tahun 1957-1958. Penyakit ini
terutama menyerang wanita muda dengan insiden
puncak pada usia 15-40 tahun selama masa
reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 6-
10:1.1,2
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
233
SLE merupakan penyakit autoimun yang
ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponenkomponen
inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi
sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum
jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis
SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor
lingkungan, genetik dan hormonal. Terganggunya
mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari
sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks
imun berperan penting terhadap terjadinya SLE.
Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen,
meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel
B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2
menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan
terbentuknya autoantibodi.3-6
Autoantibodi tersebut ada yang digunakan
sebagai petanda penyakit, ada pula autoantibodi
yang berperan pada patogenesis dan kerusakan
jaringan. Autoantibodi yang berkaitan dengan
patogenesis dan kerusakan jaringan ini umumnya
berkaitan pula dengan manifestasi klinis.
Metode pemeriksaan antibodi juga perlu
diperhatikan karena masing-masing metode tersebut
mendeteksi antibodi yang mempunyai isotipe serta
afinitas tertentu yang berbeda antara metode satu
dengan yang lainya. Idealnya suatu pemeriksaan
bersifat spesifik, sensitif serta mempunyai nilai
prediksi positif dan negatif yang tinggi. Selain itu
juga mampu mencerminkan aktivitas penyakit,
berkorelasi dengan keterlibatan organ / manifestasi
klinis atau dapat memprediksi kekambuhan. Hingga
saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang
memenuhi kriteria tersebut karena peningkatan
spesifisitas umumnya diikuti oleh penurunan
sensitivitas, selain itu beberapa gambaran klinik
pada SLE tidak diperantarai oleh antibodi.4,5
PATOGENESIS SLE
Diduga terbentuknya komplek imun (DNA
dan anti-DNA) merupakan ciri imunopatologis
lupus. Antibodi yang mengikat nukleosum (DNA
dan histon) dapat terjadi di ginjal dan membentuk
kompleks imun in situ. Baik komplek imun yang
dibentuk dalam sirkulasi atau insitu berperan dalam
terjadinya kerusakan ginjal, kulit, pleksus koroid di
otak dan jaringan lainnya.4-6
SLE ditandai oleh terjadinya penyimpangan
sistem imun yang melibatkan sel T, sel B dan sel-sel
monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel B poliklonal,
meningkatnya jumlah sel yang menghasilkan
antibodi, hypergammaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan terbentuknya kompleks imun.
Aktivasi sel B poliklonal tersebut akan membentuk
antibodi yang tidak spesifik yang dapat bereaksi
terhadap berbagai jenis antigen termasuk antigen
tubuh sendiri. Terdapat bukti bahwa sel B pasien
SLE lebih sensitif terhadap stimulasi sitokin seperti
IL-6. Jumlah sel B didapatkan meningkat di darah
tepi pada setiap tahapan aktivasinya.4
Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasien
SLE diperantarai oleh interaksi antara CD4+ dan
CD8+ sel T helper, dan duoble negative T cells
(CD4- CD8-) dengan sel B. Terjadi kegagalan
fungsi dari aktivitas supresi CD8+ sel T suppressor
dan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T dan
sel NK pada pasien SLE tidak mampu mengatur
sintesis dari imunoglobulin poliklonal dan produksi
autoantibodi. Gagalnya supresi terhadap sel B
mungkin merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan penyakit berlangsung terus.4,6
Pembersihan (clearance) dari kompleks
imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami
gangguan pada SLE sehingga akan menghambat
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
234
eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan.
Hal ini diduga akibat dari penurunan jumlah CR1
yang merupakan reseptor untuk komplemen dan
terjadi gangguan fungsi dari reseptor pada
permukaan sel. Gangguan clearance ini juga diduga
akibat dari ketidakadekuatan fagositosis IgG2 dan
IgG3.3,4
Pada pasien SLE juga ditemukan defek pada
produksi sitokin. Penurunan produksi IL-1 dan IL-2
dapat berpengaruh terhadap fungsi sel T dan sel B.
Di samping itu ditemukan pula penurunan respon
sel Ts terhadap IL-2 yang mengakibatkan fungsinya
menurun sehingga fungsi sel Th seakan lebih
meningkat. Sebaliknya hiperreaktivitas sel B dapat
disebabkan oleh hipersensitivitas sel Th terhadap
IL-2.4,7
Saat ini ditemukan bahwa IL-10 juga
memegang peranan penting dalam patogenesis SLE.
IL-10 merupakan sitokin dari Th2 yang bekerja
sebagai stimulasi yang kuat dari proliferasi dan
diferensiasi sel B dan mediator yang penting dari
aktivasi sel B poliklonal pada SLE. Produksi IL-10
dan konsentrasi IL-10 plasma lebih tinggi pada
pasien SLE dan ini berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Pada pasien SLE juga terjadi kegagalan
dalam produksi IL-12. Sehingga diduga adanya
disregulasi dari keseimbangan IL-10 dan IL-12
memegang peranan penting terhadap gagalnya
respon imun selular pada pasien SLE.4,7
Meningkatnya apoptosis pada SLE
menyebabkan meningkatnya kebocoran antigen
intraseluler yang dapat merangsang respon
autoimun dan berpartisipasi dalam pembentukan
kompleks imun. Dalam keadaan normal sel-sel yang
mengalami apoptosis akan dimakan oleh makrofag
pada fase awal dari apoptosis tanpa merangsang
terjadinya inflamasi dan respon imun. Terjadinya
defek pada clearance dari sel-sel apoptosis diduga
akibat dari defek dalam jumlah dan kualitas dari
protein komplemen seperti C2, C4 atau C1q.
Beberapa studi menunjukkan bahwa terjadinya
autoantibodi pada SLE akibat 2 perubahan mayor
yaitu meningkatnya apoptosis limfosit dan monosit
dalam sirkulasi dan kesalahan dalam pengenalan
autoantigen yang dilepaskan selama apoptosis.4,8,9
Gambar 1. Patogenesis SLE 4
AUTOANTIBODI PADA SLE
DAN KAITANNYA DENGAN MANIFESTASI
KLINIS
Autoantibodi merupakan bagian integral dari
proses klasifikasi dan deteksi beberapa penyakit
yang diperantarai oleh autoimun. Antibodi
antinuklear (ANA) ditemukan 40 tahun yang lalu
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
235
dan diduga terdapat kaitan yang erat dengan SLE.
Antibodi antinuklear bukan hanya merupakan satu
jenis antibodi, tetapi terdapat berbagai antibodi yang
berbeda yang berkaitan dengan penyakit dan
manifestasinya. ANA adalah antibodi terhadap inti
sel baik membran inti maupun DNA. Target antigen
sangat heterogen dan bervariasi dalam satu
penyakit. Bervariasinya peranan biologi dari
berbagai antibodi antinuklear maka tidak mungkin
memperkirakan outcome klinis pasien hanya
berdasarkan profil autoantibodi saja.10,11
Beberapa antibodi antinuklear (ANA)
dikatakan spesifik berkaitan dengan manifestasi
klinis aktivitas SLE dapat dilihat pada tabel.
Tabel 1. Antinuklear antibodi spesifik10
ANA tes merupakan penapisan awal yang
efektif pada pasien dengan gambaran klinis SLE.
Lebih lanjut pada pasien dengan ANA positif perlu
dilakukan pemeriksaan jenis autoantibodi yang
lebih spesifik seperti anti-dsDNA. Pada kriteria
diagnosis SLE menurut ACR 1982 disebutkan titer
abnormal ANA tetapi tidak disebutkan nilai batas
tersebut. Secara umum bisa dikatakan semakin
tinggi titer ANA semakin berarti terutama pada
pasien muda. Apabila ANA negatif maka
kemungkinan SLE sangat kecil. ANA negatif
didapatkan pada 2% pasien SLE dengan metode
pemeriksaan yang saat ini ada yaitu yang
menggunakan human tissue culture cell sebagai
subtrat, sedang apabila dengan menggunakan rodent
tissue subrate, SLE dengan ANA negatif bisa
sampai 5%. Pada pasien SLE dengan ANA negatif
ini ternyata apabila diperiksa dengan ELISA yang
sensitif didapatkan anti Ro dan La positif hampir
100% . Pada SLE yang sebelumnya ANA positif
bisa menjadi negatif saat remisi. Hal ini didapatkan
pada 10-20 kasus terutama pasien yang mengalami
gagal ginjal. Menghilangnya ANA pada pasien yang
sebelumnya positif tidak bisa diasumsikan bahwa
perjalanan SLE sudah selesai. Hingga saat ini belum
diketahui kaitan antara tingginya titer ANA dengan
manifestasi klinis, aktivitas penyakit maupun
kecendrungan untuk terjadi kekambuhan. Metode
pemeriksaan yang sering digunakan untuk
pemeriksaan ANA adalah indirect
immunofluorescence dan ELISA. ANA yang paling
memiliki makna klinis adalah IgG.5,12
Antibodi antinuklear juga positif pada
sebagian kasus sindrom sjogren, scleroderma, mixed
connective-tissue disease dan SLE yang diakibatkan
oleh obat. Beberapa penyakit non rheumatik yang
juga sering menunjukkan tes yang positif terhadap
antibodi antinuklear meliputi penyakit infeksi
seperti HIV, hepatitis virus. Penyakit tiroid oleh
karena autoimun misalnya graves disease,
hashimoto thyroiditis.10
Antibodi Antinuklear Spesifik
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
236
Tabel 2. ANA positif pada beberapa penyakit
reumatik autoimun dan kondisi lain.5,11
Penyakit
reumatik
autoimun
ANA
positif
(%)
Kondisi lain
ANA
positif
(%)
SLE 93 Hepatitis autoimun 63-91
Scleroderma 85 Graves desease 50
Mixed
connentive
tissue disease
93 Hashimoto thyroiditis 46
Artritis rematoid 41 Primary biliary
cirrhosis 10-40
Polimiositis 61 Populasi normal 13,3
Sindrom sjogren 48 First degree related
family pasien SLE 20-30
ANA tes yang positif pada pasien tanpa
gejala klinis SLE memerllukan interpretasi yang
hati-hati. Dilakukannya skrening asimptomatik
lebih sering memberi hasil yang false positif
daripada true positif dan tidak memberikan
perbaikan outcome klinis dan sebagian besar dari
mereka ternyata tidak pernah menjadi SLE. Sampai
saat ini masih belum jelas bagaimana
memperkirakan bahwa orang dengan hasil tes ANA
positif tanpa gejala klinis yang cukup akan
berkembang menjadi SLE dan tidak ada terapi
spesifik yang dapat dilakukan untuk pencegahan.10
Gambar 2. Antinuclear antibody (ANA) test in a Hypothecal
Population10
1. Antibodi anti DNA untai ganda (anti ds-
DNA)
Antibodi anti DNA merupakan antibodi
klasik pada SLE. IgG anti dsDNA berperan penting
terhadap terjadinya manifestasi klinik SLE terutama
lupus nefritis dan relatif spesifik serta digunakan
sebagai petanda untuk aktivitas penyakit.
Pemeriksaan anti dsDNA sangat penting untuk
diagnosis SLE, 50-70% pasien SLE memiliki anti
dsDNA. Seperti ANA anti dsDNA juga merupakan
salah satu kriteria diagnosis SLE. Hasil penelitian
prospektif Boostma dkk selama 19,6 bulan pada
pasien SLE didapatkan bahwa pasien dengan
peningkatan titer IgG anti dsDNA memiliki risiko
kekambuhan yang lebih tinggi secara bermakna
dibanding yang tanpa titer. Secara umum bisa
dikatakan bahwa apabila pemeriksaan anti dsDNA
dilakukan secara berkala dengan metode yang sama
maka bila terjadi kenaikan titer maka risiko untuk
terjadinya kekambuhan terutama nefritis dan
vaskulitis juga meningkat. Tapi pada beberapa
kasus kekambuhan ginjal didahului oleh penurunan
anti dsDNA. Oleh karena itu maka klinisi harus
menggabungkan hasil pemeriksaan laboratorium
dengan gejala klinis untuk membuat keputusan
pengobatan yang tepat. Jadi pemeriksaan anti
dsDNA memiliki dua kegunaan klinis penting yaitu
pertama untuk diagnosis (titer tinggi anti dsDNA
memiliki spesifisitas lebih dari 90% pada SLE),
yang kedua untuk kewaspadaan terhadap terjadinya
kekambuhan apabila terjadi peningkatan titer dan
meningkatnya risiko lupus nefritis bila didapatkan
anti dsDNA kadar tinggi terutama bila disertai kadar
komplemen serum yang rendah. Antibodi anti
dsDNA dapat menyebabkan kelainan ginjal
(glomerulonefritis) melalui beberapa cara yaitu
pertama anti dsDNA membentuk kompleks dengan
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
237
DNA yang kemudian secara pasif terjebak dalam
glomerulus dan kedua secara langsung anti dsDNA
menempel pada struktur glomerolus. Anti dsDNA
yang yang berhubungan dengan aktivitas penyakit
adalah isotipe IgG.5,13
2. Antibodi antihistone
Antibodi antihistone didapatkan pada 24-
95% pasien SLE. Belum didapatkan bukti kuat
kaitan antara titer antihistone dengan gambaran
klinik dan aktivitas penyakit SLE. Antihiston
didapatkan pada 67-100% pasien lupus imbas obat.
Pada lupus imbas obat ditandai oleh adanya
antihiston IgG anti H2AH2B/DNA kompleks,
sedang antibodi terhadap dsDNA, Sm, U1-RNP,
Ro, La antigen yang merupakan karakteristik
keadaan autoimun umumnya negatif pada lupus
imbas obat. Hal inilah yang membedakan antara
lupus imbas obat dan SLE.5
3. Anti Ro/SSA dan anti La/SSB
Anti Ro dan La didapatkan kurang dari
separuh pasien SLE dan hanya seperlimanya
memiliki titer yang mampu membentuk presipitin.
Relevansi klinik terutama untuk anti Ro, sedang anti
La belum banyak bukti meskipun antibodi ini juga
penting pada SLE. Anti Ro pada SLE berkaitan
dengan ruam kulit fotosensitif, interstisiil
pneumonitis dan trombositopenia. Dilaporkan anti
Ro dan ANA positif pada pasien dengan immune
trombositopenia mendahului 14 tahun sebelum
pasien memenuhi kriteria untuk SLE. Anti Ro juga
berkaitan dengan neonatal lupus dermatitis,
subacute cutaneus lupus dan complete congenital
heart block. Pada penelitian lebih lanjut didapatkan
bahwa yang berperan terhadap terjadinya complete
congenital heart block ini adalah anti-52-kd
Ro/SSA antibodi, sedang anti-60-kd Ro/SSA
antibodi mengakibatkan ganguan konduksi yang
lebih ringan. Dilaporkan bahwa dari pasien-pasien
SLE dengan anti Ro positif, kelainan ginjal akan
terjadi hanya pada pasien yang tanpa disertai anti
La. Antibodi isotipe IgG memiliki relevansi klinik
yang lebih bear dibanding isotipe lainnya.5,12
4. Antibodi anti-Sm dan anti RNP
Anti-Sm dan anti-RNP merupakan
autoantibodi terhadap small nuclear
ribonucleoprotein (snRNP). Antibodi anti-SM
merupakan petanda diagnostik penting dari SLE dan
merupakan satu dari sebelas kriteria diagnosis SLE
menurut ACR 1982. Anti SM titer tinggi sangat
spesifik untuk SLE. Anti-SM jarang ditemukan
tanpa anti-RNP. Anti RNP lebih sering ditemukan
tetapi kurang spesifik pada SLE. Anti-Sm
didapatkan 10-20% pada pasien SLE kulit putih,
sedang pada pasien SLE Asia dan kulit hitam
didapatkan 30-40% bahkan lebih. Hingga saat ini
belum ada bukti yang signifikan kaitan antara
antibodi anti-Sm dan anti-RNP dengan gambaran
klinik dan perjalanan penyakit SLE.5,12
5. Antibodi anti-ribosomal P
Antibodi anti-ribosom dikaitkan dengan
manifestasi neuropsikiatri SLE terutama dengan
lupus psikosis. Pada penelitian prospektif terhadap
24 pasien dengan manifestasi neuropsikiatri dari
144 pasien SLE, pada 12 pasien dengan psikosis
lupus kadar anti-ribosomal lebih tinngi secara
bermakna dibanding yang tanpa psikosis.5
6. Antibodi antifosfolipid
Antibodi antifospolipid merupakan antibodi
yang ditujukan terhadap fospolipid bermuatan
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
238
negatif dari membran sel. Autoantibodi ini dikaitkan
dengan trombosis arteri dan vena, abortus berulang
dan trombositopenia yang lebih dikenal dengan
sindrom antifospolipid (APS). Pada awalnya
terdapat tiga serangkaian antibodi antifospolipid
yaitu false positif test for syphilis, antikoagulan
lupus (LA) dan antibodi antikardiolipin (ACA).
Pasien-pasien dengan false positif test for syphilis
berisiko untuk terjadinya lupus dan penyakit
jaringan ikat lainnya (5-19%) tetapi tidak jelas
meningkatkan risiko terjadinya trombosis dan
keguguran. ACA dapat ditemukan pada 30-50%
sedang LA hanya didapatkan pada sekitar 20%
penderit SLE.
Pada tahun 1990 dilaporkan bahwa protein
plasma yaitu 2-glikoprotein1 merupakan kofaktor
pada pemeriksaan ACA yang menguatkan ikatan
dengan antikardiolipin. 2-glikoprotein1 berperan
sebagai inhibitor ADP-induced platelet
aggregation, aktivasi jalur koagulasi intrinsik dan
aktivasi protrombinase. Juga dilaporkan adanya
antibodi anti 2-glikoprotein1. Oleh karena itu bisa
dimengerti mengapa adanya antibodi antifospolipid
ini meningkatkan risiko trombosis. Pada saat ini
antibodi antifospolipid yang digunakan sebagai
kriteria laboratorium sindrom antifospolipid adalah
antibodi antikardiolipin IgG dan atau IgM dalam
darah dengan kadar sedang atau kadar tinggi pada
dua kali pemeriksaan atau lebih dengan interval
waktu 6 minggu 5,13
7. Antibodi antieritrosit
Antibodi antieritrosit yang dideteksi dengan
test antiglobulin (Combs test) terdiri dari dua jenis
yaitu antibodi yang berikatan dengan permukaan
circulating erythrocyte (dideteksi dengan direct
combs test) dan free anti red blood cell antibody
yang dideteksi dengan indirect combs test.
Pemeriksaan lain dapat digunakan untuk deteksi
autoantibodi ini adalah ELISA dan radioassay,
tetapi pada sebagian besar laboratorium combs test
masih merupakan pemeriksaan standar untuk
antibodi antieritrosit. Autoantibodi ini
dikelompokan menjadi dua tipe utama yaitu warm
type antibody dan cold type antibody. Pada SLE dan
AIHA idiopatik terutama adalah warm type. Warm
type antibody ini biasanya adalah IgG, sedang cold
type antibody biasanya IgM. Pada hasil pemeriksaan
direct Combs test terdapat tiga pola reaktivitas
yaitu: tipe I: IgG, IgM dan IgA baik sendiri maupun
kombinasi terdapat pada permukaan eritrosit. Tipe
II: immunoglobulin dan komponen komplemen
terikat pada permukaan eritrosit dan tipe III : hanya
didapatkan komponen komplemen pada permukaan
eritrosit. Tipe I ini biasanya didapatkan pada AIHA
idiopatik, tipe II dan III adalah tipe yang biasanya
didapatkan pada SLE.
RINGKASAN
SLE merupakan penyakit autoimun yang
ditandai oleh adanya berebagai macam autoantibodi.
Imunopatologi SLE adalah komplek, merupakan
defek seluler multipel dengan produksi berbagai
antibodi yang berlebihan. Autoantibodi pada SLE
ada yang sangat berguna dalam diagnosis penyakit,
baik oleh karena sensitivitas yang tinggi (ANA)
maupun oleh karena spesifisitasnya yang tinggi
seperti anti dsDNA dan anti SM. Beberapa antibodi
diketahui berperan dalam patogenesis penyakit dan
berkaitan erat dengan manifestasi klinis seperti anti
dsDNA dan antikardiolipin. ANA merupakan
pemeriksaan penapisan awal pada pasien
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
239
denganbaran klinis yang mengarah ke SLE, dan bila
positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menentukan jenis autoantibodi yang lebih
spesifik. Didalam interprestasi hasil pemeriksaan
autoantibodi perlu diperhatikan jenis metode
pemeriksaan dan jenis antibodi yang dinilai pada
pemeriksaan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
Lupus eritematosus sistemik. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam, 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1224-35.
2. Rengganis I. Tatalaksana holistik SLE. In:
Setiati S, Alwi I, Kolopaking MS, Chen K,
editors. Current diagnosis and treatment in
internal medicine. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2004.p.1-11.
3. Munoz LE, Gaipl US, Franz S, Sheriff A, Voll
RE, Kalden JR, Herrmann M. SLE-a disease of
clearance deficiency ? Rheumatology
2005;44:1101-07.
4. Mok C, Lau S. Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. J Clin Pathol. 2003;56:481-90.
5. Sumariyono. Spektrum autoantibodi pada LES
dan hubungannya dengan gambaran klinik. In:
Setiyohadi B, Kasjmir YI, editors. Naskah
lengkap temu ilmiah reumatologi ASEAN
meeting on gout and hyperuricemia. Jakarta:
EGC; 2003.p.149-53.
6. Hahn BH. An overview of the pathogenesis of
systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ,
Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus.
4th ed. Philadelpia: Lea & Febiger; 1992.p.67-9.
7. Dean GS, Price JT, Crawley E, Isenberg DA.
Cytokines and systemic lupus erythematosus.
Ann Rheum Dis 2000;59:243-51.
8. Salmon M, Gordon C. The role of apoptosis in
systemic lupus erythematosus. Rheumatology
1999;38:1177-83.
9. Ballestar E, Esteller M, Richardson BC. The
epigenetic face of systemic lupus erythematosus.
Journal of Immunology 2006;176:7143-47.
10. Shmerling RH. Autoantibodies in systemic
lupus erythematosus – there before you know it.
New Eng J Med 2003;349:16.
11. Aboyoussef M. The value of the anti-nuclear
antibodies (ANA). ASJOG 2004;1:68-71.
12. Mills JA. Systemic lupus erythematosus. New
Eng J Med 1994;330:1871-79.
13. Rahman A. Autoantibodies, lupus and the
science of sabotage. Rheumatology
2004;43:1326-36.