Selasa, 20 April 2010

Apakah lupus itu? Apa saja tipe-tipe lupus?

Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis bermacam-macam jaringan tibuh. Penyakit autoimun adalah penyakit-penyakit yang terjadi jika jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri. Sistem imun adalah sistem yang kompleks di dalam tubuh yang didisain untuk melawan agen-agen infeksi, seperti bakteri dan mikroba-mikroba asing lain. Salah satu cara sistem imun melawan infeksi adalah dengan memproduksi antibodi yang mengikat mikroba. Pasien dengan lupus menghasilkan antibodi abnormal di dalam darahnya dimana jaringan targetnya adalah lebih ke tubuhnya sendiri daripada agen infeksi asing. Karena antibodi2 bersama sel2 inflamasi dapat mempengaruhi jaringan manapun di dalam tubuh, lupus berpotensi mempengaruhi berbagai area tubuh. Kadang-kadang lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru2, ginjal, persendian dan atau sistem saraf. Jika hanya kulit yang terkena, kondisinya disebut lupus dermatitis atau cutaneous lupus erythematosus. Bentuk dari lupus dermatitis yang dapat diisolasi dari kulit, tanpa penyakit organ dalam, disebut discoid lupus. Jika organ dalam terlibat, maka disebut systemic lupus erythematosus (SLE)

Keduanya, discoid dan systemic lupus lebih banyak pada wanita daripada pria (sekitar 8 kali lebih sering). Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi lebih sering dimulai sejak usia 20 sampai 45 tahun. Statistik menunjukkan bahwa lupus sedikit lebih sering pada ras Afro Amerika dan orang-orang keturunan Cina dan Jepang.

Apakah penyebab lupus? Apakah keturunan?

Penyebab pasti abnormalitas autoimun yang mendasari lupus tidak diketahui. Gen yang diturunkan, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu mungkin juga ikut berperan.

Faktor2 genetik meningkatkan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun, dan penyakit2 autoimun seperti lupus, rheumatoid arthtitis dan penyakit thyroid autoimun lebih sering di antara famili dari pasien dengan lupus dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa sistem imun pada lupus lebih muda distimulasi oleh faktor2 eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat ditimbulkan atau diperburuk hanya oleh terkena cahaya matahari sebentar saja.

Telah diketahui juga bahwa beberapa wanita dengan SLE dapat mengalami pemburukan gejala sebelum periode menstruasinya. Fenomena ini, bersama dengan wanita dengan SLE predominan, menunjukkan bahwa hormon2 wanita mempunyai peran penting dalam ekspresi SLE. Hubungan dengan hormonal ini merupakan area aktif penelitian2 yang sedang dilakukan oleh para ilmuwan.

Penelitian terbaru menunjukkan adanya bukti bahwa kegagalan enzym kunci untuk membuang sel2 mati juga berperan dalam terjadinya SLE. Enzym DNase1, normalnya mengeliminasi apa yang disebut “DNA sampah” dan sampah2 sel lainnya dengan membelahnya menjadi potongan2 yang mudah dibuang. Para peneliti mematikan gen DNase1 pada tikus2 percobaan. Tikus2 tersebut tampak sehat saat lahir, tetapi setelah 6 sampai delapan bulan, mayoritas tikus yang tidak mempunyai DNase1 menunjukkan tanda2 SLE. Jadi, mutasi genetik pada gen yang dapat mengganggu pembuangan sampah sel2 tubuh mungkin terlibat dalam permulaan timbulnya SLE.

Obat apa yang dapat memicu lupus?

Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut : hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), phenytoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat2an jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat2 tsb dihentikan.

Apa saja gejala2 dan tanda2 lupus?

Pasien dengan SLE dapat mengalami kombinasi yang berbeda dari gejala2 dan organ2 yang terkena. Keluhan dan gejala tersering meliputi keletihan, demam ringan, kehilangan nafsu makan, nyeri otot, radang sendi, ulkus pada mulut dan hidung, rash di wajah (”butterfly rash”), sensitifitas yang berlebihan thd sinar matahari (photosensitivity), peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis), dan sirkulasi darah yang buruk pada jari2 dan jempol kaki jika terpapar dingin (fenomena Raynaud). Komplikasi dari organ2 yang terkena dapat menyebabkan gejala2 lanjut yang tergantung pada organ2 yang terkena dan beratnya penyakit.

Manifestasi kulit sering pada lupus dan kadang2 dapat menyebabkan parut. Pada discoid lupus, hanya kulit yang terlibat. Skin rash pada discoid lupus sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi yang menaik. Rash pada discoid lupus, biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan discoid lupus bisa menjadi SLE.

Lebih dari separuh pasien dengan SLE mengalami rash khas yang datar dan berwarna merah pada wajah melewati hidung. Karena bentuknya maka disebut “butterfly rash”. Rash tersebut tidak sakit dan tidak gatal. Rash wajah, bersama dengan peradangan organ2 lain, dapat ditimbulkan dan diperburuk oleh paparan cahaya matahari, yang dikenal dengan photosensitivity. Photosensitivity ini dapat bersama2 dengan pemburukan peradangan di sekujur tubuh, yang disebut dengan “nyala api (flare)”

Yang khas, rash ini dapat sembuh tanpa parut permanen dengan terapi.

Kebanyakan pasien SLE akan mengalami radang sendi (arthtritis) selama perjalanan penyakitnya. Arthritis pada SLE sering terdapat pembengkakan, nyeri, kekakuan, dan bahkan perubahan bentuk sendi2 kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Kadang2 arthritis pada SLE dapat mirip dengan rheumatoid arthtritis (salah satu penyakit autoimun juga)

Organ2 yang lebih serius dapat mengalami peradangan seperti otak, hati dan ginjal. Sel darah putih dan faktor pembekuan darah juga dapat menurun pada SLE, dikenal dengan sebutan berturut2 lekopeni dan trombositopeni. Lekopeni dapat meningkatkan resiko infeksi dan trombositopeni dapat meningkatkan resiko perdarahan.

Peradangan otot (myositis) dapat menyebabkan nyeri otot dan kelemahan. Ini dapat menyebabkan peningkatan kadar enzim otot dalam darah.

Peradangan pembuluh darah (vasculitis) yang mensuplai oksigen ke jaringan dapat menyebabkan perlukaan pada saraf, kulit, atau organ dalam. Pembuluh darah terdiri dari arteri yang dilalui darah yang kaya akan oksigen menuju jaringan tubuh dan vena yang mengembalikan darah yang kehabisan oksigen dari jaringan ke paru-paru. Vasculitis dicirikan oleh peradangan dengan kerusakan dinding berbagai pembuluh darah. Kerusakan tersebut menghalangi sirkulasi darah dan dapat menyebabkan perlukaan pada jaringan yang seharusnya disuplai oksigennya oleh pembuluh darah tersebut.

Peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis) dapat menyebabkan nyeri dada yang tajam. Nyeri dada tersebut diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Otot jantung sendiri jarang mengalami peradangan (carditis). Seorang wanita muda dengan SLE mempunyai resiko yang meningkat signifikan terhadap serangan jantung akibat penyakit arteri koroner.

Peradangan ginjal pada SLE dapat menyebabkan kebocoran protein ke dalam urin, retensi cairan, tekanan darah tinggi, dan bahkan gagal ginjal. Ini dapat menyebabkan keletihan berlebihan dan pembengkakan tungkai dan kaki. Dengan terjadinya gagal ginjal, mesin diperlukan untuk membersihkan darah dari racun2 yang prosesnya disebut dialisis.

Terlibatnya otak dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan pikiran (psikosis), seizure, dan bahkan koma. Kerusakan saraf dapat menyebabkan mati rasa, rasa menggelenyar, dan kelemahan bagian tubuh atau ekstremitas yang terlibat. Keterlibatan otak disebut dengan lupus celebritis.

Banyak pasien SLE mengalami kerontokan rambut (alopesia). Sering, ini terjadi bersama2 dengan peningkatan aktifitas penyakitnya. Kerontokan rambut dapat sebagian atau menyebar dan tampak lebih seperti penipisan rambut.

Beberapa pasien SLE mengalami Raynaud’s phenomenon. Pada pasien2 ini, suplai darah pada jari2 dan jempol kaki menjadi terganggu pada paparan dingin, menjadi memucat, memutih dan atau membiru, dan terasa sakit serta mati rasa pada jari2 dan jempol kaki yang terkena.

Bagaimana lupus didiagnosa?

Karena pasien SLE dapat mempunyai gejala yang bermacam2 dan mempunyai kombinasi yang berbeda dalam hal organ2 yang terlibat, maka tidak ada satu tes yang dapat menegakkan diagnosa systemic lupus. Untuk membantu dokter memperbaiki akurasi diagnosa SLE, 11 kriteria telah ditetapkan oleh American Rheumatism Association. 11 kriteria itu sangat erat hubungannya dengan gejala2 yang telah didiskusikan diatas. Beberapa pasien yang disangka SLE mungkin tidak pernah mengalami kriteria untuk diagnosis pasti. Pasien yang lain mempunyai cukup banyak kriteria hanya setelah beberapa bulan atau tahun pengamatan. Jika seseorang mempunyai 4 atau lebih kriteria tersebut, diagnosa SLE bisa ditetapkan. Meskipun demikian, diagnosis SLE mungkin saja dibuat pada beberapa keadaan dimana pasien tsb hanya mempunyai sedikit kriteria klasik ini dan pengobatannya dapat ditetapkan pada tahap ini. Pada pasien dengan kriteria minimal, beberapa kemudian mengalami kriteria lain, tetapi banyak yang tidak mengalaminya.

11 kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa systemic lupus erythematosus adalah

1. rash “butterfly” malar (di wajah di atas pipi)

2. rash kulit discoid (bercak kemerahan dg hiperpigmentasi dan hipopigmentasi yg dpt menyebabkan parut.

3. Fotosensitifitas (rash kulit karena reaksi thd paparan cahaya matahari (sinar uv)

4. Ulkus selaput lendir (ulkus pada selaput mulut, hidung dan tenggorokan)

5. Radang sendi /arthritis (dua atau lebih pembengkakan, nyeri sendi ekstremitas)

6. Pleuritis atau pericarditis (peradangan selaput yang meliputi paru2 atau jantung)

7. Ginjal abnormal (jumlah protein urin yang abnormal atau adanya sekumpulan elemen seluler abnormal yang terdeteksi pada pemeriksaan air kencing)

8. Inisiasi otak (manifestasinya kejang dan atau psikosis)

9. Hitung jumlah darah yang abnormal (penurunan jumlah sel darah putih dan sel darah merah, atau trombosit pada pemeriksaan darah rutin)

10. Gangguan imunologi (tes imun yang abnormal meliputi antibodi anti-DNA atau antibodi anti-Sm (Smith), positif palsu sifilis, antibodi antikardiolipin, lupus anticoagulant, atau tes LE prep positif)

11. Antibodi antinuklear (tes antibodi ANA positif [antibodi antinuklear dalam darah])

Di samping 11 kriteria tersebut, tes2 lain dapat sangat membantu dalam mengevaluasi pasien SLE untuk menilai beratnya keterlibatan organ. Tes ini meliputi tes darah rutin untuk mendeteksi adanya peradangan (misalnya, tes yang disebut angka pengendapan/ sedimentation rate dan protein C-reaktif), test kimia darah, analisis langsung cairan tubuh dan biopsi jaringan. Cairan tubuh dan sampel jaringan yang abnormal (biopsi ginjal, kulit dan saraf) dapat menunjang diagnosis SLE. Prosedur tes yang sesuai dipilih untuk pasien secara individual oleh dokter.

Bagaimana pengobatan systemic lupus?

Tidak ada penyembuhan permanen untuk SLE. Tujuan pengobatan hanyalah menghilangkan gejala dan melindungi organ tubuh dengan menurunkan peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun tubuh. Banyak pasien dengan gejala ringan dapat memerlukan pengobatan atau hanya diberi obat2 anti peradangan rutin terus-menerus. Mereka yang mengalami gejala yang lebih berat dengan melibatkan kerusakan organ2 dalam memerlukan dosis yang lebih tinggi kortikosteroid dengan dikombinasi obat2 lain yang menekan sistem imun tubuh.

Pasien dengan SLE memerlukan lebih banyak istirahat selama periode aktif penyakitnya. Para peneliti telah melaporkan bahwa jeleknya kualitas tidur merupakan faktor yang signifikan dalam munculnya keletihan (fatigue) pada pasien dengan SLE. Laporan ini menekankan pentingnya bagi pasien dan dokter untuk memperhatikan kualitas tidur dan pengaruh yang dilatarbelakangi depresi, kurangnya olahraga, dan strategi mengatasi perawatan diri pada kesehatan secara keseluruhan. Selama periode ini, penentuan latihan secara hati2 masih tetap penting untuk memelihara kekuatan otot dan rentang gerakan sendi.

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) sangat membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi dan jaringan2 lain. Contoh dari NSAID adalah aspirin, ibuprofen, Naproxen dan sulindac. Karena respon individu pada NSAID bervariasi maka biasa bagi seorang dokter untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan satu yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping paling sering adalah rasa tidak enak pada perut, nyeri perut, ulkus dan bahkan perdarahan ulkus. NSAID biasanya diminum bersama dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang2, obat pencegah ulkus, diberikan bersama NSAID untuk mengurangi efek samping, seperti misoprostol (cytotec)

Kortikosteroid lebih kuat dibandingkan NSAID untuk mengurangi peradangan dan memperbaiki fungsi jika penyakitnya aktif. Kortikosteroid terutama sangat membantu jika organ2 dalam terkena. Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung ke dalam sendi dan jaringan lain. Atau diberikan secara intravena. Sayangnya, kortikosteroid mempunyai efek samping yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan dokter akan berusaha memonitor aktifitas penyakit untuk keperluan menentukan dosis terendah yang aman. Efek samping kortikosteroid meliputi, penambahan berat badan, penipisan otot dan kulit, infeksi, diabetes, bengkak wajah, katarak dan kematian jaringan (nekrosis) sendi2 besar.

Hydroxychloroquine (Plaquenil) adalah obat anti malaria yang diketahui mempunyai efektifitas tertentu pada pasien SLE dengan fatigue, masalah kulit, dan sakit sendi. Secara konsisten memakai Plaquenil dapat mencegah lupus flare-ups (nyala api). Efek samping jarang meliputi diare, rasa tidak enak pada perut, perubahan pigmen mata. Perubahanpigmen mata jarang tetapi memerlukan monitoring dari ahli optalmologi (spesialis mata) selama terapi dengan Plaquenil. Para peneliti menemukan bahwa Plaquenil secara signifikan menurunkan frekuensi pembekuan darah abnormal pada pasien dengan systemic lupus. Lebih lanjut, pengaruh yang tampaknya tidak tergantung pada supresi imun, menyebabkan Plaquenil dapat secara langsung mencegah pembekuan darah.

Penelitian yang menarik ini menekankan sebuah alasan penting bagi pasien dan dokter untuk mempertimbangkan Plaquenill untuk penggunaan jangka panjang, khususnya bagi mereka yang mempunyai resiko pembekuan darah pada vena dan arteri, seperti mereka yang dengan antibodi phospholipid (antibodi cardiolipin, antikoagulan lupus, dan tes laboratorium positif palsu penyakit kelamin). Ini artinya, tidak hanya Plaquenil menurunkan kemungkinan re-flare SLE, tetapi juga dapat menguntungkan dalam mencegah pembekuan darah abnormal yang luas. Plaquenil sering digunakan dalam kombinasi dengan terapi lain untuk lupus.

Untuk penyakit kulit yang resisten, obat antimalaria lain, seperti chloroquine (Aralen) atau Quinacrine, dianjurkan dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit kulit meliputi dapsone dan retinoic acid (Retin-A). Retin-A sering efektif untuk penyakit kulit lupus bentuk wart-like (seperti kutil) yang jarang. Untuk penyakit kulit yang lebih berat, pengobatan imunosupresif dianjurkan seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Obat2 yang menekan imunitas (obat2 imunosupresif) juga disebut obat sitotoksik. Obat2 imunosupresif digunakan untuk mengobati pasien dengan manifestasi SLE yang lebih berat, seperti kerusakan oragan dalam. Obat2 imunosupresif tersebut contohnya, methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat imunosupresif dapat secara serius menurunkan jumlah sel darah dan meningkatkan resiko infeksi dan perdarahan. Efek samping lain khas pada masing2 obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sementara Sandimmune dapat memperburuk fungsi ginjal.

Pada tahun2 terakhir, mycophenolate mofetil (Cellcept) telah digunakan sebagai obat yang efektif untuk lupus, khususnya jika berhubungan dengan penyakit ginjal. Cellcept telah sangat membantu dalam memperbaiki penyakit ginjal lupus aktif (lupus renal disease) dan dalam memelihara perbaikan setelahnya dianjurkan. Profil efek sampingnya yang lebih rendah menguntungkan bagi pengobatan imunsupresif tradisional.

Pada pasien SLE dengan penyakit otak atau ginjal yang serius, plasmapheresis kadang2 dipakai untuk menghilangkan antibodi dan substansi imun lain dari darah untuk menekan imunitas. Jarang, pasien SLE dapat mengalami kadar platelet rendah yang serius yang dapat meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena limpa diyakini merupakan tempat utama dalam penghancuran platelet, pembedahan untuk membuang limpa kadang2 menyebabkan perbaikan kadar platelet. Pengobatan lain menggunakan plasmapheresis dan menggunakan hormon laki-laki. Plasmapheresis juga digunakan untuk membuang protein cryoglobulin yang dapat menyebabkan vasculitis. Kerusakan ginjal end-stage pada SLE memerlukan dialisis dan atau transplantasi ginjal.

Penelitian terbaru menunjukkan keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam pengobatan lupus. Rituximab merupakan antibodi yang diberikan melalui infus intravena yang akan menekan sel darah putih tertentu, yaitu sel B, dengan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B telah diketahui berperan sentral dalam aktivitas lupus, dan jika ditekan maka penyakit akan cenderung membaik. Ini terutama sangat membantu pasien dengan penyakit ginjal.

Pada pertemuan Rheumatology nasional tahun 2007, terdapat paper yang dipresentasikan menyebutkan bahwa suplementasi diet dosis rendah dengan minyak ikan omega-3 dapat membantu pasien lupus dengan menurunkan aktifitas penyakit dan mungkin juga menurunkan resiko penyakit jantung.

Bagaimana pasien lupus dapat mencegah aktifitas penyakit (flare)?

SLE tanpa diragukan merupakan penyakit yang potensial serius yang melibatkan sejumlah sistem organ. Namun, penting untuk mengetahui bahwa kebanyakan pasien SLE menjalankan hidup yang penuh, aktif dan sehat. Peningkatan periodik aktifitas penyakit (flare) biasanya dapat dikelola dengan bermacam2 obat. Karena sinar ultraviolet dapat menimbulkan dan memperburuk flare, pasien dengan systemic lupus sebaiknya menghindari paparan sinar matahari. Sunscreen dan kain penutup ekstremitas (tangan dan kaki) dapat sangat membantu. Penghentian obat dengan tiba2, khususnya kortikosteroid dapat juga menyebabkan flare dan harus dihindari. Pasien SLE mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi, khususnya jika mereka menggunakan kortikosteroid atau obat2 imunosupresif. Karena itu, demam kadang2 dilaporkan dan harus dievaluasi.

Kunci pengelolaan yang sukses untuk SLE adalah kontak dan komunikasi teratur dengan dokter, melakukan monitoring gejala, aktifitas penyakit dan pengobatan terhadap efek samping.

Bagaimana lupus dapat mempengaruhi kehamilan dan bayi baru lahir?

Pasien SLE yang menjadi hamil dinyatakan “resiko tinggi”. Wanita dengan SLE yang hamil memerlukan observasi yang ketat selama kehamilan, kelahiran dan periode pasca melahirkan. Hal ini meliputi monitoring fetus oleh ahli kandungan selama akhir kehamilan. Wanita2 ini dapat mempunyai resiko tinggi terhadap keguguran (aborsi spontan) dan dapat mengalami flare selama hamil. Adanya antibodi fosfolipid, seperti antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulan di dalam darah dapat mengindikasikan pasien dalam resiko terjadinya keguguran. Antibodi cardiolipin dihubungkan dengan kecenderungan terjadinya pembekuan darah. Pasien SLE yang mempunyai antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulant memerlukan pengobatan pengenceran darah (aspirin dengan atau tanpa heparin) selama kehamilan untuk mencegah keguguran. Pengobatan lain yang telah dilaporkan adalah meliputi penggunaan gamma globulin intravena pada pasien2 yang mempunyai riwayat keguguran prematur dan mereka yang mempunyai elemen pembekuan darah (platelet) yang rendah selama hamil. Wanita hamil yang mempunyai kejadian pembekuan darah sebelumnya dapat menguntungkan bila melanjutkan pengobatan dengan pengencer darah selama dan setelah hamil 6 sampai 12 minggu, dimana resiko pembekuan yang berhubungan dengan kehamilan nampak berkurang. Plaquenil sekarang ini diketahui aman untuk digunakan dalam pengobatan SLE selama kehamilan.

Antibodi lupus dapat ditransfer dari ibu ke janin dan menyebabkan lupus pada bayi baru lahir (neonatal lupus). Ini meliputi terjadinya penurunan sel darah merah (anemia) dan atau jumlah sel darah putih dan platelet, dan rash kulit. Masalah dapat juga terjadi pada sistem kelistrikan jantung bayi (congenital heart block). Kadang-kadang, pacemaker jantung bayi diperlukan dalam hal ini. Neonatal lupus dan congenital heart block lebih sering pada bayi baru lahir dengan ibu yang menderita SLE yang membawa antibodi yang disebut anti-Ro (atau SS-A) dan anti-La (atau SS-B). (bijaksana untuk dokter bayi baru lahir untuk hati-hati jika ibunya diketahui membawa antibodi ini, juga sebelum kelahiran. Resiko terjadinya blok jantung adalah 2%, resiko neonatal lupus 5%). Neonatal lupus biasanya hilang setelah 6 bulan, saat antibodi ibu pelan-pelan dimetabolisasi oleh bayi.

Apakah pegangan masa depan bagi pasien lupus?

Secara keseluruhan, harapan pasien dengan systemic lupus semakin baik tiap tahun dengan berkembangnya tes monitoring dan pengobatan yang makin akurat

Peran sistem imun dalam menyebabkan penyakit dipahami dengan semakin baik melalui penelitian. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mendisain metode pengobatan yang lebih aman dan efektif. Sebagai contoh, perbaikan lengkap sistem imun pada pasien dengan pengobatan yang sangat agresif yang secara temporal menghapus sistem imun telah dievaluasi. Penelitian terbaru melibatkan eradikasi imun dengan atau tanpa penggantian sel yang dapat mengembalikan sistem imun (transplantasi stem sel)

Perlu dicatat bahwa pasien SLE sedikit meningkat resikonya untuk terkena kanker. Resiko kanker paling dramatis pada kanker darah, seperti leukemia dan lymphoma, tetapi juga meningkat pada kanker payudara. Resiko ini mungkin terkait perubahan sistem imun yang khas pada SLE.

Wanita dengan SLE tampaknya meningkat resikonya untuk penyakit jantung (penyakit arteri koroner) berdasarkan laporan terakhir. Wanita dengan SLE sebaiknya dievaluasi dan dinasehatkan untuk meminimalkan faktor2 resiko terjadinya penyakit jantung, seperti peningkatan kolesterol darah, berhenti merokok, tekanan darah tinggi dan obesitas.

DHEA (dehydroepiandrosterone) telah sangat membantu mengurangi keletihan (fatigue), memperbaiki kesulitan berpikir, dan memperbaiki kualitas hidup pasien SLE. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa DHEA telah terbukti memperbaiki dan menstabilkan tanda2 dan gejala2 SLE. DHEA umum tersedia di dalam toko2 makanan sehat, farmasi dan groseri2.

Penelitian yang penting telah menunjukkan dengan jelas bahwa kontrasepsi oral tidak meningkatkan angka terjadinya flare pada SLE. Penemuan penting ini telah membantah apa yang telah dipercaya bertahun2. Sekarang kita dapat meyakinkan kembali wanita dengan lupus bahwa jika ingin memakai pil kontrasepsi, mereka tidak mengalami peningkatan resiko terjadinya flare lupus. CATATAN: pil kontrasepsi atau obat estrogen apapun sebaiknya tetap dihindari oleh wanita yang mempunyai resiko yang tinggi terhadap pembekuan darah, seperti wanita dengan lupus yang mempunyai antibodi fosfolipid (termasuk antibodi cardiolipin dan lupus anticoagulant)

Individu dengan SLE dapat memperbaiki prognosisnya dengan belajar tentang banyak aspek tentang penyakitnya juga memonitor dengan ketat kesehatannya sendiri dengan dokternya.
Dimanakah informasi lebih banyak tentang lupus bisa diperoleh?

Untuk informasi lebih lanjut tentang systemic lupus erythematosus, lihat situs dibawah ini:

The Arthritis Foundation http://www.arthritis.org)
P.O Box 19000
Atlanta, Georgia 30326

Lupus Foundation of Minnesota http://www.lupusmn.org)

Sekilas tentang Systemic Lupus Erythematosus

* SLE adalah suatu penyakit autoimun
* SLE dicirikan oleh produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah
* SLE 8x lebih banyak pada wanita daripada pria
* Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus, sinar ultraviolet dan obat2an, semuanya dapat berperan.
* Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi systemic lupus erithematosus
* Sebelas kriteria membantu dokter mendiagnosa SLE
* Pengobatan SLE secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun
* Pasien dengan SLE dapat mencegah “flare” dengan menghindari paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba2 dan memonitor kondisinya dengan dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar