Jumat, 30 April 2010

HIV exel

Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
Apakah kerumitan dan biaya dapat diatasi di rangkaian terbatas sumber daya?
Oleh: Arthur Ammann, MD, Global Strategies for HIV Prevention, dan Sahai Burrowes, MALD , Center
for HIV Information, University of California San Francisco, Maret 2007
Pendahuluan
Tantangan mendiagnosis infeksi HIV pada bayi
Kebanyakan infeksi HIV pada anak akibat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (mother-to-child
transmission/MTCT), yang dapat terjadi selama kehamilan dan persalinan, atau selama menyusui. Walau
sudah banyak kemajuan dan penerapan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang
efektif di negara berkembang, hampir 2.000 bayi terinfeksi HIV setiap hari melalui MTCT di negara
miskin sumber daya.1 Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia.2 Jumlah
ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan. Saat ini, kurang dari 10% ibu
hamil yang terinfeksi HIV di negara miskin sumber daya menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk
pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child transmission/PMTCT).3
Walaupun layanan profilaksis ARV ditingkatkan secara luar biasa, infeksi HIV pada anak akan terus
meningkat kecuali ada peningkatan layanan pencegahan infeksi HIV baru pada perempuan secara
bersamaan, perbaikan akses pada keluarga berencana (KB), dan perluasan ketersediaan pengobatan
antiretroviral (ART) untuk ibu yang membutuhkannya.
Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi,
pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum
pengembangan penyakit lanjut). Tanpa ART, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan
anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati
meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal sebelum mereka
mencapai usia dua tahun.4 Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan
yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ART. Oleh karena itu
penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit
dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental.
Karena biayanya yang murah, kemudahan untuk memakainya, dan kemampuan untuk menyediakan hasil
secara cepat, tes antibodi cepat adalah yang paling umum dipakai untuk mendiagnosis infeksi HIV di
negara miskin sumber daya. Tetapi, karena antibodi HIV melewati plasenta selama kehamilan, semua
bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan menerima antibodi dari ibu saat di rahim dan hasil tes
antibodi akan positif saat lahir tidak tergantung pada status infeksi HIV-nya sendiri. Antibodi dari ibu
baru hilang seluruhnya 12-18 bulan setelah kelahiran, oleh karena itu semua tes antibodi pada bayi
terpajan HIV yang dilakukan sebelumnya tidak dapat diandalkan.5,6 Kesulitan lain untuk mendiagnosis
infeksi HIV pediatrik pada bayi di negara miskin sumber daya adalah pajanan HIV secara terus-menerus
pada bayi yang disusui, sehingga menyulitkan untuk mengecualikan infeksi HIV sampai penyusuan sudah
dihentikan secara menyeluruh.
Karena komplikasi ini, kebanyakan tes HIV pada bayi di negara miskin sumber daya dilakukan dengan
memakai tes antibodi cepat pada usia 18 bulan. Tetapi, pada usia ini, banyak bayi yang terinfeksi sudah
meninggal dan lebih banyak lagi yang mungkin sudah hilang. Sebuah tes HIV yang murah dan mudah
dipakai dan dapat diandalkan untuk bayi terpajan HIV yang berusia kurang dari 18 bulan dibutuhkan
secara mendesak. Tes semacam ini dapat mencegah jutaan kematian dini terkait HIV.
Pendekatan klinis pada diagnosis
Para dokter di negara miskin sumber daya yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendiagnosis bayi
di bawah usia 18 bulan yang terinfeksi HIV dengan kepastian dapat memakai pendekatan klinis, misalnya
algoritme yang diuraikan dalam Integrated Management of Childhood Illnesses (IMCI) untuk memandu
keputusan perawatan dan pengobatan mereka.7,8 Algoritme ini melatih petugas kesehatan untuk
mengenali tanda-tanda umum infeksi HIV pada anak, contohnya pembengkakan parotis atau pneumonia.
Ada keraguan mengenai manfaat algoritme ini, terutama karena bayi yang terinfeksi HIV mungkin tidak
Dokumen ini didownload dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
bergejala untuk jangka waktu yang cukup lama. Dalam “surat pembaca” yang mengkritik algoritme
IMCI, kelompok dokter dari Afrika Selatan membahas pengalaman mereka waktu menerapkan pedoman
IMCI secara retrospektif di Afrika Selatan pada bayi yang terlibat dalam penelitian PMTCT.9 Mereka
menemukan bahwa hanya 17% bayi yang terinfeksi akan didiagnosis saat berusia enam minggu, dan
hanya 50% saat berusia 12 bulan, secara bermakna lebih rendah dibandingkan angka 70% yang
ditemukan pada penelitian sebelumnya yang mempromosikan penggunaan algoritme.10 Alternatif pada
diagnosis adalah menunggu sampai bayi menunjukkan tanda-tanda infeksi HIV lanjut, tetapi ART lebih
mungkin gagal bila dimulai pada pasien dengan penyakit HIV lanjut dibandingkan bila dimulai pada
pasien yang tidak bergejala.
Tes yang ideal
Tes diagnostik yang ideal untuk bayi yang terpajan HIV akan memenuhi kriteria sebagai berikut:
• Mempunyai spesifitas >99% untuk semua subtipe HIV, dan sensitivitas >98%.
• Petugas kesehatan dapat melakukan tes pada darah kering (dried blood spot/DBS) yang diteteskan
pada kertas filter.
• Tes harus murah, sederhana dan teknologi yang mudah dirawat, dengan peralatan dan suku cadang
yang mudah diperoleh.
• Tes memakai reagen yang murah dan tidak perlu disimpan di kulkas.
• Metodologi tes mudah diajarkan dan dapat dilakukan tanpa pelatihan secara besar-besaran.
• Harga tes tidak lebih dari dua dolar AS.
• Hasil tes tidak dipengaruhi oleh ART yang dipakai oleh ibu untuk infeksi HIV selama kehamilan atau
profilaksis ARV pada ibu atau bayi untuk mencegah MTCT.
Saat ini, belum ada tes tunggal untuk diagnosis infeksi HIV yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Sensitivitas tes adalah kemungkinannya untuk menyediakan hasil tes infeksi HIV yang positif bila
infeksi benar-benar ada. Semakin spesifik tes, proporsi hasil tes negatif palsu berkurang.
Spesitivitas tes adalah kemungkinannya untuk menyediakan hasil tes infeksi HIV yang negatif bila
infeksi HIV benar-benar tidak ada. Semakin spesifik tes, proporsi hasil tes positif palsu berkurang.
Kemungkinan manfaat diagnosis lebih dini: Sebuah peringatan
Seberapa menguntungkan tes infeksi HIV yang “ideal” untuk bayi? Dalam sebuah artikel terkini dalam
jurnal Nature, Aledort dkk menjelaskan kemungkinan manfaat kesehatan dari hipotesis tes baru yang
dapat mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan HIV secara tepat sebelum berusia 12 bulan.11
Para peneliti menghitung manfaat layanan kesehatan yang akan terjadi dengan tes tersebut (dalam
berbagai tingkat keefektifan) dan membandingkannya dengan hasil kesehatan dalam keadaan saat ini,
yaitu tes HIV tidak tersedia untuk bayi di bawah 12 bulan. Hasil yang diukur adalah manfaat kesehatan
setiap tahun dalam bentuk tahun kehidupan yang terselamatkan, tahun kehidupan yang terselamatkan
setelah disesuaikan dengan kecacatan (disability-adjusted life years/DALY) , dan proporsi secara
keseluruhan beban penyakit yang dapat dihindari. Para peneliti mendasarkan analisis mereka pada angka
tes HIV yang dilakukan saat ini dan ketersediaan ART pediatrik, dengan asumsi bahwa, dengan ketiadaan
tes HIV yang tepat, bayi tanpa gejala akan dinilai dengan memakai algoritme diagnosis IMCI. Mereka
juga menduga bahwa bayi bergejala yang didiagnosis dengan menggunakan algoritme IMCI digolongkan
sebagai stadium klinis WHO 3 atau 4.
Para peneliti menemukan bahwa walaupun tes yang ideal mempunyai dampak kecil terhadap penyesuaian
tahun kehidupan yang diselamatakan tanpa peningkatan ketersediaan ART untuk anak. Sekarang ini,
hanya satu di antara sepuluh anak yang memerlukan ART menerimanya.12 Kemudian para penulis
menyimpulkan bahwa, selama permulaan ART pada anak terutama ditentukan oleh stadium klinis, yang
tidak memperhitungkan bayi tanpa gejala atau akses pada petugas kesehatan yang dilatih dengan
algoritme ICMI, dampak tes diagnostik HIV baru yang mungkin dalam mengurangi beban penyakit masih
terbatas.
Keberatan ini adalah penting untuk melatarbelakangi pembahasan tentang diagnosis HIV pada bayi.
Pengembangan tes diagnostik baru harus sejalan dengan perbaikan dalam hal pencarian, pelatihan, dan
–2–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
ketahanan petugas kesehatan terhadap layanan reproduksi dan anak serta dengan peningkatan
ketersediaan kombinasi obat ARV formulasi pediatrik dosis tetap yang murah.
Tes antibodi untuk diagnosis HIV pediatrik
Sebagaimana disebutkan di atas, mendiagnosis infeksi HIV yang pasti pada bayi yang terpajan HIV dari
ibu adalah sulit karena keberadaan antibodi HIV dari ibu, yang secara pasif dipindah pada bayi melalui
plasenta.13,14 Proses ini hanya melibatkan golongan antibodi imunoglobulin G (IgG) dalam keadaan
normal, menyediakan perlindungan pasif pada bayi terhadap berbagai unsur infeksi selama masa 18 bulan
tersebut.15 Setelah antibodi dari ibu hilang, antibodi terhadap unsur mikroba menunjukkan tanggapan
kekebalan bayi.
Tes antibodi IgM
Dalam kebanyakan kejadian infeksi HIV dalam kandungan, antibodi terdiri dari tanggapan kekebalan IgG
dan immunoglobulin M (IgM).16 Karena IgM adalah antibodi molekul berat, kehadirannya pada aliran
bayi mewakili tanggapan kekebalan bayi terhadap infeksi HIV. Oleh karena itu, kehadiran tanggapan
antibodi IgM terhadap virus sitomegalo, organisme toksoplasma, atau unsur mikroba lain yang dapat
menyebabkan infeksi HIV pada ibu dan bayi adalah indikasi infeksi HIV pada bayi.17
Ketika Badan Pengawas Makanan dan Obat (Food dan Drug Administration/FDA) AS menyetujui tes
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) pada 1984, ada harapan alat ini dapat dipakai untuk
diagnosis infeksi HIV secara lebih dini pada bayi yang terpajan HIV.18 Tetapi, ELISA memakai
metodologi yang hanya mengukur antibodi IgG. Oleh karena itu tidak dapat membedakan antibodi IgG
yang secara pasif dipindah dari ibu dengan antibodi IgG yang dihasilkan oleh bayi yang terinfeksi.
Berdasarkan pengamatan sebelumnya bahwa diagnosis infeksi HIV bawaan dapat dilakukan dengan tes
antibodi IgM, perubahan dibuat pada ELISA agar dapat mendeteksi tanggapan antibodi IgM terhadap
HIV. Untuk alasan yang tidak jelas, baik bayi yang terinfeksi HIV dalam kandungan maupun bayi yang
tidak terinfeksi di dalam kandungan atau pascakelahiran menanggapi dengan membuat antibodi IgM. Hal
ini mengesampingkan penggunaan tes antibodi IgM untuk membedakan antibodi yang secara pasif
dipindah dari ibu dengan yang secara aktif dihasilkan oleh bayi.
Tes antibodi IgA
Pendekatan yang berbeda untuk mendeteksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan adalah untuk
melakukan tes untuk menemukan tanda tanggapan antibodi imunoglobulin A (IgA) terhadap infeksi HIV.
IgA, serupa dengan IgM, tidak dipindah dalam jumlah yang bermakna melalui plasenta. Sebuah
penelitian yang memakai teknik yang disebut tes Eli-spot menemukan persentase kecil bayi dengan
antibodi IgA yang kemudian diketahui terinfeksi.19 Tetapi, karena sensitivitas metologi Eli-spot yang
kurang dan kerumitannya, dokter dan para peneliti tidak memakai cara ini untuk mendiagnosis bayi.
Di awal 1990-an, Landesman dan rekan memakai pendekatan lain untuk menyelidiki antibodi IgA.20
Mereka memakai tes antibodi IgA yang sederhana dengan alat ELISA penangkap antibodi IgA yang
diubah pada serangkaian contoh darah yang diambil dari bayi yang terpajan HIV. Pada awalnya, semua
contoh adalah positif. Pada usia delapan bulan, semua bayi yang tidak terinfeksi antibodi negatif.
Walaupuan antibodi HIV IgA hilang secara lebih cepat dibandingkan antibodi IgG dalam penelitian
dengan memakai tes berbasis IgG, deteksi antibodi IgA masih belum bermanfaat untuk mendiagnosis
infeksi HIV pada bayi yang masih muda (yaitu, bayi di bawah usia delapan bulan). Sebagai tambahan,
biaya tes dan peralatan lebih menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan tes antibodi
cepat di negara miskin sumber daya.
Manfaat baru tes antibodi
Walaupun pedoman yang sekarang tidak menyarankan memakai tes antibodi untuk mendiagnosis infeksi
HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan, ada pertumbuhan pengakuan bahwa tes ini berperan penting untuk
menentukan bayi yang mungkin terinfeksi yang mungkin membutuhkan tes virologi selanjutnya.
Rancangan pedoman diagnostik WHO menyarankan penggunaan tes antibodi pada bayi di bawah usia 18
bulan, untuk:
–3–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
• Menentukan anak yang terpajan HIV apabila status HIV dari ibu tidak diketahui; menentukan anak ini
memungkinkan mereka untuk mendapatkan tindak lanjut tes virologi dan perawatan yang tepat
misalnya, memakai profilaksis kotrimoksazol.
• Mendukung diagnosis klinis presumtif penyakit HIV berat pada anak untuk memungkinkan
dimulainya ART
• Mengecualikan infeksi HIV pada anak terpajan HIV antibodi HIV-negatif, di bawah usia 18 bulan
yang belum pernah disusui atau sudah berhenti disusui selama lebih dari enam minggu21
Biakan HIV dari darah
Di awal epidemi HIV, biakan HIV dalam darah dipakai untuk mendeteksi infeksi HIV dan untuk
mengukur jumlah virus dalam darah secara langsung.22,23,24 Biakan HIV juga dipakai untuk mendiagnosis
bayi dan sebagai cara untuk menentukan tingkat keparahan infeksi dan tanggapan selanjutnya terhadap
pengobatan pada orang dewasa dan anak. Walaupun tes ini sensitif dan spesifik, serta dapat dipakai untuk
menghitung viral load pasien, metode ini belum pernah dipakai secara skala besar untuk mendiagnosis
karena teknik tes yang rumit dan membutuhkan reagen dan peralatan yang mahal, waktu tes laboratorium
yang lama, dan banyak darah. Sebagai tambahan, membutuhkan hampir tujuh hari untuk mendapatkan
hasil dan karena biakan virus mengandung HIV yang aktif diperlukan peralatan biohazard khusus.
Tes antigen P24
Sebelum pengembangan teknik viral load DNA dan reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction
/PCR) untuk mendiagnosis infeksi HIV dan menghitung viral load, tes antigen HIV p24 dipakai untuk
menghitung viral load. HIV p24 adalah protein yang diproduksi oleh replikasi HIV yang terjadi dalam
darah Odha dengan jumlah yang berbeda-beda. Karena HIV p24 adalah protein imunogen
terinfeksi HIV juga membentuk antibodi terhadap p24. Oleh karena itu, p24 hadiran dalam darah dalam
bentuk p24 bebas dan p24 terikat antibodi (kompleks kekebalan). Untuk mengukur jumlah antigen p24,
adalah penting untuk memisahkan antibodi dari antigen. Teknik sudah dikembangkan untuk melakukan
tugas ini, tetapi belum seluruhnya berhasil. Namun demikian, karena kesederhanaan tes dan biayanya
yang relatif murah, para peneliti berusaha memperbaiki tes tersebut walaupun tes viral load PCR lebih
sensitif dan spesifik.
Sebagian dari penelitian ini berhasil. Teknik laboratorium dikembangkan untuk memisahkan kompleks
kekebalan p24, meningkatan kemampuan kuantitatif tes dan, dalam hal bayi yang terpajan HIV,
keberhasilan diagnostik.
Berbagai penelitian menemukan bahwa tes antigen p24 ultrasensitif mampu mendeteksi infeksi HIV pada
bayi di atas usia enam minggu secara pasti dengan spesifisitas dan sensitivitas serupa dengan tes DNA
HIV PCR dan viral load HIV.25,26,27,28 Tes tersebut tepat pada banyak subtipe HIV dan lebih mudah
dilakukan dibandingkan tes virologi lain. Biayanya serupa dengan biaya tes PCR generasi lanjut.
Keprihatinan tentang sensitivitas tes p24 tetap ada. Dalam penelitian terkini terhadap tes antigen HIV p24
baru yang “ultrasensitif”, Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS dan plasma.29
Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyaispesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil
secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan
viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67).
Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti
bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah
didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Perbandingan metodologi tes baru-baru ini dilakukan oleh Knuchel
dkk dengan 72 contoh pediatrik dari Tanzania dan 210 contoh pediatrik atau orang dewasa dari Swiss
menemukan sensitivitas yang bahkan lebih rendah. Tingkat deteksi berbagai tes adalah 84% untuk tes
antigen p24 pada DBS; 79% untuk tes PCR DNA yang dilakukan pada DBS; 85% untuk tes antigen p24
pada plasma; dan 100% untuk tes PCR RNA yang dilakukan pada plasma.30
Walaupun dengan peningkatan yang bermakna pada kemanjuran, biaya dan spesifisitas tes antigen p24
HIV, sensitivitas tes ini akan tetap bermasalah. Penghematan biaya yang ditawarkan mungkin tidak dapat
mengimbangi dampak klinis terhadap persentase kegagalan diagnosis secara bermakna pada bayi yang
terinfeksi HIV.
–4–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
Lebih penting daripada kekhawatiran tentang kepekaan tes adalah kenyataan bahwa peralatan dan reagen
yang dibutuhkan untuk tes antigen p24 saat ini tidak tersedia untuk program skala besar. Sebagai
tambahan, secara teoretis ada kekhawatiran bahwa tes antigen p24 mungkin kurang sensitif terhadap
diagnosis lebih dini apabila ibu dari bayi menerima ART atau bayi menerima profilaksis antiretroviral.
Sensitivitas tes tersebut mungkin juga menurun sejalan dengan peningkatan usia. Hasil positif palsu
memang terjadi, dan biasanya dianggap perlu untuk mengkonfirmasi hasil yang positif.21
PCR DNA dan RNA HIV
PCR DNA HIV
Setelah metode laboratorium untuk meningkatkan DNA dengan PCR ditemukan dan penentuan HIV
sebagai penyebab AIDS, teknik PCR DNA HIV menjadi lebih sederhana, murah, dan lebih dapat
diandalkan dibandingkan biakan virus sebagai cara bagi para peneliti untuk menentukan orang yang
terinfeksi HIV dan melakukan penelitian epidemiologi secara luas.31 Ketersediaan primer untuk subtipe
HIV memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti dan melacak subtipe
HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian epidemiologi.32 PCR DNA HIV pertama kali dipakai
untuk mendiagnosis HIV pada bayi pada 1990. Penelitian yang mentes sel mononuklear darah perifer
(peripheral blood mononuclear cells/ PBMC) dari bayi pada berbagai titik waktu setelah kelahiran.33
Diharapkan bahwa akan sespesifik seperti biakan virus pada bayi yang baru lahir tetapi lebih mudah
dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit. Walaupun PCR DNA berhasil dengan baik,
penelitian selanjutnya terhadap bayi yang baru lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan
bahwa PCR DNA HIV terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya.
Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14 hari.
Ketidaksensitifan PCR DNA HIV untuk mendiagnosis infeksi HIV saat kelahiran mungkin terjadi karena
kenyataan bahwa kebanyakan penularan HIV pada bayi terjadi saat sakit kelahiran dan persalinan, dan
virus tidak mencapai tingkat terdeteksi selama beberapa minggu setelah tertular. Bayi yang terinfeksi
dalam kandungan mungkin mempunyai hanya sedikit jumlah virus yang bereplikasi.
PCR RNA HIV
Dalam usaha untuk menemukan sebuah metode yang dapat mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti
beralih ke PCR RNA HIV, yang dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda dengan PCR DNA HIV,
yang adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan diagnosis HIV ya/tidak), deteksi RNA HIV
menyediakan informasi tambahan informasi kuantitatif tentang status virologis, menghitung jumlah virus
yang beredar (juga dikenal sebagai “viral load” dan dinyatakan dalam copies/mL) pada pasien. Oleh
karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien, menuntun permulaan memakai ART, dan
memantau tanggapan pengobatan.
Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus dan tetap sangat spesifik terhadap HIV, dan
akan mengganti teknik biakan virus yang lebih rumit dan mahal untuk mendiagnosis bayi.36 Penelitian
awal terhadap bayi yang terpajan HIV dengan memakai tes PCR RNA HIV menemukan bahwa metode
tersebut cocok atau melampaui sensitivitas dan spesifisitas PCR DNA HIV dan metode biakan virus.37
Dalam penelitian oleh Lambert dkk, kepekaan tes PCR RNA HIV adalah 27% saat kelahiran, 92% setelah
6 minggu, dan 91% setelah 20 minggu.38 Para peneliti lain melaporkan hasil serupa.39,40,41
Tabel 1. Sensitivitas biakan HIV, PCR DNA HIV, dan PCR RNA HIV
Tes
Saat kelahiran
6 minggu
24 minggu
Biakan HIV
21%
90%
95%
PCR DNA HIV
10%
81%
81%
PCR RNA HIV
27%
92%
91%
Sumber: Lambert JS, Harris DR, Stiehm ER, et al. Performance characteristics of HIV-1 culture and HIV-1 DNA and RNA amplification assays for
early diagnosis of perinatal HIV-1 infection. HIV. J Acquir Immune Defic SynDr. 2003; 34 (5):512-9.
Peralatan tes RNA HIV semakin murah, dan alat tes deteksi RNA HIV sekarang tersedia secara lebih luas
dibandingkan alat tes DNA. Tetapi, metode ini mempunyai beberapa kekurangan, termasuk
–5–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
kecenderungan untuk memberi hasil positif yang salah untuk pasien dengan tingkat viremia rendah dan
bahwa kenyataannya tidak semua primer dan reagen dibakukan.21 Selain itu, peningkatan penggunaan
ART dan profilaksis untuk PMTCT meningkatkan masalah yang berpotensi pentign sehubungan dengan
sensitivitas metodologi PCR RNA HIV pada diagnosis bayi. Obat ARV berpotensi menurunkan tingkat
virus dalam sel mononuklear darah perifer atau plasma dan mengurangi sensitivitas tes tersebut. Tetapi,
penelitian mengindikasikan bahwa penurunan viral load yang terjadi dengan ART atau profilaksis ARV
jangka pendek tidak mengganggu metode PCR pendeteksi HIV.42
Ringkasan
• PCR DNA HIV adalah tes yang paling banyak dipakai di negara maju untuk mendiagnosis bayi secara
lebih dini.
• PCR RNA HIV juga terbukti tepat dan dapat diandalkan serta menyediakan tambahan informasi
tentang status virologis.
• Teknologi DNA HIV dan RNA HIV keduanya semakin murah, lebih otomatis, dan memberi hasil
secara lebih cepat.
Sumber: World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children. Guidance note for development of round 6 GFTAM
proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for selection of technology for early diagnosis of HIV in
infants in resource-limited settings.
Tes virologi dengan contoh DBS
Teknik tes virologi yang murah tetap sulit ditemukan karena tingginya biaya untuk melakukan tes PCR
RNA dan DNA, yang merupakan akibat langsung dari ketatnya undang-undang hak kemilikan intelektual
yang mengatur teknologi PCR. Dengan tingginya biaya teknologi PCR, kebanyakan negara yang ingin
meningkatkan diagnosis HIV pada bayi dan pemantauan viral load hanya dapat menempatkannya di
beberapa laboratorium pemerintah pusat dengan kapasitas ini. Pengumpulan dan pengiriman contoh darah
ke laboratorium pusat menjadi kendala logistik yang besar. Pengunaan DBS pada kertas filter dan bukan
contoh darah penuh sudah diajukan sebagai cara untuk mengurangi tantangan pengumpulan dan
pengiriman contoh darah yang mungkin dihadapi program waktu akan memulai tes virologi skala besar.
Pada bayi, prosedur untuk mendapatkan contoh DBS termasuk mengambil darah dengan tindikan dari
tumit, ibu jari kaki atau jari tangan dan langsung meneteskannya di kertas filter, tidak memerlukan jarum,
jarum suntik, pengambilan darah penuh, dan pemisahan darah menjadi plasma. Jumlah darah yang
diperlukan biasanya <75 µL. Penggunaan DBS adalah menarik untuk negara miskin sumber daya karena
contoh darah di kertas filter lebih mudah dikirim ke laboratorium klinik pusat untuk dianalisis
dibandingkan contoh darah penuh.43 Lebih lanjut, petugas kesehatan tingkat menengah di klinik di
pedalaman yang tidak mempunyai akses pada jarum dan jarum suntik untuk mengambil contoh darah
mampu melakukannya dengan tindikan di tumit dan prosedur serupa yang diperlukan untuk
mengumpulkan tanpa perlu pelatihan besar. Contoh DBS juga lebih aman untuk ditangani dibandingkan
dengan contoh darah, mempunyai risiko biohazard yang lebih kecil. Contoh dapat disimpan hingga satu
tahun dalam suhu ruangan. Contoh DBS dapat dipakai untuk tes RNA HIV (viral load), artinya bahwa
begitu sistem yang memakai DBS sudah diterapkan, hal ini dapat meningkatan akses penghitungan viral
load untuk orang dewasa dan anak.
DBS sudah dipakai di rangkaian kaya sumber daya selama beberapa dasawarsa untuk menskrining bayi
yang baru lahir terhadap penyakit metabolik. Penggunaan DBS untuk diagnosis HIV pada bayi awalnya
dinilai di AS karena contoh DBS sudah dipakai untuk menskrining bayi yang baru lahir terhadap
fenilketonuria. Cassol dkk menunjukkan keandalan tes PCR DNA pada contoh DBS pada 1991.44
Penelitian PCR DNA HIV selanjutnya pada DBS menemukan bahwa metode tersebut membandingkan
tes diagnostik HIV lain dengan baik, misalnya biakan virus dan PCR darah.43,45,46,47 Tetapi, penting untuk
dicatat bahwa semua tes diagnostik ini, baik dilakukan dengan darah maupun tidak, kurang sensitif
apabila contoh diambil dari bayi pada minggu pertama kehidupannya. Penelitian penularan ibu dan bayi
(The Women and Infants Transmission Study/WITS), yang menganalisis 272 contoh darah dari 144 bayi
pada empat bulan pertama kehidupan dengan memakai PCR DNA, menemukan bahwa sensitivitas tes
dalam minggu pertama kehidupannya adalah 19%. Angka ini meningkat menjadi 96% pada usia satu
bulan.48,49 Contoh yang diambil pada saat lahir adalah yang paling tidak mungkin mempunyai DNA HIV
–6–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang terdeteksi pada DBS. Pada penelitian ini dan penelitian lainnya, spesifisitas tes PCR DNA pada
DBS lebih besat dari 99%.
Penelitian juga membandingkan hasil tes PCR DNA HIV memakai DBS dengan tes antigen p24 dan
biakan virus yang memakai contoh darah penuh.45,50,51,52 Sesuai perkiraan, tes lengkap antigen p24 relatif
tidak sensitif , sedangakan PCR DNA HIV yang dilakukan pada contoh DBS mempunyai korelasi yang
sangat baik dengan biakan virus.
Para peneliti tetap menyederhanakan prosedur teknis untuk melakukan PCR pada sampel DBS,
memungkinkan analisis yang lebih cepat dan standarisasi pada metodeologi laboratorium secara rutin.
Penelitian terkini yang memakai prosedur ini menemukan bahwa metode ini terus berjalan dengan baik di
negara miskin sumber daya di sarana klinis yang padat. Contoh, di Afrika Selatan, Sherman dkk mengkaji
teknik PCR DNA yang tersedia secara komersial pada contoh DBS yang dikumpulkan pada kertas filter
dan menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas tinggi (99%) dan sensitivitas (100%), bahkan
pada contoh dari bayi yang baru berusia enam minggu.43
Dalam penelitian seminal lain, Bigger dkk menilai 15.810 kertas filter dengan contoh darah dari bayi
dalam penelitian PMTCT besar di Afrika selatan.53 Para peneliti mengumpulkan contoh darah bayi
berusia 6 dan 12 minggu dan melakukan tes PCR dua kali pada setiap contoh. Mereka menemukan bahwa
hasil PCR positif setelah berusia satu bulan adalah 99% tetap untuk memprediksi hasil tes antibodi positif
setelah 15 bulan.
Tes virologi dengan DBS dilakukan di rangkaian miskin sumber daya
Botswana
Berdasarkan hasil penelitian yang menjanjikan, berbagai program PMTCT mencoba memakai DBS
dalam skala yang lebih besar untuk mendiagnosis bayi lebih dini. Salah satu contoh yang paling menonjol
adalah program PMTCT nasional di Botswana, uji coba yang berhasil memakai contoh DBS untuk
melakukan tes pada bayi yang berusia enam minggu di 12 tempat di Gaborone dan Francistown, dan
penggunaan metode ini sekarang sedang diperluas secara nasional.54,55
Penggunaan DBS selama enam bulan uji coba di Botswana cukup berhasil. Metode ini dapat diterima
oleh petugas kesehatan dan ibu, dan pengambilan contoh DBS dapat dilakukan dengan mudah bersamaan
dengan kunjungan perawatan bayi secara rutin di klinik.55 Petugas kesehatan menerima pelatihan teori
selama satu hari tentang diagnosis bayi dilanjutkan dengan latihan praktek di klinik. Pelatihan ini diyakini
sangat penting untuk membantu petugas kesehatan mendapatkan keterampilan untuk mengambil contoh.
Contoh DBS dikirim oleh kurir ke laboratorium HIV rujukan, tempat petugas melakukan tes PCR dengan
memakai alat tes Roche Amplicor 1,5. Hasilnya dikirim kembali ke klinik melalui faksimili. Lebih dari
90% bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV di tes dalam program pilot ini, dengan waktu sejak
contoh diambil hingga mendapatkan hasilnya di klinik rata-rata adalah sembilan hari.55 Perawat dan bidan
mampu mengambil contoh DBS tanpa banyak kesulitan; kebanyakan perawat yang mengambil contoh
(67%), dan kebanyakan bayi (73%) hanya perlu ditindik sekali untuk mendapatkan contoh.
Semua hasil positif dikonfirmasi dengan tes kedua dari contoh yang sama. Tidak ada hasil positif palsu
yang terdeteksi di klinik uji coba ART ini. Laboratorium hanya menolak 1,7% contoh, terutama karena
kesalahan etiket; mutu contoh jarang bermasalah. Penulis penelitian berpendapat bahwa program tersebut
mencari cara lain untuk meminimalkan masalah etiket, contohnya dengan memakai nama dan nomor
sebagai identitas pasien atau memakai kartu yang ditempelkan pada formulir pasien serupa dengan yang
dipakai untuk menskrining bayi yang baru lahir di AS.
Walaupun hasilnya sangat baik, sangat menyedihkan bahwa tercatat kurang lebih seperempat anak yang
terinfeksi HIV di program ini yang mangkir, walaupun tes HIV lebih dini tersedia.
Rwanda
The International Center for AIDS Care and Treatment Programs (ICAP) di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Mailman, Universitas Kolumbia juga memakai contoh DBS dalam program pencegahan,
perawatan dan pengobatan HIV di rangkaian miskin sumber daya. Pada Konferensi International AIDS
ke-XIV di Toronto, Kanada pada Agustus 2006, Dr. Luis Felipe Gonzales menjelaskan pengalaman ICAP
–7–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang berhasil melakukan tes PCR untuk mendiagnosis bayi lebih dini, menyediakan garis besar langkah-
langkah yang diperlukan untuk membentuk jaringan diagnosis bayi.56
Seperti di Botswana, program Rwanda memakai kit alat tes Roche Amplicor 1,5 untuk memisahkan DNA
dari contoh DBS. Setelah menganalisis hasil dari 345 contoh, para peneliti menemukan bahwa tes
tersebut memiliki sensitivitas yang baik (98,02%) dan spesifisitas (100%), dan sangat baik dibandingkan
dengan contoh darah. Mereka hanya menemukan satu hasil contoh negatif palsu.
Temuan yang menarik dari program Rwanda adalah bahwa tantangan utama untuk memperluas diagnosis
bayi lebih dini adalah bukan melakukan tes PCR di tingkat laboratorium tetapi memastikan bahwa anak
tersebut ditindaklanjuti secara benar di tingkat klinik. Para peneliti menemukan bahwa setiap klinik
membutuhkan satu orang, biasanya seorang perawat, yang bertugas memandu keluarga menjalani
prosedur tes HIV serta perwatan dan pengobatan selanjutnya. Hal ini termasuk tugas lain misalnya
mengambil contoh DBS bayi, mengepak dan mengirim DBS ke laboratorium pusat, memastikan bahwa
klinik menerima hasilnya, mencatat hasil di rekam medis anak, dan mengambil keputusan klinis
berdasarkan hasil dan protokol klinik.56
Tantangan memakai contoh DBS untuk mendiagnosis HIV lebih dini pada bayi
Para peneliti yang memakai DBS untuk tes PCR di rangkaian miskin sumber daya menghadapi beberapa
tantangan, termasuk kesulitan menyimpan kertas filter secara benar, kesalahan dalam etiket contoh darah,
masalah pengiriman contoh kertas filter, hasil tes yang telat apabila contoh DBS dikirim ke laboratorium
pusat, tidak ada pengendalian mutu, dan pencemaran silang pada contoh. Banyak dari masalah ini khusus
pada semua teknik PCR. Tetapi, sejauh ini kendala terbesar memakai PCR dengan contoh DBS untuk
mendiagnosis HIV lebih dini pada bayi adalah biaya tes PCR, yang rata-rata 10 hingga 15 dolar AS pada
2005.57 Sebaliknya, tes antibodi secara cepat saat ini tersedia di AS dengan harga dua hingga empat dolar
AS per tes.
Demikian, seperti ditunjukkan oleh pengalaman di Rwanda, kehadiran petugas layanan kesehatan di
tingkat klinik yang dilatih untuk mengambil contoh dan memantau anak adalah penting untuk
menerapkan diagnosis HIV lebih dini pada bayi karena pengembangan laboratorium pusat. Perlu dicatat
bahwa di banyak negara, hanya teknisi laboratorium yang berwenang untuk mengambil darah.
Pembatasan ini terus membatasi kemampuan program untuk meningkatkan layanan diagnostik dan
pemantauan HIV untuk anak dan orang dewasa .
Secara ringkas, walaupun PCR HIV DBS menjanjikan, tanpa penyederhanaan prosedur, pengurangan
biaya reagen dan peralatan PCR, serta kelanjutan upaya peningkatan jumlah petugas layanan kesehatan
yang terlatih dan di pusat layanan kesehatan, potensi yang dapat dihasilkan oleh metode ini untuk
meningkatkan akses diagnosis HIV lebih dini pada bayi secara bermakna adalah terbatas.
Saran umum untuk meningkatkan tes virologi untuk diagnosis HIV lebih dini pada bayi58
• Karena bayi yang terinfeksi HIV sejak dalam kandungan menghadapi risiko kematian, dan karena
ART pediatrik semakin tersedia, program PMTCT nasional di negara miskin sumber daya harus
membangun kapasitas untuk menyediakan tes virologi HIV untuk bayi.
• Tes antibodi yang cocok untuk mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa tidak dapat diandalkan
untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Tetapi, tes antibodi dapat dipakai
untuk melakukan skrining pada anak yang membutuhkan tes virologi lanjutan. Rancangan pedoman
WHO menganjurkan skrining dilakukan pada anak saat berusia s
antibodi ibu mungkin sudah hilang.21
• Tes virologi pada bayi yang terpajan HIV harus dilakukan pada usia enam minggu. Tes pada usia ini
memberi sensitivitas yang baik (>98%) dengan berbagai metode PCR dan akan mengenali sebagian
besar bayi yang terinfeksi dalam kandungan dan persalinan. Ini adalah bayi yang paling berisiko
terhadap pengembangn penyakit secara cepat dan yang paling membutuhkan perawatan dan
pengobatan secara mendesak.
• Bila dimungkinkan, hasil PCR yang harus dikonfirmasi dengan contoh yang sama, atau bila
dimungkinkan contoh kedua diambil 1-2 minggu setelah yang pertama.
• Keputusan mengenai waktu tes dan tes ulang sebagian harus berdasarkan kegiatan penyusuan yang
biasa di wilayah tertentu. Risiko tertular HIV dari ibu berlanjut selama masa penyusuan, dan anak
–8–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang disusui yang mempunyai hasil negatif pada tes pertamanya perlu dites ulang enam minggu
setelah masa penyusuan berakhir.

Kondisi klinis bayi harus dipertimbangkan waktu menafsirkan hasil tes virologi dan antibodi.

Tata cara tes HIV harus mencakup anak yang tidak datang ke program melalui kegiatan PMTCT tetapi
yang datang ke pusat perawatan kesehatan dengan tanda dan gejala infeksi HIV. Saat ini, ini adalah
cara menemukan kasus HIV pada anak secara besar-besaran. Tes antibodi secara cepat dapat
digunakan untuk melakukan skrining anak yang memerlukan tes virologi selanjutnya.

Perencana program PMTCT nasional harus bertujuan untuk mengembangkan kapasitas laboratorium
untuk melakuan tes virologi dengan memakai PCR DNA atau RNA HIV di tingkat pusat atau tersier.
Mereka harus mencoba mencapai penjangkauan secara nasional melalui pengembangan jaringan
laboratorium dan sistem rujukan.

Sensitivitas PCR DNA beragam berdasarkan tipe tes yang dipakai dan laboratorium yang melakuan
tes tersebut; program nasional harus dirancang untuk memastikan bahwa tes yang dipakai sensitif
terhadap subtipe virus yang prevalen di wilayah tertentu.

Program nasional harus memakai teknologi PCR yang mendukung penggunaan contoh DBS. Untuk
meningkatkan penghematan biaya, perencana program harus mempertimbangkan pemilihan dasar
PCR yang dapat dipakai untuk menilai penularan lain misalnya hepatitis B, hepatitis C, dan
mikobakteri tuberkulosis.
Karena biaya dan kerumitan teknologi, manajer laboratorium perlu merencanakan secara hati-hati untuk
jangka panjang sehubungan dengan pengembangan sistem prosedur pelaksanaan yang baku; rencana
penyediaan barang; pengiriman, penyimpanan, dan sistem penatalaksanaan persediaan; skema penilaian
mutu secara eksternal dan internal; pelatihan; dan struktur penatalaksanaan klinik. Perencana program
harus memperkirakan secara hati-hati jumlah bayi yang memerlukan tes sehingga dapat memilih
peralatan tes yang paling efisien dan untuk memastikan bahwa peralatan ini tidak mengganggur untuk
jangka waktu yang lama.
Faktor untuk dipertimbangkan saat memilih teknologi PCR:

Pembelian alat yang diperlukan

Ketersediaan dan biaya peralatan dan reagen secara komersial

Perkiraan jumlah tes dari daerah geografis tertentu

Perkiraan jumlah contoh darah yang harus diproses

Tempat penyimpanan dan pengiriman contoh darah

Jaminan mutu laboratorium secata terus-menerus

Ketersediaan layanan dan perawatan serta suku cadang untuk peralatan

Pengumpulan dan proses contoh darah (termasuk contoh DBS ke dalam mesin)

Kebutuhan peralatan lain (mis. persiapan contoh secara otomatis, tindikan DBS, mesin
pemisah/centrifuge)
• Tipe dan subtipe virus
• Pelatihan dan ketersediaan staf laboratorium
• Penggunaan alat untuk keperluan lain (mis, diagnosis kondisi lain atau pemantauan ART)
Sumber: World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children. Guidance note for development of round 6 GFTAM
proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for selection of technology for early diagnosis of HIV in
infants in resource-limited settings.
Ringkasan
Walaupun metodologi PCR berpotensi, biayanya tetap tidak terjangkau di negara miskin sumber daya.
Tambahan penurunan biaya teknologi PCR, program untuk hibah persediaan dan peralatan, dan
pengalihan hak kemilikan intelektual kepada perusahaan obat generik (sebagaimana dengan obat
bermerek) akan sangat membantu fasilitasi penerapan diagnosis HIV lebih dini pada bayi secara murah.
Diagnosis HIV yang murah pada bayi dan ketersediaan ART pediatrik terkait erat. Diagnosis HIV yang
lebih dini memberi dampak lebih besar terhadap hasil kesehatan masyarakat lebih berdampak besar
terhadap hasil kesehatan masyarakat dan pengeluaran bila digabungkan dengan kemajuan akses pada
ART. Advokasi yang berhasil menurunkan harga obat bermerek untuk orang dewasa secara luas dan anak
–9–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
mungkin juga efektif untuk menurunkan biaya diagnosis HIV melalui penafsiran undang-undang hak
kemilikan intelektual secara lebih terbuka apabila menghadapi penyakit yang mengancam jiwa contohnya
HIV. Inovasi pendekatan baru diperlukan apabila biaya tes diagnostik saat ini tidak dapat dikurangi.
Sebagaimana Aledort dkk menyatakan, “Ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan dan
menerapkan tes HIV baru yang mudah dipakai, yang dapat mengubah penatalaksanaan HIV/AIDS
pediatrik di negara berkembang dan menyelamatkan jutaan kematian bayi.”11
Referensi
1.
World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants:
Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AIDS and their Children in Resource-
Constrained Settings. Geneva: World Health Organization . July 2004.
2.
UNAIDS. Global summary of the AIDS epidemic . December 2006.
3.
UNAIDS, WHO. 2006 Report on the Global AIDS Epidemic . May 2006.
4.
Newell ML, Coovadia H, Cortina-Borja M et al. Mortality of infected and uninfected infants born to HIV-infected mothers
in Africa: a pooled analysis . Lancet 2004; 364 (9441):1236-43.
5.
Mofenson LM. Technical report: perinatal human immunodeficiency virus testing and prevention of transmission.
Committee on Pediatric Aids . Pediatrics 2000; 106 (6):E88.
6.
Nielsen K, Bryson YJ. Diagnosis of HIV infection in children . Pediatr Clin North Am 2000; 47 (1):39-63.
7.
Bishai D, Mirchandani G, Pariyo G et al. The cost of quality improvements due to integrated management of childhood
illness (IMCI) in Uganda . Health Econ 2007.
8.
World Health Organization, United Nations Children’s Fund. Integrated Management of Childhood Illness Complementary
Course on HIV/AIDS . Geneva: World Health Organization; January 2006.
9.
Jones SA, Sherman GG, Coovadia AH. Can clinical algorithms deliver an accurate diagnosis of HIV infection in infancy?
Bull World Health Organ. 2005 Jul;83(7):559-60.
10.
Horwood C, Liebeschuetz S, Blaauw D, et al. Diagnosis of paediatric HIV infection in a primary health care setting with a
clinical algorithm . Bull World Health Organ. 2003;81(12):858-66. Epub 2004 Mar 1.
11.
Aledort JE, Ronald A, Le Blancq SM et al. Reducing the burden of HIV/AIDS in infants: the contribution of improved
diagnostics . Nature 2006; 444 Suppl 1:19-28.
12.
UNAIDS, UNICEF, WHO. Children and AIDS: A Stocktaking Report . Geneva: UNCIEF; January 2007.
13.
Stiehm ER. Fetal defense mechanisms . Am J Dis Child 1975; 129 (4):438-43.
14.
Stiehm ER, Fudenberg HH. Serum levels of immune globulins in health and disease: a survey . Pediatrics 1966b; 37
(5):715-27.
15.
Kline MW, Shearer WT. Active and Passive Immunization in the Prevention of Infectious Diseases. In: Stiehm ER, ed.
Immunologic Disorders in Infants and Children. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1996: 916-55.
16.
Ammann AJ, Wara DW. Evaluation of infants and children with recurrent infection . Curr Probl Pediatr 1975; 5 (11):3-47.
17.
Stiehm ER, Ammann AJ, Cherry JD. Elevated cord macroglobulins in the diagnosis of intrauterine infections . N Engl J
Med 1966a; 275 (18):971-7.
18.
Sarngadharan MG, Popovic M, Bruch L et al. Antibodies reactive with human T-lymphotropic retroviruses (HTLV-III) in
the serum of patients with AIDS . Science 1984; 224 (4648):506-8.
19.
Weiblen BJ, Lee FK, Cooper ER et al. Early diagnosis of HIV infection in infants by detection of IgA HIV antibodies .
Lancet 1990; 335 (8696):988-90.
20.
Landesman S, Weiblen B, Mendez H et al. Clinical utility of HIV-IgA immunoblot assay in the early diagnosis of perinatal
HIV infection . Jama 1991; 266 (24):3443-6.
21.
World Health Organizaiton. Recommendations on the Diagnosis of HIV Infection in Infants and Children: Draft for Public
Review—Version 6. July 2006.
22.
Daar ES, Moudgil T, Meyer RD et al. Transient high levels of viremia in patients with primary human immunodeficiency
virus type 1 infection . N Engl J Med 1991; 324 (14):961-4.
23.
Ho DD, Moudgil T, Alam M. Quantitation of human immunodeficiency virus type 1 in the blood of infected persons . N
Engl J Med 1989; 321 (24):1621-5.
24.
Jackson JB, Coombs RW, Sannerud K et al. Rapid and sensitive viral cu
type 1 . J Clin Microbiol 1988; 26 (7):1416-8.
25.
Sherman GG, Stevens G, Stevens WS. Affordable diagnosis of human immunodeficiency virus infection in infants by p24
antigen detection . Pediatr Infect Dis J. 2004 Feb;23(2):173-6.
26.
Elyanu P, Fiscus S, Ndeezi G, et al. Evaluation of ultrasensitive p24 antigen assay as an HIV diagnostic method among
HIV-exposed children attending Mulago Hospital . In: Program and abstracts of the 14th Conference on Retroviruses and
Opportunistic Infections; February 25-28, 2007; Los Angeles. Abstract 669.
27.
Schupbach J, Boni J, Bisset LR, et al. HIV-1 p24 antigen is a significant inverse correlate of CD4 T-cell change in patients
with suppressed viremia under long-term antiretroviral therapy . 2003 Jul 1;33(3):292-9.
– 10 –
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
28.
Zijenah LS, Tobaiwa O, Rusakaniko S, et al. Signal-boosted qualitative ultrasensitive p24 antigen assay for diagnosis of
subtype C HIV-1 infection in infants under the age of 2 years . J Acquir Immune Defic SynDr. 2005 Aug 1;39(4):391-4.
29.
Knuchel MC, Tomasik Z, Speck RF, et al. Ultrasensitive quantitative HIV-1 p24 antigen assay adapted to dried plasma
spots to improve treatment monitoring in low-resource settings . J Clin Virol. 2006 May;36(1):64-7. Epub 2006 Jan 23
30.
Knuchel MC, Jullu B, Shah C, et al. Adaptation of the ultrasensitive HIV-1 p24 antigen assay to dried blood spot testing . J
Acquir Immune Defic SynDr. 2007 Mar 1;44(3):247-53.
31.
Engelbrecht S, van Rensburg EJ. Detection of southern African human immunodeficiency virus type 1 subtypes by
polymerase chain reaction: evaluation of different primer pairs and conditions . J Virol Methods 1995; 55 (3):391-400.
32.
Engelbrecht S, Smith TL, Kasper P, et al. HIV type 1 V3 domain serotyping and genotyping in Gauteng, Mpumalanga,
KwaZulu-Natal, and Western Cape Provinces of South Africa . AIDS Res Hum Retroviruses 1999; 15 (4):325-8.
33.
Krivine A, Yakudima A, Le May M, et al. A comparative study of virus isolation, polymerase chain reaction, and antigen
detection in children of mothers infected with human immunodeficiency virus . J Pediatr 1990; 116 (3):372-6.
34.
Delamare C, Burgard M, Mayaux MJ, et al. HIV-1 RNA detection in plasma for the diagnosis of infection in neonates. The
French Pediatric HIV Infection Study Group . J Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1997; 15 (2):121-5.
35.
Dunn DT, Brandt CD, Krivine A, et al. The sensitivity of HIV-1 DNA polymerase chain reaction in the neonatal period
and the relative contributions of intra-uterine and intra-partum transmission . Aids 1995; 9 (9):F7-11.
36.
Simonds RJ, Brown TM, Thea DM, et al. Sensitivity and specificity of a qualitative RNA detection assay to diagnose HIV
infection in young infants. Perinatal AIDS Collaborative Transmission Study . Aids 1998; 12 (12):1545-9.
37.
Beck IA, Drennan KD, Melvin AJ, et al. Simple, sensitive, and specific detection of human immunodeficiency virus type 1
subtype B DNA in dried blood samples for diagnosis in infants in the field . J Clin Microbiol. 2001 Jan;39(1):29-33.
38.
Fischer A, Lejczak C, Lambert C, et al. Simple DNA extraction method for dried blood spots and comparison of two PCR
assays for diagnosis of vertical human immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda . J Clin Microbiol. 2004
Jan;42(1):16-20.
39.
Bremer JW, Lew JF, Cooper E, et al. Diagnosis of infection with human immunodeficiency virus type 1 by a DNA
polymerase chain reaction assay among infants enrolled in the Women and Infants’ Transmission Study . J Pediatr 1996;
129 (2):198-207.
40.
Comeau AM, Pitt J, Hillyer GV, et al. Early detection of human immunodeficiency virus on dried blood spot specimens:
sensitivity across serial specimens. Women and Infants Transmission Study Group . J Pediatr 1996; 129 (1):111-8.
41.
Burgard M, Mayaux MJ, Blanche S, et al. The use of viral culture and p24 antigen testing to diagnose human
immunodeficiency virus infection in neonates. The HIV Infection in Newborns French Collaborative Study Group . N Engl
J Med 1992; 327 (17):1192-7.
42.
Lyamuya E, Bredberg-Raden U, Massawe A, et al. Performance of a modified HIV-1 p24 antigen assay for early diagnosis
of HIV-1 infection in infants and prediction of mother-to-infant transmission of HIV-1 in Dar es Salaam, Tanzania . J
Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1996; 12 (4):421-6.
43.
Schupbach J. Measurement of HIV-1 p24 antigen by signal-amplification-boosted ELISA of heat-denatured plasma is a
simple and inexpensive alternative to tests for viral RNA . AIDS Rev 2002; 4 (2):83-92.
44.
Biggar RJ, Miley W, Miotti P, et al. Blood collection on filter paper: a practical approach to sample collection for studies
of perinatal HIV transmission . J Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1997; 14 (4):368-73.
45.
Botswana Ministry of Health and BOTUSA Release Findings: Use of Dried Blood Spots for Early Infant Diagnosis of
HIV: Results from a Pilot Study in Botswana . Gaborone, Botswana: Public Affairs Section, Embassy of the United States;
February 24, 2006.
46.
Creek T. Successful introduction of Infant Dried Blood Spot (DBS) PCR Testing in Botswana’s PMTCT Program .
Pediatric HIV Diagnosis and Laboratory Monitoring Working Group Meeting. The Forum for Collaborative HIV
Research. February 6, 2006; Denver.
47.
Gonzales LP. Optimising identification of infected children: Approaches for different settings . In: Program and abstracts
of the XIV International AIDS Conference; August 13-18, 2006; Toronto. Presentation WESY0101.
48.
World Health Organization, United Nations Children’s Fund, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS),
Medecins Sans Frontieres . Sources and Prices of Selected Medicines and Diagnostics for People Living with HIV/AIDS:
June 2005 Report. June 2005.
49.
World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children . Guidance note for development of
round 6 GFTAM proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for
selection of technology for early diagnosis of HIV in infants in resource-limited settings.
Artikel asli: Early Diagnosis of HIV Infection in HIV-Exposed Infants: Can Complexity and Cost Be
Overcome in Resource-Poor Settings? http://www.womenchildrenhiv.org/wchiv?page=tp-02-07
– 11 –

Tidak ada komentar:

Posting Komentar