Selasa, 20 April 2010

SLE

PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
digambarkan pertama kali oleh Cazenave dan
Clausit di tahun 1852. Pada awal abab ke-20
William Osler dkk menggambarkan berbagai bentuk
klinis yang melibatkan sendi, ginjal dan susunan
syaraf pusat. Di tahun 1948 Hargreaves pertama kali
menemukan sel LE tetapi antibodi antinuklear baru
ditemukan oleh Friou dkk dengan bantuan teknik
imunofluoresen di tahun 1957-1958. Penyakit ini
terutama menyerang wanita muda dengan insiden
puncak pada usia 15-40 tahun selama masa
reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 6-
10:1.1,2
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
233
SLE merupakan penyakit autoimun yang
ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponenkomponen
inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi
sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum
jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis
SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor
lingkungan, genetik dan hormonal. Terganggunya
mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari
sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks
imun berperan penting terhadap terjadinya SLE.
Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen,
meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel
B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2
menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan
terbentuknya autoantibodi.3-6
Autoantibodi tersebut ada yang digunakan
sebagai petanda penyakit, ada pula autoantibodi
yang berperan pada patogenesis dan kerusakan
jaringan. Autoantibodi yang berkaitan dengan
patogenesis dan kerusakan jaringan ini umumnya
berkaitan pula dengan manifestasi klinis.
Metode pemeriksaan antibodi juga perlu
diperhatikan karena masing-masing metode tersebut
mendeteksi antibodi yang mempunyai isotipe serta
afinitas tertentu yang berbeda antara metode satu
dengan yang lainya. Idealnya suatu pemeriksaan
bersifat spesifik, sensitif serta mempunyai nilai
prediksi positif dan negatif yang tinggi. Selain itu
juga mampu mencerminkan aktivitas penyakit,
berkorelasi dengan keterlibatan organ / manifestasi
klinis atau dapat memprediksi kekambuhan. Hingga
saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang
memenuhi kriteria tersebut karena peningkatan
spesifisitas umumnya diikuti oleh penurunan
sensitivitas, selain itu beberapa gambaran klinik
pada SLE tidak diperantarai oleh antibodi.4,5
PATOGENESIS SLE
Diduga terbentuknya komplek imun (DNA
dan anti-DNA) merupakan ciri imunopatologis
lupus. Antibodi yang mengikat nukleosum (DNA
dan histon) dapat terjadi di ginjal dan membentuk
kompleks imun in situ. Baik komplek imun yang
dibentuk dalam sirkulasi atau insitu berperan dalam
terjadinya kerusakan ginjal, kulit, pleksus koroid di
otak dan jaringan lainnya.4-6
SLE ditandai oleh terjadinya penyimpangan
sistem imun yang melibatkan sel T, sel B dan sel-sel
monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel B poliklonal,
meningkatnya jumlah sel yang menghasilkan
antibodi, hypergammaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan terbentuknya kompleks imun.
Aktivasi sel B poliklonal tersebut akan membentuk
antibodi yang tidak spesifik yang dapat bereaksi
terhadap berbagai jenis antigen termasuk antigen
tubuh sendiri. Terdapat bukti bahwa sel B pasien
SLE lebih sensitif terhadap stimulasi sitokin seperti
IL-6. Jumlah sel B didapatkan meningkat di darah
tepi pada setiap tahapan aktivasinya.4
Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasien
SLE diperantarai oleh interaksi antara CD4+ dan
CD8+ sel T helper, dan duoble negative T cells
(CD4- CD8-) dengan sel B. Terjadi kegagalan
fungsi dari aktivitas supresi CD8+ sel T suppressor
dan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T dan
sel NK pada pasien SLE tidak mampu mengatur
sintesis dari imunoglobulin poliklonal dan produksi
autoantibodi. Gagalnya supresi terhadap sel B
mungkin merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan penyakit berlangsung terus.4,6
Pembersihan (clearance) dari kompleks
imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami
gangguan pada SLE sehingga akan menghambat
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
234
eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan.
Hal ini diduga akibat dari penurunan jumlah CR1
yang merupakan reseptor untuk komplemen dan
terjadi gangguan fungsi dari reseptor pada
permukaan sel. Gangguan clearance ini juga diduga
akibat dari ketidakadekuatan fagositosis IgG2 dan
IgG3.3,4
Pada pasien SLE juga ditemukan defek pada
produksi sitokin. Penurunan produksi IL-1 dan IL-2
dapat berpengaruh terhadap fungsi sel T dan sel B.
Di samping itu ditemukan pula penurunan respon
sel Ts terhadap IL-2 yang mengakibatkan fungsinya
menurun sehingga fungsi sel Th seakan lebih
meningkat. Sebaliknya hiperreaktivitas sel B dapat
disebabkan oleh hipersensitivitas sel Th terhadap
IL-2.4,7
Saat ini ditemukan bahwa IL-10 juga
memegang peranan penting dalam patogenesis SLE.
IL-10 merupakan sitokin dari Th2 yang bekerja
sebagai stimulasi yang kuat dari proliferasi dan
diferensiasi sel B dan mediator yang penting dari
aktivasi sel B poliklonal pada SLE. Produksi IL-10
dan konsentrasi IL-10 plasma lebih tinggi pada
pasien SLE dan ini berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Pada pasien SLE juga terjadi kegagalan
dalam produksi IL-12. Sehingga diduga adanya
disregulasi dari keseimbangan IL-10 dan IL-12
memegang peranan penting terhadap gagalnya
respon imun selular pada pasien SLE.4,7
Meningkatnya apoptosis pada SLE
menyebabkan meningkatnya kebocoran antigen
intraseluler yang dapat merangsang respon
autoimun dan berpartisipasi dalam pembentukan
kompleks imun. Dalam keadaan normal sel-sel yang
mengalami apoptosis akan dimakan oleh makrofag
pada fase awal dari apoptosis tanpa merangsang
terjadinya inflamasi dan respon imun. Terjadinya
defek pada clearance dari sel-sel apoptosis diduga
akibat dari defek dalam jumlah dan kualitas dari
protein komplemen seperti C2, C4 atau C1q.
Beberapa studi menunjukkan bahwa terjadinya
autoantibodi pada SLE akibat 2 perubahan mayor
yaitu meningkatnya apoptosis limfosit dan monosit
dalam sirkulasi dan kesalahan dalam pengenalan
autoantigen yang dilepaskan selama apoptosis.4,8,9
Gambar 1. Patogenesis SLE 4
AUTOANTIBODI PADA SLE
DAN KAITANNYA DENGAN MANIFESTASI
KLINIS
Autoantibodi merupakan bagian integral dari
proses klasifikasi dan deteksi beberapa penyakit
yang diperantarai oleh autoimun. Antibodi
antinuklear (ANA) ditemukan 40 tahun yang lalu
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
235
dan diduga terdapat kaitan yang erat dengan SLE.
Antibodi antinuklear bukan hanya merupakan satu
jenis antibodi, tetapi terdapat berbagai antibodi yang
berbeda yang berkaitan dengan penyakit dan
manifestasinya. ANA adalah antibodi terhadap inti
sel baik membran inti maupun DNA. Target antigen
sangat heterogen dan bervariasi dalam satu
penyakit. Bervariasinya peranan biologi dari
berbagai antibodi antinuklear maka tidak mungkin
memperkirakan outcome klinis pasien hanya
berdasarkan profil autoantibodi saja.10,11
Beberapa antibodi antinuklear (ANA)
dikatakan spesifik berkaitan dengan manifestasi
klinis aktivitas SLE dapat dilihat pada tabel.
Tabel 1. Antinuklear antibodi spesifik10
ANA tes merupakan penapisan awal yang
efektif pada pasien dengan gambaran klinis SLE.
Lebih lanjut pada pasien dengan ANA positif perlu
dilakukan pemeriksaan jenis autoantibodi yang
lebih spesifik seperti anti-dsDNA. Pada kriteria
diagnosis SLE menurut ACR 1982 disebutkan titer
abnormal ANA tetapi tidak disebutkan nilai batas
tersebut. Secara umum bisa dikatakan semakin
tinggi titer ANA semakin berarti terutama pada
pasien muda. Apabila ANA negatif maka
kemungkinan SLE sangat kecil. ANA negatif
didapatkan pada 2% pasien SLE dengan metode
pemeriksaan yang saat ini ada yaitu yang
menggunakan human tissue culture cell sebagai
subtrat, sedang apabila dengan menggunakan rodent
tissue subrate, SLE dengan ANA negatif bisa
sampai 5%. Pada pasien SLE dengan ANA negatif
ini ternyata apabila diperiksa dengan ELISA yang
sensitif didapatkan anti Ro dan La positif hampir
100% . Pada SLE yang sebelumnya ANA positif
bisa menjadi negatif saat remisi. Hal ini didapatkan
pada 10-20 kasus terutama pasien yang mengalami
gagal ginjal. Menghilangnya ANA pada pasien yang
sebelumnya positif tidak bisa diasumsikan bahwa
perjalanan SLE sudah selesai. Hingga saat ini belum
diketahui kaitan antara tingginya titer ANA dengan
manifestasi klinis, aktivitas penyakit maupun
kecendrungan untuk terjadi kekambuhan. Metode
pemeriksaan yang sering digunakan untuk
pemeriksaan ANA adalah indirect
immunofluorescence dan ELISA. ANA yang paling
memiliki makna klinis adalah IgG.5,12
Antibodi antinuklear juga positif pada
sebagian kasus sindrom sjogren, scleroderma, mixed
connective-tissue disease dan SLE yang diakibatkan
oleh obat. Beberapa penyakit non rheumatik yang
juga sering menunjukkan tes yang positif terhadap
antibodi antinuklear meliputi penyakit infeksi
seperti HIV, hepatitis virus. Penyakit tiroid oleh
karena autoimun misalnya graves disease,
hashimoto thyroiditis.10
Antibodi Antinuklear Spesifik
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
236
Tabel 2. ANA positif pada beberapa penyakit
reumatik autoimun dan kondisi lain.5,11
Penyakit
reumatik
autoimun
ANA
positif
(%)
Kondisi lain
ANA
positif
(%)
SLE 93 Hepatitis autoimun 63-91
Scleroderma 85 Graves desease 50
Mixed
connentive
tissue disease
93 Hashimoto thyroiditis 46
Artritis rematoid 41 Primary biliary
cirrhosis 10-40
Polimiositis 61 Populasi normal 13,3
Sindrom sjogren 48 First degree related
family pasien SLE 20-30
ANA tes yang positif pada pasien tanpa
gejala klinis SLE memerllukan interpretasi yang
hati-hati. Dilakukannya skrening asimptomatik
lebih sering memberi hasil yang false positif
daripada true positif dan tidak memberikan
perbaikan outcome klinis dan sebagian besar dari
mereka ternyata tidak pernah menjadi SLE. Sampai
saat ini masih belum jelas bagaimana
memperkirakan bahwa orang dengan hasil tes ANA
positif tanpa gejala klinis yang cukup akan
berkembang menjadi SLE dan tidak ada terapi
spesifik yang dapat dilakukan untuk pencegahan.10
Gambar 2. Antinuclear antibody (ANA) test in a Hypothecal
Population10
1. Antibodi anti DNA untai ganda (anti ds-
DNA)
Antibodi anti DNA merupakan antibodi
klasik pada SLE. IgG anti dsDNA berperan penting
terhadap terjadinya manifestasi klinik SLE terutama
lupus nefritis dan relatif spesifik serta digunakan
sebagai petanda untuk aktivitas penyakit.
Pemeriksaan anti dsDNA sangat penting untuk
diagnosis SLE, 50-70% pasien SLE memiliki anti
dsDNA. Seperti ANA anti dsDNA juga merupakan
salah satu kriteria diagnosis SLE. Hasil penelitian
prospektif Boostma dkk selama 19,6 bulan pada
pasien SLE didapatkan bahwa pasien dengan
peningkatan titer IgG anti dsDNA memiliki risiko
kekambuhan yang lebih tinggi secara bermakna
dibanding yang tanpa titer. Secara umum bisa
dikatakan bahwa apabila pemeriksaan anti dsDNA
dilakukan secara berkala dengan metode yang sama
maka bila terjadi kenaikan titer maka risiko untuk
terjadinya kekambuhan terutama nefritis dan
vaskulitis juga meningkat. Tapi pada beberapa
kasus kekambuhan ginjal didahului oleh penurunan
anti dsDNA. Oleh karena itu maka klinisi harus
menggabungkan hasil pemeriksaan laboratorium
dengan gejala klinis untuk membuat keputusan
pengobatan yang tepat. Jadi pemeriksaan anti
dsDNA memiliki dua kegunaan klinis penting yaitu
pertama untuk diagnosis (titer tinggi anti dsDNA
memiliki spesifisitas lebih dari 90% pada SLE),
yang kedua untuk kewaspadaan terhadap terjadinya
kekambuhan apabila terjadi peningkatan titer dan
meningkatnya risiko lupus nefritis bila didapatkan
anti dsDNA kadar tinggi terutama bila disertai kadar
komplemen serum yang rendah. Antibodi anti
dsDNA dapat menyebabkan kelainan ginjal
(glomerulonefritis) melalui beberapa cara yaitu
pertama anti dsDNA membentuk kompleks dengan
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
237
DNA yang kemudian secara pasif terjebak dalam
glomerulus dan kedua secara langsung anti dsDNA
menempel pada struktur glomerolus. Anti dsDNA
yang yang berhubungan dengan aktivitas penyakit
adalah isotipe IgG.5,13
2. Antibodi antihistone
Antibodi antihistone didapatkan pada 24-
95% pasien SLE. Belum didapatkan bukti kuat
kaitan antara titer antihistone dengan gambaran
klinik dan aktivitas penyakit SLE. Antihiston
didapatkan pada 67-100% pasien lupus imbas obat.
Pada lupus imbas obat ditandai oleh adanya
antihiston IgG anti H2AH2B/DNA kompleks,
sedang antibodi terhadap dsDNA, Sm, U1-RNP,
Ro, La antigen yang merupakan karakteristik
keadaan autoimun umumnya negatif pada lupus
imbas obat. Hal inilah yang membedakan antara
lupus imbas obat dan SLE.5
3. Anti Ro/SSA dan anti La/SSB
Anti Ro dan La didapatkan kurang dari
separuh pasien SLE dan hanya seperlimanya
memiliki titer yang mampu membentuk presipitin.
Relevansi klinik terutama untuk anti Ro, sedang anti
La belum banyak bukti meskipun antibodi ini juga
penting pada SLE. Anti Ro pada SLE berkaitan
dengan ruam kulit fotosensitif, interstisiil
pneumonitis dan trombositopenia. Dilaporkan anti
Ro dan ANA positif pada pasien dengan immune
trombositopenia mendahului 14 tahun sebelum
pasien memenuhi kriteria untuk SLE. Anti Ro juga
berkaitan dengan neonatal lupus dermatitis,
subacute cutaneus lupus dan complete congenital
heart block. Pada penelitian lebih lanjut didapatkan
bahwa yang berperan terhadap terjadinya complete
congenital heart block ini adalah anti-52-kd
Ro/SSA antibodi, sedang anti-60-kd Ro/SSA
antibodi mengakibatkan ganguan konduksi yang
lebih ringan. Dilaporkan bahwa dari pasien-pasien
SLE dengan anti Ro positif, kelainan ginjal akan
terjadi hanya pada pasien yang tanpa disertai anti
La. Antibodi isotipe IgG memiliki relevansi klinik
yang lebih bear dibanding isotipe lainnya.5,12
4. Antibodi anti-Sm dan anti RNP
Anti-Sm dan anti-RNP merupakan
autoantibodi terhadap small nuclear
ribonucleoprotein (snRNP). Antibodi anti-SM
merupakan petanda diagnostik penting dari SLE dan
merupakan satu dari sebelas kriteria diagnosis SLE
menurut ACR 1982. Anti SM titer tinggi sangat
spesifik untuk SLE. Anti-SM jarang ditemukan
tanpa anti-RNP. Anti RNP lebih sering ditemukan
tetapi kurang spesifik pada SLE. Anti-Sm
didapatkan 10-20% pada pasien SLE kulit putih,
sedang pada pasien SLE Asia dan kulit hitam
didapatkan 30-40% bahkan lebih. Hingga saat ini
belum ada bukti yang signifikan kaitan antara
antibodi anti-Sm dan anti-RNP dengan gambaran
klinik dan perjalanan penyakit SLE.5,12
5. Antibodi anti-ribosomal P
Antibodi anti-ribosom dikaitkan dengan
manifestasi neuropsikiatri SLE terutama dengan
lupus psikosis. Pada penelitian prospektif terhadap
24 pasien dengan manifestasi neuropsikiatri dari
144 pasien SLE, pada 12 pasien dengan psikosis
lupus kadar anti-ribosomal lebih tinngi secara
bermakna dibanding yang tanpa psikosis.5
6. Antibodi antifosfolipid
Antibodi antifospolipid merupakan antibodi
yang ditujukan terhadap fospolipid bermuatan
J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 September 2007
238
negatif dari membran sel. Autoantibodi ini dikaitkan
dengan trombosis arteri dan vena, abortus berulang
dan trombositopenia yang lebih dikenal dengan
sindrom antifospolipid (APS). Pada awalnya
terdapat tiga serangkaian antibodi antifospolipid
yaitu false positif test for syphilis, antikoagulan
lupus (LA) dan antibodi antikardiolipin (ACA).
Pasien-pasien dengan false positif test for syphilis
berisiko untuk terjadinya lupus dan penyakit
jaringan ikat lainnya (5-19%) tetapi tidak jelas
meningkatkan risiko terjadinya trombosis dan
keguguran. ACA dapat ditemukan pada 30-50%
sedang LA hanya didapatkan pada sekitar 20%
penderit SLE.
Pada tahun 1990 dilaporkan bahwa protein
plasma yaitu 2-glikoprotein1 merupakan kofaktor
pada pemeriksaan ACA yang menguatkan ikatan
dengan antikardiolipin. 2-glikoprotein1 berperan
sebagai inhibitor ADP-induced platelet
aggregation, aktivasi jalur koagulasi intrinsik dan
aktivasi protrombinase. Juga dilaporkan adanya
antibodi anti 2-glikoprotein1. Oleh karena itu bisa
dimengerti mengapa adanya antibodi antifospolipid
ini meningkatkan risiko trombosis. Pada saat ini
antibodi antifospolipid yang digunakan sebagai
kriteria laboratorium sindrom antifospolipid adalah
antibodi antikardiolipin IgG dan atau IgM dalam
darah dengan kadar sedang atau kadar tinggi pada
dua kali pemeriksaan atau lebih dengan interval
waktu 6 minggu 5,13
7. Antibodi antieritrosit
Antibodi antieritrosit yang dideteksi dengan
test antiglobulin (Combs test) terdiri dari dua jenis
yaitu antibodi yang berikatan dengan permukaan
circulating erythrocyte (dideteksi dengan direct
combs test) dan free anti red blood cell antibody
yang dideteksi dengan indirect combs test.
Pemeriksaan lain dapat digunakan untuk deteksi
autoantibodi ini adalah ELISA dan radioassay,
tetapi pada sebagian besar laboratorium combs test
masih merupakan pemeriksaan standar untuk
antibodi antieritrosit. Autoantibodi ini
dikelompokan menjadi dua tipe utama yaitu warm
type antibody dan cold type antibody. Pada SLE dan
AIHA idiopatik terutama adalah warm type. Warm
type antibody ini biasanya adalah IgG, sedang cold
type antibody biasanya IgM. Pada hasil pemeriksaan
direct Combs test terdapat tiga pola reaktivitas
yaitu: tipe I: IgG, IgM dan IgA baik sendiri maupun
kombinasi terdapat pada permukaan eritrosit. Tipe
II: immunoglobulin dan komponen komplemen
terikat pada permukaan eritrosit dan tipe III : hanya
didapatkan komponen komplemen pada permukaan
eritrosit. Tipe I ini biasanya didapatkan pada AIHA
idiopatik, tipe II dan III adalah tipe yang biasanya
didapatkan pada SLE.
RINGKASAN
SLE merupakan penyakit autoimun yang
ditandai oleh adanya berebagai macam autoantibodi.
Imunopatologi SLE adalah komplek, merupakan
defek seluler multipel dengan produksi berbagai
antibodi yang berlebihan. Autoantibodi pada SLE
ada yang sangat berguna dalam diagnosis penyakit,
baik oleh karena sensitivitas yang tinggi (ANA)
maupun oleh karena spesifisitasnya yang tinggi
seperti anti dsDNA dan anti SM. Beberapa antibodi
diketahui berperan dalam patogenesis penyakit dan
berkaitan erat dengan manifestasi klinis seperti anti
dsDNA dan antikardiolipin. ANA merupakan
pemeriksaan penapisan awal pada pasien
Aspek Imunologi SLE
Yuriawantini, Ketut Suryana
239
denganbaran klinis yang mengarah ke SLE, dan bila
positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menentukan jenis autoantibodi yang lebih
spesifik. Didalam interprestasi hasil pemeriksaan
autoantibodi perlu diperhatikan jenis metode
pemeriksaan dan jenis antibodi yang dinilai pada
pemeriksaan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B.
Lupus eritematosus sistemik. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam, 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1224-35.
2. Rengganis I. Tatalaksana holistik SLE. In:
Setiati S, Alwi I, Kolopaking MS, Chen K,
editors. Current diagnosis and treatment in
internal medicine. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2004.p.1-11.
3. Munoz LE, Gaipl US, Franz S, Sheriff A, Voll
RE, Kalden JR, Herrmann M. SLE-a disease of
clearance deficiency ? Rheumatology
2005;44:1101-07.
4. Mok C, Lau S. Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. J Clin Pathol. 2003;56:481-90.
5. Sumariyono. Spektrum autoantibodi pada LES
dan hubungannya dengan gambaran klinik. In:
Setiyohadi B, Kasjmir YI, editors. Naskah
lengkap temu ilmiah reumatologi ASEAN
meeting on gout and hyperuricemia. Jakarta:
EGC; 2003.p.149-53.
6. Hahn BH. An overview of the pathogenesis of
systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ,
Hahn BH, editors. Dubois lupus erythematosus.
4th ed. Philadelpia: Lea & Febiger; 1992.p.67-9.
7. Dean GS, Price JT, Crawley E, Isenberg DA.
Cytokines and systemic lupus erythematosus.
Ann Rheum Dis 2000;59:243-51.
8. Salmon M, Gordon C. The role of apoptosis in
systemic lupus erythematosus. Rheumatology
1999;38:1177-83.
9. Ballestar E, Esteller M, Richardson BC. The
epigenetic face of systemic lupus erythematosus.
Journal of Immunology 2006;176:7143-47.
10. Shmerling RH. Autoantibodies in systemic
lupus erythematosus – there before you know it.
New Eng J Med 2003;349:16.
11. Aboyoussef M. The value of the anti-nuclear
antibodies (ANA). ASJOG 2004;1:68-71.
12. Mills JA. Systemic lupus erythematosus. New
Eng J Med 1994;330:1871-79.
13. Rahman A. Autoantibodies, lupus and the
science of sabotage. Rheumatology
2004;43:1326-36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar