Jumat, 30 April 2010

HIV exel

Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
Apakah kerumitan dan biaya dapat diatasi di rangkaian terbatas sumber daya?
Oleh: Arthur Ammann, MD, Global Strategies for HIV Prevention, dan Sahai Burrowes, MALD , Center
for HIV Information, University of California San Francisco, Maret 2007
Pendahuluan
Tantangan mendiagnosis infeksi HIV pada bayi
Kebanyakan infeksi HIV pada anak akibat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (mother-to-child
transmission/MTCT), yang dapat terjadi selama kehamilan dan persalinan, atau selama menyusui. Walau
sudah banyak kemajuan dan penerapan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang
efektif di negara berkembang, hampir 2.000 bayi terinfeksi HIV setiap hari melalui MTCT di negara
miskin sumber daya.1 Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia.2 Jumlah
ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan. Saat ini, kurang dari 10% ibu
hamil yang terinfeksi HIV di negara miskin sumber daya menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk
pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (prevention of mother-to-child transmission/PMTCT).3
Walaupun layanan profilaksis ARV ditingkatkan secara luar biasa, infeksi HIV pada anak akan terus
meningkat kecuali ada peningkatan layanan pencegahan infeksi HIV baru pada perempuan secara
bersamaan, perbaikan akses pada keluarga berencana (KB), dan perluasan ketersediaan pengobatan
antiretroviral (ART) untuk ibu yang membutuhkannya.
Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi,
pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum
pengembangan penyakit lanjut). Tanpa ART, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan
anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih 30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati
meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal sebelum mereka
mencapai usia dua tahun.4 Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan
yang tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ART. Oleh karena itu
penting untuk mendiagnosis bayi yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit
dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental.
Karena biayanya yang murah, kemudahan untuk memakainya, dan kemampuan untuk menyediakan hasil
secara cepat, tes antibodi cepat adalah yang paling umum dipakai untuk mendiagnosis infeksi HIV di
negara miskin sumber daya. Tetapi, karena antibodi HIV melewati plasenta selama kehamilan, semua
bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan menerima antibodi dari ibu saat di rahim dan hasil tes
antibodi akan positif saat lahir tidak tergantung pada status infeksi HIV-nya sendiri. Antibodi dari ibu
baru hilang seluruhnya 12-18 bulan setelah kelahiran, oleh karena itu semua tes antibodi pada bayi
terpajan HIV yang dilakukan sebelumnya tidak dapat diandalkan.5,6 Kesulitan lain untuk mendiagnosis
infeksi HIV pediatrik pada bayi di negara miskin sumber daya adalah pajanan HIV secara terus-menerus
pada bayi yang disusui, sehingga menyulitkan untuk mengecualikan infeksi HIV sampai penyusuan sudah
dihentikan secara menyeluruh.
Karena komplikasi ini, kebanyakan tes HIV pada bayi di negara miskin sumber daya dilakukan dengan
memakai tes antibodi cepat pada usia 18 bulan. Tetapi, pada usia ini, banyak bayi yang terinfeksi sudah
meninggal dan lebih banyak lagi yang mungkin sudah hilang. Sebuah tes HIV yang murah dan mudah
dipakai dan dapat diandalkan untuk bayi terpajan HIV yang berusia kurang dari 18 bulan dibutuhkan
secara mendesak. Tes semacam ini dapat mencegah jutaan kematian dini terkait HIV.
Pendekatan klinis pada diagnosis
Para dokter di negara miskin sumber daya yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendiagnosis bayi
di bawah usia 18 bulan yang terinfeksi HIV dengan kepastian dapat memakai pendekatan klinis, misalnya
algoritme yang diuraikan dalam Integrated Management of Childhood Illnesses (IMCI) untuk memandu
keputusan perawatan dan pengobatan mereka.7,8 Algoritme ini melatih petugas kesehatan untuk
mengenali tanda-tanda umum infeksi HIV pada anak, contohnya pembengkakan parotis atau pneumonia.
Ada keraguan mengenai manfaat algoritme ini, terutama karena bayi yang terinfeksi HIV mungkin tidak
Dokumen ini didownload dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
bergejala untuk jangka waktu yang cukup lama. Dalam “surat pembaca” yang mengkritik algoritme
IMCI, kelompok dokter dari Afrika Selatan membahas pengalaman mereka waktu menerapkan pedoman
IMCI secara retrospektif di Afrika Selatan pada bayi yang terlibat dalam penelitian PMTCT.9 Mereka
menemukan bahwa hanya 17% bayi yang terinfeksi akan didiagnosis saat berusia enam minggu, dan
hanya 50% saat berusia 12 bulan, secara bermakna lebih rendah dibandingkan angka 70% yang
ditemukan pada penelitian sebelumnya yang mempromosikan penggunaan algoritme.10 Alternatif pada
diagnosis adalah menunggu sampai bayi menunjukkan tanda-tanda infeksi HIV lanjut, tetapi ART lebih
mungkin gagal bila dimulai pada pasien dengan penyakit HIV lanjut dibandingkan bila dimulai pada
pasien yang tidak bergejala.
Tes yang ideal
Tes diagnostik yang ideal untuk bayi yang terpajan HIV akan memenuhi kriteria sebagai berikut:
• Mempunyai spesifitas >99% untuk semua subtipe HIV, dan sensitivitas >98%.
• Petugas kesehatan dapat melakukan tes pada darah kering (dried blood spot/DBS) yang diteteskan
pada kertas filter.
• Tes harus murah, sederhana dan teknologi yang mudah dirawat, dengan peralatan dan suku cadang
yang mudah diperoleh.
• Tes memakai reagen yang murah dan tidak perlu disimpan di kulkas.
• Metodologi tes mudah diajarkan dan dapat dilakukan tanpa pelatihan secara besar-besaran.
• Harga tes tidak lebih dari dua dolar AS.
• Hasil tes tidak dipengaruhi oleh ART yang dipakai oleh ibu untuk infeksi HIV selama kehamilan atau
profilaksis ARV pada ibu atau bayi untuk mencegah MTCT.
Saat ini, belum ada tes tunggal untuk diagnosis infeksi HIV yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Sensitivitas tes adalah kemungkinannya untuk menyediakan hasil tes infeksi HIV yang positif bila
infeksi benar-benar ada. Semakin spesifik tes, proporsi hasil tes negatif palsu berkurang.
Spesitivitas tes adalah kemungkinannya untuk menyediakan hasil tes infeksi HIV yang negatif bila
infeksi HIV benar-benar tidak ada. Semakin spesifik tes, proporsi hasil tes positif palsu berkurang.
Kemungkinan manfaat diagnosis lebih dini: Sebuah peringatan
Seberapa menguntungkan tes infeksi HIV yang “ideal” untuk bayi? Dalam sebuah artikel terkini dalam
jurnal Nature, Aledort dkk menjelaskan kemungkinan manfaat kesehatan dari hipotesis tes baru yang
dapat mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan HIV secara tepat sebelum berusia 12 bulan.11
Para peneliti menghitung manfaat layanan kesehatan yang akan terjadi dengan tes tersebut (dalam
berbagai tingkat keefektifan) dan membandingkannya dengan hasil kesehatan dalam keadaan saat ini,
yaitu tes HIV tidak tersedia untuk bayi di bawah 12 bulan. Hasil yang diukur adalah manfaat kesehatan
setiap tahun dalam bentuk tahun kehidupan yang terselamatkan, tahun kehidupan yang terselamatkan
setelah disesuaikan dengan kecacatan (disability-adjusted life years/DALY) , dan proporsi secara
keseluruhan beban penyakit yang dapat dihindari. Para peneliti mendasarkan analisis mereka pada angka
tes HIV yang dilakukan saat ini dan ketersediaan ART pediatrik, dengan asumsi bahwa, dengan ketiadaan
tes HIV yang tepat, bayi tanpa gejala akan dinilai dengan memakai algoritme diagnosis IMCI. Mereka
juga menduga bahwa bayi bergejala yang didiagnosis dengan menggunakan algoritme IMCI digolongkan
sebagai stadium klinis WHO 3 atau 4.
Para peneliti menemukan bahwa walaupun tes yang ideal mempunyai dampak kecil terhadap penyesuaian
tahun kehidupan yang diselamatakan tanpa peningkatan ketersediaan ART untuk anak. Sekarang ini,
hanya satu di antara sepuluh anak yang memerlukan ART menerimanya.12 Kemudian para penulis
menyimpulkan bahwa, selama permulaan ART pada anak terutama ditentukan oleh stadium klinis, yang
tidak memperhitungkan bayi tanpa gejala atau akses pada petugas kesehatan yang dilatih dengan
algoritme ICMI, dampak tes diagnostik HIV baru yang mungkin dalam mengurangi beban penyakit masih
terbatas.
Keberatan ini adalah penting untuk melatarbelakangi pembahasan tentang diagnosis HIV pada bayi.
Pengembangan tes diagnostik baru harus sejalan dengan perbaikan dalam hal pencarian, pelatihan, dan
–2–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
ketahanan petugas kesehatan terhadap layanan reproduksi dan anak serta dengan peningkatan
ketersediaan kombinasi obat ARV formulasi pediatrik dosis tetap yang murah.
Tes antibodi untuk diagnosis HIV pediatrik
Sebagaimana disebutkan di atas, mendiagnosis infeksi HIV yang pasti pada bayi yang terpajan HIV dari
ibu adalah sulit karena keberadaan antibodi HIV dari ibu, yang secara pasif dipindah pada bayi melalui
plasenta.13,14 Proses ini hanya melibatkan golongan antibodi imunoglobulin G (IgG) dalam keadaan
normal, menyediakan perlindungan pasif pada bayi terhadap berbagai unsur infeksi selama masa 18 bulan
tersebut.15 Setelah antibodi dari ibu hilang, antibodi terhadap unsur mikroba menunjukkan tanggapan
kekebalan bayi.
Tes antibodi IgM
Dalam kebanyakan kejadian infeksi HIV dalam kandungan, antibodi terdiri dari tanggapan kekebalan IgG
dan immunoglobulin M (IgM).16 Karena IgM adalah antibodi molekul berat, kehadirannya pada aliran
bayi mewakili tanggapan kekebalan bayi terhadap infeksi HIV. Oleh karena itu, kehadiran tanggapan
antibodi IgM terhadap virus sitomegalo, organisme toksoplasma, atau unsur mikroba lain yang dapat
menyebabkan infeksi HIV pada ibu dan bayi adalah indikasi infeksi HIV pada bayi.17
Ketika Badan Pengawas Makanan dan Obat (Food dan Drug Administration/FDA) AS menyetujui tes
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) pada 1984, ada harapan alat ini dapat dipakai untuk
diagnosis infeksi HIV secara lebih dini pada bayi yang terpajan HIV.18 Tetapi, ELISA memakai
metodologi yang hanya mengukur antibodi IgG. Oleh karena itu tidak dapat membedakan antibodi IgG
yang secara pasif dipindah dari ibu dengan antibodi IgG yang dihasilkan oleh bayi yang terinfeksi.
Berdasarkan pengamatan sebelumnya bahwa diagnosis infeksi HIV bawaan dapat dilakukan dengan tes
antibodi IgM, perubahan dibuat pada ELISA agar dapat mendeteksi tanggapan antibodi IgM terhadap
HIV. Untuk alasan yang tidak jelas, baik bayi yang terinfeksi HIV dalam kandungan maupun bayi yang
tidak terinfeksi di dalam kandungan atau pascakelahiran menanggapi dengan membuat antibodi IgM. Hal
ini mengesampingkan penggunaan tes antibodi IgM untuk membedakan antibodi yang secara pasif
dipindah dari ibu dengan yang secara aktif dihasilkan oleh bayi.
Tes antibodi IgA
Pendekatan yang berbeda untuk mendeteksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan adalah untuk
melakukan tes untuk menemukan tanda tanggapan antibodi imunoglobulin A (IgA) terhadap infeksi HIV.
IgA, serupa dengan IgM, tidak dipindah dalam jumlah yang bermakna melalui plasenta. Sebuah
penelitian yang memakai teknik yang disebut tes Eli-spot menemukan persentase kecil bayi dengan
antibodi IgA yang kemudian diketahui terinfeksi.19 Tetapi, karena sensitivitas metologi Eli-spot yang
kurang dan kerumitannya, dokter dan para peneliti tidak memakai cara ini untuk mendiagnosis bayi.
Di awal 1990-an, Landesman dan rekan memakai pendekatan lain untuk menyelidiki antibodi IgA.20
Mereka memakai tes antibodi IgA yang sederhana dengan alat ELISA penangkap antibodi IgA yang
diubah pada serangkaian contoh darah yang diambil dari bayi yang terpajan HIV. Pada awalnya, semua
contoh adalah positif. Pada usia delapan bulan, semua bayi yang tidak terinfeksi antibodi negatif.
Walaupuan antibodi HIV IgA hilang secara lebih cepat dibandingkan antibodi IgG dalam penelitian
dengan memakai tes berbasis IgG, deteksi antibodi IgA masih belum bermanfaat untuk mendiagnosis
infeksi HIV pada bayi yang masih muda (yaitu, bayi di bawah usia delapan bulan). Sebagai tambahan,
biaya tes dan peralatan lebih menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan tes antibodi
cepat di negara miskin sumber daya.
Manfaat baru tes antibodi
Walaupun pedoman yang sekarang tidak menyarankan memakai tes antibodi untuk mendiagnosis infeksi
HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan, ada pertumbuhan pengakuan bahwa tes ini berperan penting untuk
menentukan bayi yang mungkin terinfeksi yang mungkin membutuhkan tes virologi selanjutnya.
Rancangan pedoman diagnostik WHO menyarankan penggunaan tes antibodi pada bayi di bawah usia 18
bulan, untuk:
–3–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
• Menentukan anak yang terpajan HIV apabila status HIV dari ibu tidak diketahui; menentukan anak ini
memungkinkan mereka untuk mendapatkan tindak lanjut tes virologi dan perawatan yang tepat
misalnya, memakai profilaksis kotrimoksazol.
• Mendukung diagnosis klinis presumtif penyakit HIV berat pada anak untuk memungkinkan
dimulainya ART
• Mengecualikan infeksi HIV pada anak terpajan HIV antibodi HIV-negatif, di bawah usia 18 bulan
yang belum pernah disusui atau sudah berhenti disusui selama lebih dari enam minggu21
Biakan HIV dari darah
Di awal epidemi HIV, biakan HIV dalam darah dipakai untuk mendeteksi infeksi HIV dan untuk
mengukur jumlah virus dalam darah secara langsung.22,23,24 Biakan HIV juga dipakai untuk mendiagnosis
bayi dan sebagai cara untuk menentukan tingkat keparahan infeksi dan tanggapan selanjutnya terhadap
pengobatan pada orang dewasa dan anak. Walaupun tes ini sensitif dan spesifik, serta dapat dipakai untuk
menghitung viral load pasien, metode ini belum pernah dipakai secara skala besar untuk mendiagnosis
karena teknik tes yang rumit dan membutuhkan reagen dan peralatan yang mahal, waktu tes laboratorium
yang lama, dan banyak darah. Sebagai tambahan, membutuhkan hampir tujuh hari untuk mendapatkan
hasil dan karena biakan virus mengandung HIV yang aktif diperlukan peralatan biohazard khusus.
Tes antigen P24
Sebelum pengembangan teknik viral load DNA dan reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction
/PCR) untuk mendiagnosis infeksi HIV dan menghitung viral load, tes antigen HIV p24 dipakai untuk
menghitung viral load. HIV p24 adalah protein yang diproduksi oleh replikasi HIV yang terjadi dalam
darah Odha dengan jumlah yang berbeda-beda. Karena HIV p24 adalah protein imunogen
terinfeksi HIV juga membentuk antibodi terhadap p24. Oleh karena itu, p24 hadiran dalam darah dalam
bentuk p24 bebas dan p24 terikat antibodi (kompleks kekebalan). Untuk mengukur jumlah antigen p24,
adalah penting untuk memisahkan antibodi dari antigen. Teknik sudah dikembangkan untuk melakukan
tugas ini, tetapi belum seluruhnya berhasil. Namun demikian, karena kesederhanaan tes dan biayanya
yang relatif murah, para peneliti berusaha memperbaiki tes tersebut walaupun tes viral load PCR lebih
sensitif dan spesifik.
Sebagian dari penelitian ini berhasil. Teknik laboratorium dikembangkan untuk memisahkan kompleks
kekebalan p24, meningkatan kemampuan kuantitatif tes dan, dalam hal bayi yang terpajan HIV,
keberhasilan diagnostik.
Berbagai penelitian menemukan bahwa tes antigen p24 ultrasensitif mampu mendeteksi infeksi HIV pada
bayi di atas usia enam minggu secara pasti dengan spesifisitas dan sensitivitas serupa dengan tes DNA
HIV PCR dan viral load HIV.25,26,27,28 Tes tersebut tepat pada banyak subtipe HIV dan lebih mudah
dilakukan dibandingkan tes virologi lain. Biayanya serupa dengan biaya tes PCR generasi lanjut.
Keprihatinan tentang sensitivitas tes p24 tetap ada. Dalam penelitian terkini terhadap tes antigen HIV p24
baru yang “ultrasensitif”, Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS dan plasma.29
Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyaispesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil
secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan
viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67).
Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti
bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah
didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Perbandingan metodologi tes baru-baru ini dilakukan oleh Knuchel
dkk dengan 72 contoh pediatrik dari Tanzania dan 210 contoh pediatrik atau orang dewasa dari Swiss
menemukan sensitivitas yang bahkan lebih rendah. Tingkat deteksi berbagai tes adalah 84% untuk tes
antigen p24 pada DBS; 79% untuk tes PCR DNA yang dilakukan pada DBS; 85% untuk tes antigen p24
pada plasma; dan 100% untuk tes PCR RNA yang dilakukan pada plasma.30
Walaupun dengan peningkatan yang bermakna pada kemanjuran, biaya dan spesifisitas tes antigen p24
HIV, sensitivitas tes ini akan tetap bermasalah. Penghematan biaya yang ditawarkan mungkin tidak dapat
mengimbangi dampak klinis terhadap persentase kegagalan diagnosis secara bermakna pada bayi yang
terinfeksi HIV.
–4–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
Lebih penting daripada kekhawatiran tentang kepekaan tes adalah kenyataan bahwa peralatan dan reagen
yang dibutuhkan untuk tes antigen p24 saat ini tidak tersedia untuk program skala besar. Sebagai
tambahan, secara teoretis ada kekhawatiran bahwa tes antigen p24 mungkin kurang sensitif terhadap
diagnosis lebih dini apabila ibu dari bayi menerima ART atau bayi menerima profilaksis antiretroviral.
Sensitivitas tes tersebut mungkin juga menurun sejalan dengan peningkatan usia. Hasil positif palsu
memang terjadi, dan biasanya dianggap perlu untuk mengkonfirmasi hasil yang positif.21
PCR DNA dan RNA HIV
PCR DNA HIV
Setelah metode laboratorium untuk meningkatkan DNA dengan PCR ditemukan dan penentuan HIV
sebagai penyebab AIDS, teknik PCR DNA HIV menjadi lebih sederhana, murah, dan lebih dapat
diandalkan dibandingkan biakan virus sebagai cara bagi para peneliti untuk menentukan orang yang
terinfeksi HIV dan melakukan penelitian epidemiologi secara luas.31 Ketersediaan primer untuk subtipe
HIV memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti dan melacak subtipe
HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian epidemiologi.32 PCR DNA HIV pertama kali dipakai
untuk mendiagnosis HIV pada bayi pada 1990. Penelitian yang mentes sel mononuklear darah perifer
(peripheral blood mononuclear cells/ PBMC) dari bayi pada berbagai titik waktu setelah kelahiran.33
Diharapkan bahwa akan sespesifik seperti biakan virus pada bayi yang baru lahir tetapi lebih mudah
dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit. Walaupun PCR DNA berhasil dengan baik,
penelitian selanjutnya terhadap bayi yang baru lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan
bahwa PCR DNA HIV terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya.
Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14 hari.
Ketidaksensitifan PCR DNA HIV untuk mendiagnosis infeksi HIV saat kelahiran mungkin terjadi karena
kenyataan bahwa kebanyakan penularan HIV pada bayi terjadi saat sakit kelahiran dan persalinan, dan
virus tidak mencapai tingkat terdeteksi selama beberapa minggu setelah tertular. Bayi yang terinfeksi
dalam kandungan mungkin mempunyai hanya sedikit jumlah virus yang bereplikasi.
PCR RNA HIV
Dalam usaha untuk menemukan sebuah metode yang dapat mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti
beralih ke PCR RNA HIV, yang dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda dengan PCR DNA HIV,
yang adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan diagnosis HIV ya/tidak), deteksi RNA HIV
menyediakan informasi tambahan informasi kuantitatif tentang status virologis, menghitung jumlah virus
yang beredar (juga dikenal sebagai “viral load” dan dinyatakan dalam copies/mL) pada pasien. Oleh
karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien, menuntun permulaan memakai ART, dan
memantau tanggapan pengobatan.
Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus dan tetap sangat spesifik terhadap HIV, dan
akan mengganti teknik biakan virus yang lebih rumit dan mahal untuk mendiagnosis bayi.36 Penelitian
awal terhadap bayi yang terpajan HIV dengan memakai tes PCR RNA HIV menemukan bahwa metode
tersebut cocok atau melampaui sensitivitas dan spesifisitas PCR DNA HIV dan metode biakan virus.37
Dalam penelitian oleh Lambert dkk, kepekaan tes PCR RNA HIV adalah 27% saat kelahiran, 92% setelah
6 minggu, dan 91% setelah 20 minggu.38 Para peneliti lain melaporkan hasil serupa.39,40,41
Tabel 1. Sensitivitas biakan HIV, PCR DNA HIV, dan PCR RNA HIV
Tes
Saat kelahiran
6 minggu
24 minggu
Biakan HIV
21%
90%
95%
PCR DNA HIV
10%
81%
81%
PCR RNA HIV
27%
92%
91%
Sumber: Lambert JS, Harris DR, Stiehm ER, et al. Performance characteristics of HIV-1 culture and HIV-1 DNA and RNA amplification assays for
early diagnosis of perinatal HIV-1 infection. HIV. J Acquir Immune Defic SynDr. 2003; 34 (5):512-9.
Peralatan tes RNA HIV semakin murah, dan alat tes deteksi RNA HIV sekarang tersedia secara lebih luas
dibandingkan alat tes DNA. Tetapi, metode ini mempunyai beberapa kekurangan, termasuk
–5–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
kecenderungan untuk memberi hasil positif yang salah untuk pasien dengan tingkat viremia rendah dan
bahwa kenyataannya tidak semua primer dan reagen dibakukan.21 Selain itu, peningkatan penggunaan
ART dan profilaksis untuk PMTCT meningkatkan masalah yang berpotensi pentign sehubungan dengan
sensitivitas metodologi PCR RNA HIV pada diagnosis bayi. Obat ARV berpotensi menurunkan tingkat
virus dalam sel mononuklear darah perifer atau plasma dan mengurangi sensitivitas tes tersebut. Tetapi,
penelitian mengindikasikan bahwa penurunan viral load yang terjadi dengan ART atau profilaksis ARV
jangka pendek tidak mengganggu metode PCR pendeteksi HIV.42
Ringkasan
• PCR DNA HIV adalah tes yang paling banyak dipakai di negara maju untuk mendiagnosis bayi secara
lebih dini.
• PCR RNA HIV juga terbukti tepat dan dapat diandalkan serta menyediakan tambahan informasi
tentang status virologis.
• Teknologi DNA HIV dan RNA HIV keduanya semakin murah, lebih otomatis, dan memberi hasil
secara lebih cepat.
Sumber: World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children. Guidance note for development of round 6 GFTAM
proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for selection of technology for early diagnosis of HIV in
infants in resource-limited settings.
Tes virologi dengan contoh DBS
Teknik tes virologi yang murah tetap sulit ditemukan karena tingginya biaya untuk melakukan tes PCR
RNA dan DNA, yang merupakan akibat langsung dari ketatnya undang-undang hak kemilikan intelektual
yang mengatur teknologi PCR. Dengan tingginya biaya teknologi PCR, kebanyakan negara yang ingin
meningkatkan diagnosis HIV pada bayi dan pemantauan viral load hanya dapat menempatkannya di
beberapa laboratorium pemerintah pusat dengan kapasitas ini. Pengumpulan dan pengiriman contoh darah
ke laboratorium pusat menjadi kendala logistik yang besar. Pengunaan DBS pada kertas filter dan bukan
contoh darah penuh sudah diajukan sebagai cara untuk mengurangi tantangan pengumpulan dan
pengiriman contoh darah yang mungkin dihadapi program waktu akan memulai tes virologi skala besar.
Pada bayi, prosedur untuk mendapatkan contoh DBS termasuk mengambil darah dengan tindikan dari
tumit, ibu jari kaki atau jari tangan dan langsung meneteskannya di kertas filter, tidak memerlukan jarum,
jarum suntik, pengambilan darah penuh, dan pemisahan darah menjadi plasma. Jumlah darah yang
diperlukan biasanya <75 µL. Penggunaan DBS adalah menarik untuk negara miskin sumber daya karena
contoh darah di kertas filter lebih mudah dikirim ke laboratorium klinik pusat untuk dianalisis
dibandingkan contoh darah penuh.43 Lebih lanjut, petugas kesehatan tingkat menengah di klinik di
pedalaman yang tidak mempunyai akses pada jarum dan jarum suntik untuk mengambil contoh darah
mampu melakukannya dengan tindikan di tumit dan prosedur serupa yang diperlukan untuk
mengumpulkan tanpa perlu pelatihan besar. Contoh DBS juga lebih aman untuk ditangani dibandingkan
dengan contoh darah, mempunyai risiko biohazard yang lebih kecil. Contoh dapat disimpan hingga satu
tahun dalam suhu ruangan. Contoh DBS dapat dipakai untuk tes RNA HIV (viral load), artinya bahwa
begitu sistem yang memakai DBS sudah diterapkan, hal ini dapat meningkatan akses penghitungan viral
load untuk orang dewasa dan anak.
DBS sudah dipakai di rangkaian kaya sumber daya selama beberapa dasawarsa untuk menskrining bayi
yang baru lahir terhadap penyakit metabolik. Penggunaan DBS untuk diagnosis HIV pada bayi awalnya
dinilai di AS karena contoh DBS sudah dipakai untuk menskrining bayi yang baru lahir terhadap
fenilketonuria. Cassol dkk menunjukkan keandalan tes PCR DNA pada contoh DBS pada 1991.44
Penelitian PCR DNA HIV selanjutnya pada DBS menemukan bahwa metode tersebut membandingkan
tes diagnostik HIV lain dengan baik, misalnya biakan virus dan PCR darah.43,45,46,47 Tetapi, penting untuk
dicatat bahwa semua tes diagnostik ini, baik dilakukan dengan darah maupun tidak, kurang sensitif
apabila contoh diambil dari bayi pada minggu pertama kehidupannya. Penelitian penularan ibu dan bayi
(The Women and Infants Transmission Study/WITS), yang menganalisis 272 contoh darah dari 144 bayi
pada empat bulan pertama kehidupan dengan memakai PCR DNA, menemukan bahwa sensitivitas tes
dalam minggu pertama kehidupannya adalah 19%. Angka ini meningkat menjadi 96% pada usia satu
bulan.48,49 Contoh yang diambil pada saat lahir adalah yang paling tidak mungkin mempunyai DNA HIV
–6–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang terdeteksi pada DBS. Pada penelitian ini dan penelitian lainnya, spesifisitas tes PCR DNA pada
DBS lebih besat dari 99%.
Penelitian juga membandingkan hasil tes PCR DNA HIV memakai DBS dengan tes antigen p24 dan
biakan virus yang memakai contoh darah penuh.45,50,51,52 Sesuai perkiraan, tes lengkap antigen p24 relatif
tidak sensitif , sedangakan PCR DNA HIV yang dilakukan pada contoh DBS mempunyai korelasi yang
sangat baik dengan biakan virus.
Para peneliti tetap menyederhanakan prosedur teknis untuk melakukan PCR pada sampel DBS,
memungkinkan analisis yang lebih cepat dan standarisasi pada metodeologi laboratorium secara rutin.
Penelitian terkini yang memakai prosedur ini menemukan bahwa metode ini terus berjalan dengan baik di
negara miskin sumber daya di sarana klinis yang padat. Contoh, di Afrika Selatan, Sherman dkk mengkaji
teknik PCR DNA yang tersedia secara komersial pada contoh DBS yang dikumpulkan pada kertas filter
dan menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas tinggi (99%) dan sensitivitas (100%), bahkan
pada contoh dari bayi yang baru berusia enam minggu.43
Dalam penelitian seminal lain, Bigger dkk menilai 15.810 kertas filter dengan contoh darah dari bayi
dalam penelitian PMTCT besar di Afrika selatan.53 Para peneliti mengumpulkan contoh darah bayi
berusia 6 dan 12 minggu dan melakukan tes PCR dua kali pada setiap contoh. Mereka menemukan bahwa
hasil PCR positif setelah berusia satu bulan adalah 99% tetap untuk memprediksi hasil tes antibodi positif
setelah 15 bulan.
Tes virologi dengan DBS dilakukan di rangkaian miskin sumber daya
Botswana
Berdasarkan hasil penelitian yang menjanjikan, berbagai program PMTCT mencoba memakai DBS
dalam skala yang lebih besar untuk mendiagnosis bayi lebih dini. Salah satu contoh yang paling menonjol
adalah program PMTCT nasional di Botswana, uji coba yang berhasil memakai contoh DBS untuk
melakukan tes pada bayi yang berusia enam minggu di 12 tempat di Gaborone dan Francistown, dan
penggunaan metode ini sekarang sedang diperluas secara nasional.54,55
Penggunaan DBS selama enam bulan uji coba di Botswana cukup berhasil. Metode ini dapat diterima
oleh petugas kesehatan dan ibu, dan pengambilan contoh DBS dapat dilakukan dengan mudah bersamaan
dengan kunjungan perawatan bayi secara rutin di klinik.55 Petugas kesehatan menerima pelatihan teori
selama satu hari tentang diagnosis bayi dilanjutkan dengan latihan praktek di klinik. Pelatihan ini diyakini
sangat penting untuk membantu petugas kesehatan mendapatkan keterampilan untuk mengambil contoh.
Contoh DBS dikirim oleh kurir ke laboratorium HIV rujukan, tempat petugas melakukan tes PCR dengan
memakai alat tes Roche Amplicor 1,5. Hasilnya dikirim kembali ke klinik melalui faksimili. Lebih dari
90% bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV di tes dalam program pilot ini, dengan waktu sejak
contoh diambil hingga mendapatkan hasilnya di klinik rata-rata adalah sembilan hari.55 Perawat dan bidan
mampu mengambil contoh DBS tanpa banyak kesulitan; kebanyakan perawat yang mengambil contoh
(67%), dan kebanyakan bayi (73%) hanya perlu ditindik sekali untuk mendapatkan contoh.
Semua hasil positif dikonfirmasi dengan tes kedua dari contoh yang sama. Tidak ada hasil positif palsu
yang terdeteksi di klinik uji coba ART ini. Laboratorium hanya menolak 1,7% contoh, terutama karena
kesalahan etiket; mutu contoh jarang bermasalah. Penulis penelitian berpendapat bahwa program tersebut
mencari cara lain untuk meminimalkan masalah etiket, contohnya dengan memakai nama dan nomor
sebagai identitas pasien atau memakai kartu yang ditempelkan pada formulir pasien serupa dengan yang
dipakai untuk menskrining bayi yang baru lahir di AS.
Walaupun hasilnya sangat baik, sangat menyedihkan bahwa tercatat kurang lebih seperempat anak yang
terinfeksi HIV di program ini yang mangkir, walaupun tes HIV lebih dini tersedia.
Rwanda
The International Center for AIDS Care and Treatment Programs (ICAP) di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Mailman, Universitas Kolumbia juga memakai contoh DBS dalam program pencegahan,
perawatan dan pengobatan HIV di rangkaian miskin sumber daya. Pada Konferensi International AIDS
ke-XIV di Toronto, Kanada pada Agustus 2006, Dr. Luis Felipe Gonzales menjelaskan pengalaman ICAP
–7–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang berhasil melakukan tes PCR untuk mendiagnosis bayi lebih dini, menyediakan garis besar langkah-
langkah yang diperlukan untuk membentuk jaringan diagnosis bayi.56
Seperti di Botswana, program Rwanda memakai kit alat tes Roche Amplicor 1,5 untuk memisahkan DNA
dari contoh DBS. Setelah menganalisis hasil dari 345 contoh, para peneliti menemukan bahwa tes
tersebut memiliki sensitivitas yang baik (98,02%) dan spesifisitas (100%), dan sangat baik dibandingkan
dengan contoh darah. Mereka hanya menemukan satu hasil contoh negatif palsu.
Temuan yang menarik dari program Rwanda adalah bahwa tantangan utama untuk memperluas diagnosis
bayi lebih dini adalah bukan melakukan tes PCR di tingkat laboratorium tetapi memastikan bahwa anak
tersebut ditindaklanjuti secara benar di tingkat klinik. Para peneliti menemukan bahwa setiap klinik
membutuhkan satu orang, biasanya seorang perawat, yang bertugas memandu keluarga menjalani
prosedur tes HIV serta perwatan dan pengobatan selanjutnya. Hal ini termasuk tugas lain misalnya
mengambil contoh DBS bayi, mengepak dan mengirim DBS ke laboratorium pusat, memastikan bahwa
klinik menerima hasilnya, mencatat hasil di rekam medis anak, dan mengambil keputusan klinis
berdasarkan hasil dan protokol klinik.56
Tantangan memakai contoh DBS untuk mendiagnosis HIV lebih dini pada bayi
Para peneliti yang memakai DBS untuk tes PCR di rangkaian miskin sumber daya menghadapi beberapa
tantangan, termasuk kesulitan menyimpan kertas filter secara benar, kesalahan dalam etiket contoh darah,
masalah pengiriman contoh kertas filter, hasil tes yang telat apabila contoh DBS dikirim ke laboratorium
pusat, tidak ada pengendalian mutu, dan pencemaran silang pada contoh. Banyak dari masalah ini khusus
pada semua teknik PCR. Tetapi, sejauh ini kendala terbesar memakai PCR dengan contoh DBS untuk
mendiagnosis HIV lebih dini pada bayi adalah biaya tes PCR, yang rata-rata 10 hingga 15 dolar AS pada
2005.57 Sebaliknya, tes antibodi secara cepat saat ini tersedia di AS dengan harga dua hingga empat dolar
AS per tes.
Demikian, seperti ditunjukkan oleh pengalaman di Rwanda, kehadiran petugas layanan kesehatan di
tingkat klinik yang dilatih untuk mengambil contoh dan memantau anak adalah penting untuk
menerapkan diagnosis HIV lebih dini pada bayi karena pengembangan laboratorium pusat. Perlu dicatat
bahwa di banyak negara, hanya teknisi laboratorium yang berwenang untuk mengambil darah.
Pembatasan ini terus membatasi kemampuan program untuk meningkatkan layanan diagnostik dan
pemantauan HIV untuk anak dan orang dewasa .
Secara ringkas, walaupun PCR HIV DBS menjanjikan, tanpa penyederhanaan prosedur, pengurangan
biaya reagen dan peralatan PCR, serta kelanjutan upaya peningkatan jumlah petugas layanan kesehatan
yang terlatih dan di pusat layanan kesehatan, potensi yang dapat dihasilkan oleh metode ini untuk
meningkatkan akses diagnosis HIV lebih dini pada bayi secara bermakna adalah terbatas.
Saran umum untuk meningkatkan tes virologi untuk diagnosis HIV lebih dini pada bayi58
• Karena bayi yang terinfeksi HIV sejak dalam kandungan menghadapi risiko kematian, dan karena
ART pediatrik semakin tersedia, program PMTCT nasional di negara miskin sumber daya harus
membangun kapasitas untuk menyediakan tes virologi HIV untuk bayi.
• Tes antibodi yang cocok untuk mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa tidak dapat diandalkan
untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Tetapi, tes antibodi dapat dipakai
untuk melakukan skrining pada anak yang membutuhkan tes virologi lanjutan. Rancangan pedoman
WHO menganjurkan skrining dilakukan pada anak saat berusia s
antibodi ibu mungkin sudah hilang.21
• Tes virologi pada bayi yang terpajan HIV harus dilakukan pada usia enam minggu. Tes pada usia ini
memberi sensitivitas yang baik (>98%) dengan berbagai metode PCR dan akan mengenali sebagian
besar bayi yang terinfeksi dalam kandungan dan persalinan. Ini adalah bayi yang paling berisiko
terhadap pengembangn penyakit secara cepat dan yang paling membutuhkan perawatan dan
pengobatan secara mendesak.
• Bila dimungkinkan, hasil PCR yang harus dikonfirmasi dengan contoh yang sama, atau bila
dimungkinkan contoh kedua diambil 1-2 minggu setelah yang pertama.
• Keputusan mengenai waktu tes dan tes ulang sebagian harus berdasarkan kegiatan penyusuan yang
biasa di wilayah tertentu. Risiko tertular HIV dari ibu berlanjut selama masa penyusuan, dan anak
–8–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
yang disusui yang mempunyai hasil negatif pada tes pertamanya perlu dites ulang enam minggu
setelah masa penyusuan berakhir.

Kondisi klinis bayi harus dipertimbangkan waktu menafsirkan hasil tes virologi dan antibodi.

Tata cara tes HIV harus mencakup anak yang tidak datang ke program melalui kegiatan PMTCT tetapi
yang datang ke pusat perawatan kesehatan dengan tanda dan gejala infeksi HIV. Saat ini, ini adalah
cara menemukan kasus HIV pada anak secara besar-besaran. Tes antibodi secara cepat dapat
digunakan untuk melakukan skrining anak yang memerlukan tes virologi selanjutnya.

Perencana program PMTCT nasional harus bertujuan untuk mengembangkan kapasitas laboratorium
untuk melakuan tes virologi dengan memakai PCR DNA atau RNA HIV di tingkat pusat atau tersier.
Mereka harus mencoba mencapai penjangkauan secara nasional melalui pengembangan jaringan
laboratorium dan sistem rujukan.

Sensitivitas PCR DNA beragam berdasarkan tipe tes yang dipakai dan laboratorium yang melakuan
tes tersebut; program nasional harus dirancang untuk memastikan bahwa tes yang dipakai sensitif
terhadap subtipe virus yang prevalen di wilayah tertentu.

Program nasional harus memakai teknologi PCR yang mendukung penggunaan contoh DBS. Untuk
meningkatkan penghematan biaya, perencana program harus mempertimbangkan pemilihan dasar
PCR yang dapat dipakai untuk menilai penularan lain misalnya hepatitis B, hepatitis C, dan
mikobakteri tuberkulosis.
Karena biaya dan kerumitan teknologi, manajer laboratorium perlu merencanakan secara hati-hati untuk
jangka panjang sehubungan dengan pengembangan sistem prosedur pelaksanaan yang baku; rencana
penyediaan barang; pengiriman, penyimpanan, dan sistem penatalaksanaan persediaan; skema penilaian
mutu secara eksternal dan internal; pelatihan; dan struktur penatalaksanaan klinik. Perencana program
harus memperkirakan secara hati-hati jumlah bayi yang memerlukan tes sehingga dapat memilih
peralatan tes yang paling efisien dan untuk memastikan bahwa peralatan ini tidak mengganggur untuk
jangka waktu yang lama.
Faktor untuk dipertimbangkan saat memilih teknologi PCR:

Pembelian alat yang diperlukan

Ketersediaan dan biaya peralatan dan reagen secara komersial

Perkiraan jumlah tes dari daerah geografis tertentu

Perkiraan jumlah contoh darah yang harus diproses

Tempat penyimpanan dan pengiriman contoh darah

Jaminan mutu laboratorium secata terus-menerus

Ketersediaan layanan dan perawatan serta suku cadang untuk peralatan

Pengumpulan dan proses contoh darah (termasuk contoh DBS ke dalam mesin)

Kebutuhan peralatan lain (mis. persiapan contoh secara otomatis, tindikan DBS, mesin
pemisah/centrifuge)
• Tipe dan subtipe virus
• Pelatihan dan ketersediaan staf laboratorium
• Penggunaan alat untuk keperluan lain (mis, diagnosis kondisi lain atau pemantauan ART)
Sumber: World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children. Guidance note for development of round 6 GFTAM
proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for selection of technology for early diagnosis of HIV in
infants in resource-limited settings.
Ringkasan
Walaupun metodologi PCR berpotensi, biayanya tetap tidak terjangkau di negara miskin sumber daya.
Tambahan penurunan biaya teknologi PCR, program untuk hibah persediaan dan peralatan, dan
pengalihan hak kemilikan intelektual kepada perusahaan obat generik (sebagaimana dengan obat
bermerek) akan sangat membantu fasilitasi penerapan diagnosis HIV lebih dini pada bayi secara murah.
Diagnosis HIV yang murah pada bayi dan ketersediaan ART pediatrik terkait erat. Diagnosis HIV yang
lebih dini memberi dampak lebih besar terhadap hasil kesehatan masyarakat lebih berdampak besar
terhadap hasil kesehatan masyarakat dan pengeluaran bila digabungkan dengan kemajuan akses pada
ART. Advokasi yang berhasil menurunkan harga obat bermerek untuk orang dewasa secara luas dan anak
–9–
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
mungkin juga efektif untuk menurunkan biaya diagnosis HIV melalui penafsiran undang-undang hak
kemilikan intelektual secara lebih terbuka apabila menghadapi penyakit yang mengancam jiwa contohnya
HIV. Inovasi pendekatan baru diperlukan apabila biaya tes diagnostik saat ini tidak dapat dikurangi.
Sebagaimana Aledort dkk menyatakan, “Ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan dan
menerapkan tes HIV baru yang mudah dipakai, yang dapat mengubah penatalaksanaan HIV/AIDS
pediatrik di negara berkembang dan menyelamatkan jutaan kematian bayi.”11
Referensi
1.
World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants:
Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AIDS and their Children in Resource-
Constrained Settings. Geneva: World Health Organization . July 2004.
2.
UNAIDS. Global summary of the AIDS epidemic . December 2006.
3.
UNAIDS, WHO. 2006 Report on the Global AIDS Epidemic . May 2006.
4.
Newell ML, Coovadia H, Cortina-Borja M et al. Mortality of infected and uninfected infants born to HIV-infected mothers
in Africa: a pooled analysis . Lancet 2004; 364 (9441):1236-43.
5.
Mofenson LM. Technical report: perinatal human immunodeficiency virus testing and prevention of transmission.
Committee on Pediatric Aids . Pediatrics 2000; 106 (6):E88.
6.
Nielsen K, Bryson YJ. Diagnosis of HIV infection in children . Pediatr Clin North Am 2000; 47 (1):39-63.
7.
Bishai D, Mirchandani G, Pariyo G et al. The cost of quality improvements due to integrated management of childhood
illness (IMCI) in Uganda . Health Econ 2007.
8.
World Health Organization, United Nations Children’s Fund. Integrated Management of Childhood Illness Complementary
Course on HIV/AIDS . Geneva: World Health Organization; January 2006.
9.
Jones SA, Sherman GG, Coovadia AH. Can clinical algorithms deliver an accurate diagnosis of HIV infection in infancy?
Bull World Health Organ. 2005 Jul;83(7):559-60.
10.
Horwood C, Liebeschuetz S, Blaauw D, et al. Diagnosis of paediatric HIV infection in a primary health care setting with a
clinical algorithm . Bull World Health Organ. 2003;81(12):858-66. Epub 2004 Mar 1.
11.
Aledort JE, Ronald A, Le Blancq SM et al. Reducing the burden of HIV/AIDS in infants: the contribution of improved
diagnostics . Nature 2006; 444 Suppl 1:19-28.
12.
UNAIDS, UNICEF, WHO. Children and AIDS: A Stocktaking Report . Geneva: UNCIEF; January 2007.
13.
Stiehm ER. Fetal defense mechanisms . Am J Dis Child 1975; 129 (4):438-43.
14.
Stiehm ER, Fudenberg HH. Serum levels of immune globulins in health and disease: a survey . Pediatrics 1966b; 37
(5):715-27.
15.
Kline MW, Shearer WT. Active and Passive Immunization in the Prevention of Infectious Diseases. In: Stiehm ER, ed.
Immunologic Disorders in Infants and Children. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1996: 916-55.
16.
Ammann AJ, Wara DW. Evaluation of infants and children with recurrent infection . Curr Probl Pediatr 1975; 5 (11):3-47.
17.
Stiehm ER, Ammann AJ, Cherry JD. Elevated cord macroglobulins in the diagnosis of intrauterine infections . N Engl J
Med 1966a; 275 (18):971-7.
18.
Sarngadharan MG, Popovic M, Bruch L et al. Antibodies reactive with human T-lymphotropic retroviruses (HTLV-III) in
the serum of patients with AIDS . Science 1984; 224 (4648):506-8.
19.
Weiblen BJ, Lee FK, Cooper ER et al. Early diagnosis of HIV infection in infants by detection of IgA HIV antibodies .
Lancet 1990; 335 (8696):988-90.
20.
Landesman S, Weiblen B, Mendez H et al. Clinical utility of HIV-IgA immunoblot assay in the early diagnosis of perinatal
HIV infection . Jama 1991; 266 (24):3443-6.
21.
World Health Organizaiton. Recommendations on the Diagnosis of HIV Infection in Infants and Children: Draft for Public
Review—Version 6. July 2006.
22.
Daar ES, Moudgil T, Meyer RD et al. Transient high levels of viremia in patients with primary human immunodeficiency
virus type 1 infection . N Engl J Med 1991; 324 (14):961-4.
23.
Ho DD, Moudgil T, Alam M. Quantitation of human immunodeficiency virus type 1 in the blood of infected persons . N
Engl J Med 1989; 321 (24):1621-5.
24.
Jackson JB, Coombs RW, Sannerud K et al. Rapid and sensitive viral cu
type 1 . J Clin Microbiol 1988; 26 (7):1416-8.
25.
Sherman GG, Stevens G, Stevens WS. Affordable diagnosis of human immunodeficiency virus infection in infants by p24
antigen detection . Pediatr Infect Dis J. 2004 Feb;23(2):173-6.
26.
Elyanu P, Fiscus S, Ndeezi G, et al. Evaluation of ultrasensitive p24 antigen assay as an HIV diagnostic method among
HIV-exposed children attending Mulago Hospital . In: Program and abstracts of the 14th Conference on Retroviruses and
Opportunistic Infections; February 25-28, 2007; Los Angeles. Abstract 669.
27.
Schupbach J, Boni J, Bisset LR, et al. HIV-1 p24 antigen is a significant inverse correlate of CD4 T-cell change in patients
with suppressed viremia under long-term antiretroviral therapy . 2003 Jul 1;33(3):292-9.
– 10 –
Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV
28.
Zijenah LS, Tobaiwa O, Rusakaniko S, et al. Signal-boosted qualitative ultrasensitive p24 antigen assay for diagnosis of
subtype C HIV-1 infection in infants under the age of 2 years . J Acquir Immune Defic SynDr. 2005 Aug 1;39(4):391-4.
29.
Knuchel MC, Tomasik Z, Speck RF, et al. Ultrasensitive quantitative HIV-1 p24 antigen assay adapted to dried plasma
spots to improve treatment monitoring in low-resource settings . J Clin Virol. 2006 May;36(1):64-7. Epub 2006 Jan 23
30.
Knuchel MC, Jullu B, Shah C, et al. Adaptation of the ultrasensitive HIV-1 p24 antigen assay to dried blood spot testing . J
Acquir Immune Defic SynDr. 2007 Mar 1;44(3):247-53.
31.
Engelbrecht S, van Rensburg EJ. Detection of southern African human immunodeficiency virus type 1 subtypes by
polymerase chain reaction: evaluation of different primer pairs and conditions . J Virol Methods 1995; 55 (3):391-400.
32.
Engelbrecht S, Smith TL, Kasper P, et al. HIV type 1 V3 domain serotyping and genotyping in Gauteng, Mpumalanga,
KwaZulu-Natal, and Western Cape Provinces of South Africa . AIDS Res Hum Retroviruses 1999; 15 (4):325-8.
33.
Krivine A, Yakudima A, Le May M, et al. A comparative study of virus isolation, polymerase chain reaction, and antigen
detection in children of mothers infected with human immunodeficiency virus . J Pediatr 1990; 116 (3):372-6.
34.
Delamare C, Burgard M, Mayaux MJ, et al. HIV-1 RNA detection in plasma for the diagnosis of infection in neonates. The
French Pediatric HIV Infection Study Group . J Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1997; 15 (2):121-5.
35.
Dunn DT, Brandt CD, Krivine A, et al. The sensitivity of HIV-1 DNA polymerase chain reaction in the neonatal period
and the relative contributions of intra-uterine and intra-partum transmission . Aids 1995; 9 (9):F7-11.
36.
Simonds RJ, Brown TM, Thea DM, et al. Sensitivity and specificity of a qualitative RNA detection assay to diagnose HIV
infection in young infants. Perinatal AIDS Collaborative Transmission Study . Aids 1998; 12 (12):1545-9.
37.
Beck IA, Drennan KD, Melvin AJ, et al. Simple, sensitive, and specific detection of human immunodeficiency virus type 1
subtype B DNA in dried blood samples for diagnosis in infants in the field . J Clin Microbiol. 2001 Jan;39(1):29-33.
38.
Fischer A, Lejczak C, Lambert C, et al. Simple DNA extraction method for dried blood spots and comparison of two PCR
assays for diagnosis of vertical human immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda . J Clin Microbiol. 2004
Jan;42(1):16-20.
39.
Bremer JW, Lew JF, Cooper E, et al. Diagnosis of infection with human immunodeficiency virus type 1 by a DNA
polymerase chain reaction assay among infants enrolled in the Women and Infants’ Transmission Study . J Pediatr 1996;
129 (2):198-207.
40.
Comeau AM, Pitt J, Hillyer GV, et al. Early detection of human immunodeficiency virus on dried blood spot specimens:
sensitivity across serial specimens. Women and Infants Transmission Study Group . J Pediatr 1996; 129 (1):111-8.
41.
Burgard M, Mayaux MJ, Blanche S, et al. The use of viral culture and p24 antigen testing to diagnose human
immunodeficiency virus infection in neonates. The HIV Infection in Newborns French Collaborative Study Group . N Engl
J Med 1992; 327 (17):1192-7.
42.
Lyamuya E, Bredberg-Raden U, Massawe A, et al. Performance of a modified HIV-1 p24 antigen assay for early diagnosis
of HIV-1 infection in infants and prediction of mother-to-infant transmission of HIV-1 in Dar es Salaam, Tanzania . J
Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1996; 12 (4):421-6.
43.
Schupbach J. Measurement of HIV-1 p24 antigen by signal-amplification-boosted ELISA of heat-denatured plasma is a
simple and inexpensive alternative to tests for viral RNA . AIDS Rev 2002; 4 (2):83-92.
44.
Biggar RJ, Miley W, Miotti P, et al. Blood collection on filter paper: a practical approach to sample collection for studies
of perinatal HIV transmission . J Acquir Immune Defic SynDr. Hum Retrovirol 1997; 14 (4):368-73.
45.
Botswana Ministry of Health and BOTUSA Release Findings: Use of Dried Blood Spots for Early Infant Diagnosis of
HIV: Results from a Pilot Study in Botswana . Gaborone, Botswana: Public Affairs Section, Embassy of the United States;
February 24, 2006.
46.
Creek T. Successful introduction of Infant Dried Blood Spot (DBS) PCR Testing in Botswana’s PMTCT Program .
Pediatric HIV Diagnosis and Laboratory Monitoring Working Group Meeting. The Forum for Collaborative HIV
Research. February 6, 2006; Denver.
47.
Gonzales LP. Optimising identification of infected children: Approaches for different settings . In: Program and abstracts
of the XIV International AIDS Conference; August 13-18, 2006; Toronto. Presentation WESY0101.
48.
World Health Organization, United Nations Children’s Fund, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS),
Medecins Sans Frontieres . Sources and Prices of Selected Medicines and Diagnostics for People Living with HIV/AIDS:
June 2005 Report. June 2005.
49.
World Health Organization. Early detection of HIV infection in infants and children . Guidance note for development of
round 6 GFTAM proposals and the Technical Review Panel to direct gap analysis and consideration of options for
selection of technology for early diagnosis of HIV in infants in resource-limited settings.
Artikel asli: Early Diagnosis of HIV Infection in HIV-Exposed Infants: Can Complexity and Cost Be
Overcome in Resource-Poor Settings? http://www.womenchildrenhiv.org/wchiv?page=tp-02-07
– 11 –

manifestasi

Konsep Dasar
I. Pengertian
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

II. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks. 5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
IV. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- Hematokrit.
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobulin

V. Penatalaksanaan

Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian.
1. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
11. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
Daftar Pustaka

Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

patogenesis

HIV AIDS
Diposkan oleh VENI WULANDARI di 05:31
Etiologi
Virus HIV termasuk Retrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain. (Zulkifli. 2004)

Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anonim, 2007)

Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis. (Zulkifli, 2004)
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu :
• Demam
• Kelemahan
• Nyeri sendi I
• Nyeri tenggorok
• Pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
• Lupa ingatan
• Kesadaran menurun
• Perubahan Kepribadian
• Gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak
• Kelumpuhan
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum. (Anonim, 2007)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV. (Anonim, 2007)

Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)
TOTAL PEMBACA ARTIKEL INI: 130 PEMBACA

salam

Assalamu’alaikum

Plenary Discussion memang belum dimulai namun tidak ada salahnya jika mencoba membahas apa yang terjadi dalam scenario tersebut. Saya yakin setelah membaca uraian berikut tentunya ada perbedaan dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan lebih lanjut . Karena memang saran dan bimbinganlah yang saya harapkan.

Berikut data yang didapat dari scenario yang ada :

DATA YANG DI DAPAT

===================================================================

Problems List Of Chief Complains And Present Illness

¢ Beberapa tahun yang lalu dia mengunjungi Afrika & Madagaskar

¢ Kembali Ke USA dengan keluhan Myalgia dan Malaise (1 Month before admission)

¢ Stool Analysis à Entamoeba Histolica dan Hookworm

¢ Diobati dengan Mebendazole dan Metronidazole (1 week before admission)

¢ Timbul Gejala seperti Flu dan demam

¢ Leher terasa kaku, sakit kepala, bingung dan Vivid nightmares (3 days before admission)

Riwayat Penyakit Dulu

¢ 6 bulan ketika diafrika melakukan aktivitas seksual dengan 4 partners.

¢ Tidak memakai kondom

¢ 2 bulan mengalami 1 episode gonococcal urethritis

¢ 3 bulan yg lalu tes HIV namun hasilnya negative

¢ Vital Sign :

Tekanan darah : 105/76 mmHg

Nadi : 75 kali/menit

Respirasi : 16 kali/menit

¢ Pemeriksaan Funduscopic à Normal

¢ Pada ekstrimitas à maculopapular rash

¢ CBC à Normal

¢ CD4 = 410 cell/[mm.sup.3]

¢ CD8 = 490 cell/[mm.sup.3]

¢ Tes Serologic untuk syphilis, Epstein-Barr Virus dan HIV à Negative

¢ P24 antigen à 5100 pg/mL

¢ HIV RNA à 3,6 million copies/mL

Perkembangan Selanjutnya

¢ Pada hari kelima perawatan di Rumah sakit mengalami keluhan : Sakit kepala, penglihatan mulai kabur.

¢ Semua pengkulturan negative

¢ Pasien dipindahkan ke Klinik pasient HIV

¢ Tidak ditemukan p24 pada plasma

¢ HIV RNA à 3000 copies/mL

¢ CD4 = 650 cell/[mm.sup.3]

¢ Dilakukan tes serologic HIV ulang à ditemukan gp120, gp160

¢ Setelah satu tahun kemudian à Asymptomatic

APA YANG TERJADI PADA PASIEN?

===================================================================

Berdasarkan data tersebut cukup jelas untuk menjawab pertanyaan diatas bahwa pasien terkena HIV+. Apakah pasien sudah menderita AIDS? Jawabannya adalah belum karena memang HIV dan AIDS itu berbeda. HIV (Human Immunodefisiensi Virus) adalah nama sebuah virus yang menyebabkan AIDS namun orang yang terkena HIV+ belum tentu akan menderita AIDS. Pasien HIV+ baru akan dikatakan menderita AIDS jika telah terjadi infeksi opportunistic dan tumbuhnya sel-sel tumor seperti Sarcoma Kapossi dan Cervical carcinoma serta infeksi-infeksi oleh mikroorganisme lainnya dikarenakan sistem imun/polisi tubuh kita telah lemah oleh HIV sehingga memberikan kesempatan bagi mikroorganisme pathogen lainnya berkembang biak menjarah supermarket tubuh kita.

APA BUKTI PASIEN TERKENA HIV?

Mari kita mulai dengan Afrika. Afrika dipercaya sebagai tempat asal dari virus mengerikan ini dan memang dalam perkembanganya penderita HIV/AIDS ditempat tersebut menunjukan angka yang sangat besar bahkan tertinggi didunia.

Namun tidak sampai disitu karena tak logis jika kita menganggap dengan mengunjungi Afrika maka kita akan terkena HIV/AIDS. Sungguh mengerikan sekali jika hal tersebut terjadi, mungkin Afrika akan menjadi benua yang kosong atau bahkan seperti sebuah tempat dalam cerita “Residence Evil”. HIV dapat menginfeksi seseorang melalui transfer cairan tubuh (Virus bebas) terutama cairan dari organ reproduksi seperti sprema dan cairan vaginal cairan lain yang dipercaya mengandung kuman HIV adalah darah dan air susu.

HIV menular melalui :

n Hubungan Sexual (Semen dan Cairan vaginal)

n Darah (Transfusi)

n Jarum Suntik Yang Terkontaminasi

n Air susu

Bagaimana dengan bersalaman, berpelukan, berciuman, batuk, bersin, air mata, memakan peralatan rumah tangga, gigitan nyamuk, mandi dan berenang bukankah mereka mengandung cairan tubuh seperti saliva saat berciuman atau keringat pada pakaian atau bahkan darah penderita HIV yang dibawa oleh nyamuk?

Memang benar bahwa saliva merupakan salah satu cairan tubuh yang mengandung virus HIV namun dalam kadar yang tidak mampu menginfeksi orang dengan kondisi system imun yang normal begitupula halnya dengan air mata. Virus ini mampu menginfeksi sel apa saja yang memiliki reseptor CD4 dan mungkin co-receptor tertentu seperti CXCR4 pada sel T dan CCR5 pada macrofag, mungkin hal ini yang menyebabkan bahwa gigitan nyamuk tidak mampu sebagai media penularan HIV/AIDS karena memang nyamuk bukan hotel yang nyaman untuk virus ini. Bagaimana jika karena hal tertentu dikemudian hari nyamuk menjadi hotel mewah dengan fasilitas yang lengkap untuk HIV? Tak bisa dibayangkan bahwa dengan malaria dan demam berdarah kita sudah cukup kecolongan apalagi virus mengerikan ini!!

Mari kita kembali ke scenario. Cukup jelas bukan! Bahwa pasien ketika di Afrika melakukan hubungan sexual dengan 4 partner (Bisexual~Homosexual & heterosexual) tanpa menggunakan kondom. Terlebih ditemukan laporan bahwa pasien menderita gonococcal urethritis yang merupakan Sexually Transmitted Infection atau dalam istilah Indonesia adalah PMS (Penyakit Menular Seksual) sama seperti halnya HIV. Dalam kaitannya dengan infeksi HIV/AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi PMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV/AIDS dan banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Dari sisi lain kita dapat menambahkan bukti yaitu ditemukannya ruam-ruam maculopapular pada ekstremitas, sakit kepala, demam, malaise, bingung, myalgia yang memang merupakan tanda dari infeksi akut HIV . Andrew H. Lichtman dalam bukunya “Cellular and Molecular Immunology International Edition” menunjukan sebuah tabel memuat fase-fase dan manifestasi klinis penderita HIV dimana pada fase akut memang mununjukan gejala seperti yang saya sampaikan tadi.

Perhitungan terhadap perbandingan CD4 dan CD8 dapat dijadikan bukti tambahan bahwa pasien benar-benar sudah terinfeksi HIV. Mari kita buktikan :

CD4 = 410 cell/[mm.sup.3]

CD8 = 490 cell/[mm.sup.3]

Jadi CD4 : CD8 à 410 : 490 = 0,4

Kathryn L. McCance dalam bukunya “Pathophysiology The Biologic For Disease in Adults and Children” menyatakan bahwa nilai normal perbandingan CD4 dan CD8 sekitar 1,9. Jadi cukuplah jelas bahwa pasien terinfeksi HIV+. Namun jika kita mengangkat perbandingan ini sebagai tanda pasien positif HIV tentunya akan timbul pertanyaan apakah perbandingan ini digunakan sebagai tanda seseorang terinfeksi HIV ataukah sudah menderita AIDS?

Jika memang pasien tersebut menderita HIV+ kenapa tes HIV menunjukan hasil yang negative? Pertanyaan ini dapat dilontarkan dan dijawab jika tes HIV yang dilakukan adalah untuk melihat anti body terhadap HIV pada pasien tersebut. Karena memang antibody untuk HIV baru dapat muncul setelah + 2-6 bulan sejak terinfeksi virus. Satu hal yang pasti bahwa telah ditemukan p24 pada serum yang tak lain merupakan protein inti dari HIV.

Tapi tenang saja karena kita sudah mendapat bantuan dalam akhir scenario tercatat setelah dilakukan tes serologic ulang ternyata ditemukan gp120 dan gp 160. Molekul Glicoprotein dengan berat molekul 120 kD dan 160 kD merupakan molecul membrane HIV yang kelak berikatan dengan reseptor CD4 pada sel target khususnya gp120.

Jadi pasien memang sudah terinfeksi HIV+.

APA BENAR PASIEN BELUM MENDERITA AIDS?

Di awal saya jelaskan bahwa pasien belum menderita AIDS namun sudah terinfeksi HIV. Apakah saya bercanda dengan pernyataan tersebut? Bukankah setelah pemeriksaan feses ditemukan Hookworm dan Entamoeba Histolica yang sepintas menunjukan bahwa mereka merupakan infeksi opportunistic dimana infeksi ini merupakan salah satu tanda beralihnya gelar “Pasien dengan HIV” menjadi “Penderita AIDS”! Dengan cekatan dalam scenario sang dokter memberikan Mebendazol guna menghambat sintesis mikrotubulus nematode (Hookworm), sehingga mengganggu ambilan glukosa yang ireversibel dan akhirnya mati sedangkan Metronidazole digunakan untuk pengobatan amubiasis ekstraluminal atau pada dinding usus dan jaringan lain dengan bekerja pada tropozoit entamoeba histolyca namun tidak efektif pada stadium kistae. Cukup membingungkan memang tapi mari kita lihat pada kamus tercinta Dorland ; opportunistic menunjukan micro-organisme yang tidak biasanya menyebabkan penyakit namun yang, dibawah keadaan tertentu (e.g. respon imun yang terganggu akibat penyakit lain atau terapy obat). Dapat diambil kesimpulan bahwa infeksi opportunistic merupakan infeksi oleh mikro-organisme yang secara normal tidak namun dikarenakan terjadi penurunan system imun misal oleh HIV maka mereka mampu menyebabkan infeksi. Berikut daftar infeksi opportunistic :

Infeksi Opportunistic Penderita HIV/AIDS :

¢ Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)

¢ Bacteria (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)

¢ Fungi (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, histoplasma capsulatum)

¢ Viruses (Cytomegalovirus, Herpes symplex, Vericella-Zooster)

¢ Tumors

- Lymphomas (inluding EBV-associated B Cell Lymphomas)

- Kaposi’s sarcoma

- cervical Carcinoma

¢ Encephalophaty

¢ Wasting Syndrome

Berdasarkan pernyataan tersebut tentulah kita sedikitnya mampu mengambil kesimpulan bahwa entamoeba histolyca dan hookworm bukanlah mikro-organisme penyebab infeksi opportunistic. Hal lain yang perlu disampaikan adalah bahwa untuk memasuki tahap AIDS, seseorang harus melewati dulu dengan apa yang dinamakan masa laten dimana tidak ditemukan adanya tanda dan gejala terinfeksi sejumlah virus. Pada akhir scenario menunjukan bahwa setelah pemeriksaan ulang tidak ditemukan p24 dalam serum dan kemudian pasien memasuki tahap dimana asymptomatic atau tanpa gejala. Hal ini tentunya lebih menguatkan lagi bahwa keadaan yang terkini (paling akhir) pasien dalam kondisi tanpa gejala dalam arti pasien telah memasuki masa laten dimana terjadi penurunan kadar CD4 yang progresif dan terjebaknya virus HIV didalam limfonodi sehingga kita tidak akan menemukan p24 didalam serum. Setelah ini timbul pertanyaan ; apakah sebenarnya kuadrat infeksi opportunistic itu? Apakah selalu fase penderita HIV harus memasuki masa laten? Apakah fase-fase tersebut selalu berurutan dalam artian “Infeksi akut à Masa laten à Infeksi Opportunistic”? pertanyaan tersebut timbul mengingat keadaan akhir pasien adalah telah memasuki masa laten serta hubungannya dengan Hookworm dan entamoeba histolyca atau barangkali ada yang mengikutsertakan gonococcal urethritis!

LALU APA YANG HARUS DILAKUKAN PASIEN?

Prognosis sebuah penyakit infeksi tidak terlepas dari tiga faktor yaitu antigen, keadaan imunitas tubuh kita dan kecerdasan antigen tersebut melawan sistem imun. Betapa tidak bahwa virus pintar ini melemahkan sekaligus menghancurkan badan intelegent dan militer kita. HIV menyerang sistem imun selluler yang merupakan tonggak sistem imun tubuh terutama sel T CD4. Kita tahu bahwa sel T CD4 memberikan komando kepada Macrofag dan sistem imun selluler lain serta membantu Sel B dalam pembentukan antibody. Dalam perkembangannya kelak terjadi penurunan jumlah sel T CD4 secara progresif yaitu ketika memasuki masa laten masa dimana tanpa gejala begitu halnya dengan status akhir pasien dalam scenario saat ini.

Dikarenakan pasien dalam masa laten maka hal yang sangat dianjurkan adalah hindari faktor penyebab infeksi agar tidak terkena infeksi opportunistik dan akhirnya menderita AIDS. Jika terkena infeksi maka sitokin yang dihasilkan pada waktu proses infeksi tersebut akan mengaktifkan sistem replikasi virus HIV yang tengah non-aktif (tidur lelap).

Pengobatan Dapat dibagi menjadi 3 :

¢ Mengobati Etiologynya ;

· % Entrance Inhibitor

· % Reverse Transcriptase Inhibitor~Zidovudin

· % Integrase Inhibitor

· % Protease Inhibitor

¢ Mengobati Infeksi Opportunisticnya

¢ Mengobati Status Defisiensi~Transplantasi sum2 dsb

Catatan :

¢ HIV BELUM TENTU AIDS

¢ AIDS BELUM ADA PENYEMBUHAN

¢ TAPI SUDAH ADA PENGOBATAN

SO à PREVENTIF LEBIH BAIK :

¢ IFN à Penyusun Fikir Dia Harapan Kita!!!

· Aktivasi NK dan CTL (CD8+)

· Aktivasi Makrofag serta sel Th1

· Aktivasi Neutrofil

· Aktivasi Complemen

· Respon terhadap Virus

· Menginduksi sel menjadi resisten terhadap virus

· # Ekspresi MHC-I dan MHC-II

· Lewat CD4+ à Sel B à Switching à IgG

· (-) Proliferasi Th2

Hal yang tak boleh dihiraukan adalah tetap hidup sehat karena dengan hidup bersih dan sehat maka dapat perpanjang masa ini (masa laten) :

¢ Berdoa dan berusaha

¢ Makan teratur & bergizi

¢ Kerja & istirahat seimbang

¢ Cuci tangan secara teratur

¢ Olahraga

¢ Tidur yang cukup

¢ Hindari rokok, narkoba, alkohol

¢ Jauhkan stres

¢ Jangan salahkan diri atau yang lain atas infeksi kita

¢ Ingat bahwa HIV belum tentu AIDS jadi jangan putus asa

Penderita yang memasuki tahap AIDS lebih banyak laki-laki dibanding Wanita tapi resiko terinfeksi cenderung lebih utama wanita dibanding laki-laki. Berdasarkan teori fenomena gunung es 1orang HIV positif sebenarnya mewakili 100 orang HIV positif yang belum terdeteksi tes darah/HIV di masyarakat.

KESIMPULAN

1. Pasien menderita HIV dan telah memasuki masa latennya

2. Pasien dengan HIV+ belum tentu akan menderita AIDS

3. Berciuman dan gigitan nyamuk bukan metode penularan HIV.

4. Entamoeba Histolyca dan hookwarm bukan infeksi opportunistic

5. Obati dengan zidovudin dkk.. serta berikan edukasi

6. Karena tengah dalam masa laten maka pasien harus menghindari faktor-faktor penyebab infeksi opportunistic.

7. Pencegahan lebih baik daripada mengobati

–lebih mudah

–lebih nyaman

–lebih murah

–lebih efektif

8. Mengendalikan penyakit•Pengendalian lebih baik dari pada pengobatan

Wassalamu’alaikum

20060310098

++++++++++++++++
See this post in context

HIV biasa

HIV & AIDS
HIV adalah kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus adalah jasad renik hidup yang amat kecil sehingga dapat lolos melalui saringan yang teramat halus atau ultra filter. HIV bentuknya seperti binatang bulu babi ( binatang laut ) yang berbulu tegak dan tajam. Orang yang mengidap HIV didalam tubuhnya disebut HIV + ( baca: HIV positif ) atau pengidap HIV. Orang yang telah terinfeksi HIV dalam beberapa tahun pertama ini belum menunjukan gejala apapun. Sehingga secara fisik bias saja kelihatan tidak berbeda dengan orang lain yang sehat. Namun dia mempunyai potensi sebagai sumber penularan, artinya dia dapat menularkan pada orang lain.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunedeficiency Syndrome. Syndrome yang bahasa Indonesia – nya adalah Sindroma, merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit. Deficiency dalam bahasa Indonesia berarti kekurangan. Immune berarti kekebalan, sedangkan “ Acquired” berarti diperoleh atau di dapat. Dalam hal ini, “diperoleh” mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS, sehingga AIDS dapat diartikan sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya/ menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan fase terminal ( akhir ) dari infeksi HIV.
Apakah sebenarnya yang terjadi ketika HIV masuk ke dalam tubuh ? Mengapa ia merusak sistem kekebalan tubuh dan bagaimana cara HIV merusaknya ?
Manusia dengan imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang sehat mampu memerangi infeksi dan bakteri karena adanya ‘serdadu – serdadu’ dalam tubuh yang mampu memerangi mereka. Serdadu – serdadu ini disebut sebagai sel darah putih. Mereka bekerja memerangi berbagai jenis infeksi dan benda – benda asing yang ditemuinya dalam tubuh agar seseorang tetap sehat. Cara kerja kerja sel darah putih adalah dengan memanggil bala bantuan serdadu lain (sel – sel tubuh) guna memerangi infeksi itu secara langsung, atau dengan memproduksi bahan kimia (antibodi) guna menetralisir benda - benda asing itu.
Menurut teori yang telah diterima secara meluas HIV menyerang sel darah putih (khususnya yang dinamakan CD4), si Pendekar dalam menjaga kekebalan tubuh manusia. CD4 adalah komandan yang mengatur pertahanan sistem kekebalan tubuh manusia karena kemampuannya yang baik untuk berkomunikasi dengan sel lain. Bila ada infeksi, maka CD4 sebagai komandan yang memberikan tugas pada sel – sel lain dalam tubuh untuk memerangi infeksi tersebut hingga tuntas. Kehadiran CD4 sangatlah dibutuhkan dalam menjaga kesehatan tubuh manusia. Karena, tubuh secara terus – menerus memproduksinya untuk membantu memerangi berbagai infeksi.
HIV masuk ke dalam tubuh dan menggunakan bahasa Cd4. Ia berkomunikasi dengan CD4 seolah – olah ia adalah salah satu bala tentara CD4. Namun, kemudian HIV menghasut molekul reseptor CD4 agar HIV agar HIV bias masuk ke dalam CD4. Setelah masuk, HIV lalu membajak peralatan genetika sel tersebut dengan diam – diam memasukan informasi genetikanya sendiri ke pabrik produksi sel CD4.
Akibatnya, CD4 bukan lagi memproduksi anggota brigade CD4 lannya, melainkan mulai memproduksi HIV secara massal. Brigade HIV yang baru diproduksi itu kemudian keluar dari CD4 dengan cara merobek membran sel CD4 sehingga CD4 menajadi mati dan rusak. Brigade HIV baru lalu ‘turun ke jalan’. Ke sistem darah manusia dan terus menipu serta merusak lebih banyak CD4 lainnya dalam tubuh.
Semakin banyak CD4 yang dibajak dan dirusak dan semakin banyak HIV yang diproduksi sebagai gantinya, maka semakin sedikt jumlah CD4 dalam tubuh kita, perlahan – lahan semakin lemah pula sistem kekebalan tubuh manusia terhadap infeksi dan benda – benda asing yang menyerang.
HIV memakan waktu lama sebelum menampakkan diri. Ia bersembunyi dalam CD4 dalam waktu yang cukup lama sebelum mulai dengan pesat memproduksi diri dalam jumlah banyak serta merusak CD4. Dengan cara bersembunyi dalam sel darah putih itu pulalah ia dapat menghindari serangan antibodi yang sudah beredar dalam darah dan yang berusaha membunuhnya. CD4 tidak dapat membunuh dirinya sendiri. Permainan petak umpet HIV yang licik ini berakhir ketika sudah cukupa banyak sela darah putih dalam tubuh manusia yang dirusaknya dan jumlah HIV dalam darah sudah cukup banyak untuk melumpuhkan kemampuan manusia untuk memerangi penyakit.
Penularan HIV akan terjadi bila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, yaitu :
a.Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV. Hubungan seksual ini bias homoseksual maupun heteroseksual.
b.Melalui tranfusi darah dan transpalasi organ yang tercemar oleh HIV. Tranfusi darah yang tercemar HIV secara langsung akan menularkan HIV ke dalam sistem peredaran darah dari si penerima.
c.Melaui alat/ jarum suntik atau alat tusuk lannya (akupuntur, tindik, tato) yang tercemar oleh HIV. Oleh sebab itu pemakaian jarum suntik secara bersama – sama oleh para pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV di antara mereka bila salah satu di antaranya seorang pengidap HIV.
d.Pemindahan dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya
Mengingat pola tranmisi HIV atau penularan HIV seperti disebutkan di atas ini, maka terdapat orang – orang yang memiliki perilaku resiko tinggi dalam terinfeksi HIV, yaitu :
Wanita dan laki – laki yang berganti - ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, dan pasangannya.
Wanita tuna susila dan pria tuna susila, seta pelanggannya.
Orang – orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti hubungan seks melalui dubur (anal)
Penyalahgunaan narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara bersama (bergantian)
Sebagaimana telah disebutkan, HIV mudah mati di luar tubuh manusia. Oleh sebab itu HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak sosial sehari – hari seperti :
1.Bersenggolan dengan pengidap HIV.
2.Berjabat tangan.
3.Bersentuhan dengan pakaian dan barang – barang lain bekas penderita AIDS.
4.Penderita AIDS bersin atau batuk – batuk di depan kita.
5.Berciuman biasa.
6.Melalui makanan dan minuman.
7.Sama – sama berenang di kolam renang.
8.Menggunakan WC yang sama dengan pengidap HIV.
9.Melalui gigitan nyamuk dan serangga lain.

Saat HIV sudah masuk ke dalam tubuh manusia, maka dimulailah massa inkubasi yang cukup lama, yaitu antara 15 – 10 tahun. Massa inkubasi dari suatu penyakit adalah massa antara masuknya suatu bibit penyakit kedalam tubuh (infeksi) samapai mulainya orang tersebut menunjukkan tanda – tanda dan gejala – gejala sakitnya.
Pada infeksi HIV, dari mulai masuknya HIV ke dalam tubuh sampai timbulnya gejala – gejala AIDS berlangsung cukup lama yaitu seperti telah disebutkan, antara 5 – 10 tahun. Selama 5 – 10 tahun ini orang tersebut disebut pengidap HIV, yang tampak dari luar seperti orang sehat lainnya, karena belum adanya gejala sakit apapun. Namun walaupum ia belum menunjukkan gejala sakit apapun, seorang pengidap HIV merupakan sumber penularan.
Selanjutnya setelah periode 5 – 10 tahun ini dilalui barulah timbul gejala – gejala AIDS. Dan orang tersebut disebut penderita AIDS. Gejala – gejala dan tanda – tanda sakit munculnya secara bertahap, bertambah lama bertambah berat samapai akhirnya penderita meninggal dunia.
Yang perlu diketahui pula dengan adanya infeksi atau masuknya HIV kedalam tubuh manusia adalah adanya periode jendela (Window Period). Yaitu massa dimana orang tersebut telah terinfeksi HIV, tetapi bila dilakukan pemeriksaan darahnya maka belum menunjukkan hasil apa – apa (masih negatif) yang berarti zat anti bodi terhadap HIV belum dapat terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium. Periode jendela ini biasanya berlangsung antara 3 – 6 bulan dari sejak mulainya infeksi. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa sejak masuknya HIV, seseorang telah menjadi pengidap HIV dan ia dapat menularkan HIV sepanjang hidupnya.
Sehingga walaupun dalam massa periode jendela, orang tersebut sudah menjadi sumber penularan. Ia dapat menularkan virusnya kepada orang lain pada setiap kesempatan dan memungkinkan terjadinya penularan itu.

Tahapan perkembangan perjalanan HIV secara umum bias dibagi dalam beberapa tingkat.
1.Tahapan Primer
HIV positif, seseorang positif terkena HIV, namun belum menunjukan gejala berarti. Gejala – gejalanya mirip flu sehingga sering terabaikan (pusing, lemas, agak demam, dan lain- lain). Ini terjadi 2 – 4 minggu setelah seseorang pertama kali terinfeksi (terkena) HIV. Atau, dengan kata lain, setelah HIV masuk tubuh untuk pertama kalinya.

2.Tahapan Asimptomatik atau Tanpa Gejala
Seseorang yang HIV positif tidak menunjukan gejala sama sekali. Perlahan - lahan jumlah CD4 dalam darah menurun. Kadang ada keluhan berkaitan dengan lymphadenopathy (pembengkakan di kelenjar getah bening, tempat sel darah putih diproduksi).

3.Tahapan Simptomatik atau Tanpa Bergejala
Seseorang yang sudah terkena HIV mengalami gejala – gejala ringan, namun tidak mengancam. Seperti, demam yang bertahan lebih dari sebulan, menurunnya berat badan lebih dari 10 %, diare selama sebulan (konsisten, atau terputus – putus), berkeringat di malam hari, batuk sebulan lebih, dan gejala kelelahan berkepanjangan (fatigue). Sering kali gejala – gejala dermatitis mulai muncul pada kulit, infeksi pada mulut (oral thrush, hairy leukoplakia) dimana lidah sering terlihat dilapiosi lapisan putih, herpes, dan lain – lainnya. Kehadiran satyu atau lebih tanda – tanda terakhir ini menunjukkan seseorang sudah berpindah dari tahap infeksi HIV menuju AIDS. Bila hitungan CD4 turun pesat menjadi sel/mm3, umumnya gejala menjadi kian parah sehingga membutuhkan perawatan yang lebih intensif.

4.Tahapan Akhir/ Fullblown
Pada tahapan ini, seseorang telah menunjukkan gejala – gejala penuh AIDS. Ini menyangkut tanda – tanda yang khas AIDS, yaitu adanya penyakit – penyakit opportunistic seperti Pneumocytis Carinii (PCP), Candidiasi, Kaposi’s sarcoma, Tuberculosi (TBC), berat badan menurun drastic, diare tanpa henti, dan lain – lain yang akibatnya fatal. Gangguan syaraf juga sering dilaporkan, di antaranya hilangnua ketajaman daya ingat dna timbulnya gejala gangguan mental (dementia), ditandai perubahan perilaku secara progesif (umumnya akibat encephalopathy). Disfungsi kognitif sering terjadi. Tanda awal diantaranya adalah tremor (gemetar tubuh) serta kelambaan dalam gerak. Hilangnya kemampuan melihat dan paraplegia (kelumpuhan kaki) bias timbul di tahapan akhir ini. Penyebab gangguan syaraf pada kasus AIDS di antaranya adalah Cytomegalovirus (CMV), taksoplasma otak, meningitis cryptococcal, lymphoma pada otak, dan lain – lain.

Perjalanan dan cepat lamanya perkembangan HIV seseorang sifatnya sangatlah individual. Setiap orang cenderung memiliki set gejala yang berlainan. Umumnya, pesatnya perkembangan penyakit dari HIV positif kearah Fullblown AIDS tergantung pada berbagai faktor, termasuk riwayat medis orang yang bersangkutan, status kekebalan tubuh atau immunitasnya (berapa hitungan CD4 sehat dalam tubuhnya), kehadiran infeksi lainnya, perawatan yang diperolehnya, dan lain – lainnya. Di samping itu, gizi dan kebersihan lingkungan hidupnya juga berpengaruh pada taraf kesehatannya secara umum. Polusi udara dan udara yang lembab tanpa ventilasi yang memadai, dapat dengan cepat menurunkan kesehatan paru – paru seseorang pengidap HIV. Pola makan yang kurang sehat dan gizi yang jurang memadai bisa membuat kesehatan seseorang yang HIV positif menurun dengan cepat.
Menurut WHO, awalnya diperkirakan hanya sebagian kecil dari mereka terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala AIDS. Namun, kini ditemukan bahwa sekitar 20% dari mereka yang HIV positif akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 5 tahun setelah terinfeksi dan 50% lainnya, dalam waktu 10 tahun setelah pertama kali tertular. Bila FullblownI, harapan bertahan menipis drastis.
Sebagaimana dapat dipahami dari keterangan di atas bahwa seorang individu bisa saja terkena HIV dan tidak menunjukkan gejala apapun (Asymptomatic) hingga waktu yang cukup lama (3 sampai 10 tahun). Karenanya, kita sering tidak mapu mendeteksi apakah seseorang itu HIV positif atau tidak hanya berdasarkan penampilan. Meskipun seseorang tidak menunjukkan gejala apapun, ia sudah dapat menularkan HIV pada orang lain. Seringkali, orang tersebut juga tidak menyadarinya dirinya sudah terkena HIV bila gejalanya belum tampak. Apalagi kita ! Lebih jauh lagi, meskipun ia sudah tahu dirinya HIV positif, ia mungkin tidak bias terbuka karena tidak yakin bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap hal tersebut.




G.Penyakit Opportunistik
Dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat rusaknya CD4, maka sesorang yang terkena HIV dengan mudah terserang penyakit apapun. Penyakit yang menyerang di saat sistem kekebalan tubuh manusia sedang rusak ini bisa disebut sebagai penyakit yang suka mencari kesempatan, alias penyakit opportunistic.
Penyakit Opportunistik (PO) ini bisa disebabkan oleh parasit, jamur, bakteri, virus ataupun lainnya. Contohnya adalah pneumocytis carinii (radang paru) dan toksoplasma yang disebabkan oleh parasit, jamur kandidiasis, bakteri tuberculosis, virus herpes simplex, kaposi’s sarcoma (kanker kulit khas), dan lain – lainnya. Perawatan dan pengobatan yang dilakukan bagi mereka yang terkena HIV terutama ditunjukan untuk mengendalikan penyakit – penyakit opportunistik.
Test HIV
1.Test Antibodi HIV
Tes HIV adalah suatu tes darah yang khusus dipakai untuk memastikan seseorang telah terinfeksi HIV atau tidak.
Manfaat dari tes ini adalah :
a.dapat membantu melindungi persediaan darah di bank darah. Adanya skrining darah donor untuk antibody HIV terbukti telah menurunkan secara drastic resiko penularan HIV melalui tranfusi darah.
b.Dapat menggambarkan besarnya masalah epidemi HIV/ AIDS di masyarakat.
c.Dapat mengetahui status HIV secara dini, sehingga dapat memberikan kesempatan pada orang tersebut untuk sesegera mungkin memulai pengobatan dan konseling.
2.Proses Test Antibodi HIV
Test HIV pada dasarnya menunjukkan apakah seseorang telah terinfeksi OLEH HIV atau tidak. Terjadinya infeksi HIV ini dapat dideteksi dengan mengetes adanya Zat anti atau disebut anti bodi terhadap HIV di dalam darah seseorang. Oleh sebab itu tes semacam ini secara lengkap disebut tes antibody HIV, walaupun kadang – kadang orang sering menyebut tes HIV saja. Tes jenis inilah yang umumnya sering dipakai untuk penjaringtan atau skrining darah donor sebelum darah diberikan. Di samping itu, terdapat juga tes untuk mengetahui adanya partikel virus atau HIV itu sendiri, atau disebut antigen, yang dilakukan untuk tujuan tertentu

Pelu diketahui , bila tubuh kita kemasukan suatu bibit penyakit, baik itu suatu bakteri, virus, atau lainnya (ini semua disebut antigen) maka tubuh kita akan membuat zat anti untuk melawan antigen tersebut. Zat nati ini disebut antibody, yang keberadaanya di dalam darah dapat dideteksi dengan pemeriksaan dengan menggunakan zat – zat tertentu (yang disebut reagensia). Tubuh membutuhkan wajtu tertentu untuk membentuk antibodi, yang kemudian dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium.

Pada infeksi HIV, adanya antibody yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium ini adalah setelah 3 sampai 6 bulan seseorang atau terpapar HIV.


sedangkan sebelum waktu ini, pemeriksaan darah tidak akan menunjukkan adanya antibody HIV. Walaupun pemeriksaan darahnya masih negative, namun orang tersebut sudah dapat menularkan NIV kepada orang lain.

3.Macam – Macam Tes untuk Mendeteksi Infeksi HIV
Saat ini, sudah tersedia beberapa jenis tes darah yang dapat membantu kita memastikan apakah seseorang yang meskipun tampaknya sehat dan gemuk – sudah terkena HIV. Beberapa tes darah yang tersedia saat ini diantaranya adalah :
a.ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay). Test tipe ini digunakan untuk mencari antibody yang ada dalam darah seseorang, termasuk HIV. Sifatnya sensitive dalam membaca kelainan darah.
b.Western Blot. Tipe tes yang juga melihat kehadiran antibody HIV. Tes ini lebih akurat, namun lebih mahal dibandingkan dengan ELISA. Tes ini dapat lebih spesifik dalam mendiagnosa kelainan dalam darah.
c.DIPSTICK HIV (En Te Be). Tipe tes ini adalah rapid tes yang murah dan pelaksanaannya cepat. Tes yang dikembangkan oleh Path ini sudah diproduksi di NTB, Indonesia. Sifatnya cukup sensitive dan spesifik dalam melihat kelainan dalam darah.
Cara lain selain dengan cara yang sering digunakan diatas ini adalah misalnya Immuno Fluorescent Assay (IFA), aglutinasi lateks, dan dot anzyme immunoassay (menggunakan kartu polysterene, dikenal denga cara Dipstik)
Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya antigen HIV adalah antara lain :
a.Pemeriksaan Antigen P24
Pemeriksaan ini digunakan untuk meramalkan/ memprediksi perjalanan penyakit. Peningkatan antigen P24 dalam tubuh seseorang berhubungan dengan memburuknya penyakit.
b.Cara Reaksi Rantai Polimerasi (Polymerase Chain reaction = PCR)
Tes cara ini hanya digunakan untuk kasus – kasus yang sulit dideteksi dengan tes antibody, misalnya bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap HIV perlu dibuat Diagnosis (penentuan penyakit) sedini mungkin supaya dapat diobati secepat mungkin. Sedangkan pemeriksaan dengan cara yang biasa digunakan (yang mendeteksi adanya zat anti/antibody HIV)akan menunjukkan hasil yang tidak tepat, karena adanya zat anti yang berasal dari ibunya. Oleh karena itu digunakanlah cara PCR ini.

1.Pencegahan untuk melindungi diri dari HIV dan AIDS
Perli kita ketahui bahwa pandemi AIDs merupakan suatu kedaan darurat. Yang dimaksud keadaan darurat adalah suatu keadaan gawat yang memerlukan tindakan segera dengan cara apa pun untuk mencegah perkembangannya ke arah kondisi yang lebih parah (fatal).

Kedaruratan pandemi AIDS terletak pada kemungkunan penularannya. Oleh karena sekali tertular belum ada obat atau vaksinnya. Berdasarkan hal itulah satu – satunya cara penanggulangan HIV dan AIDS ialah dengan mencegahnya. Pencegahan tentu harus dikaitkan dengan cara – cara penularan HIV. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan seseorang dalam mencegah tertularnmya HIV dan AIDS, seperti berikut.
a.Pencegahan Penularan Melalui Kontak Seksual.
Seperti telah kita ketahui, infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksua, sehingga pencegahan HIV dan AIDS perlu difokuskan pada masalah hubungan seksual.
Untuk itu kepada setiap orang perlu dilakuakan penyuluhan agar memiliki perilaku seksual yang aman dan bertanggung jawab, yaitu :
1.Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah.
2.Hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan semdiri, yaitu suami atau istri sendiri. Tidak mengadakan hubungan seksual diluar nikah.
3.Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual harus menggunakan kondom dengan benar.
Konsep pencegahan dikenal dengan istilah A B C (Abstinence, Be Faithfull, condom).
4.Mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubungan – hubungan seksual diluar nikah.
b.Pencegahan Penularan melalui Darah.
Penularan HIV melalui darah menuntut kita untuk berhati – hati dalam berbagai tindakan yang berhubungan dengan darah maupun produk darah dan plasma.
1.Transfusi Darah
Harus dipastikan bahwa darah yang digunakan untuk transfusi tidak tercemar HIV. Perlu dianjurkan pada seseorang yang HIV (+) atau mengidap virus HIV dalam darahnya, untuk tidak menjadi donor darah. Begitu pula mereka yang berperilaku resiko tinggi, misalnya sering melakukan hubungan seks dengan ganti – ganti pasangan.

2.Penggunaan Produk Darah dan Plasma
Sama halnya dengan darah yang digunakan untuk tranfusi, maka terhadap produk darah dan plasma (cairan darah) harus dipastikan tidak tercemar HIV.
3.Penggunaan Alat Suntik, dan Alat – Alat Lain yang Dapat Melukai Kulit
Pengunaan alat – alat seperti jarum, jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik, perlu memperhatikan masalah sterilisasinya. Tindakan desinfeksi dengan pemanasan atau larutan desinfektan merupakan tindakan yangsangat penting utnuk dialakukan

c.Pencegahan Penularan Dari Ibu kepada Anak.
Seorang ibu yang terinfeksi HIV, resiko penularan terhadap janin yang dikandungnya atau bayinya cukup besar, kemungkinan sebesar 30 – 40 %. Resiko itu akan semakin besar bila si ibu telah terkena atau menunjukkan gejala AIDS. Oleh karena itu, bagi ibu yang sudah terinfeksi HIV dianjurkan untuk mempertimbangkan kembali tentang kehamilan. Resiko bayi terinfeksi HIV melalui susu ibu sangat kecil, sehingga tetap dianjurkan bagi si ibu untuk tetap menyusukan bayi dengan ASI –nya.

Jika ibu berniat untuk memberikan ASI, maka:
Berikan ASI eklusif selama 6 bulan menggunakan cangkir atau sendok.
Setelah 6 bulan, hentikan ASI dan berikan makanan tambahan
d.Pencegahan Melalui Pendidikan Gaya Hidup.


nah temen2 marilah kita membudayakain sikap dan perilaku setia pada pasangan kita, sebagai upaya dalam menekan angka penyebaran HIV/AIDS, kami bersedia berdiskusi atau bertukar informasi ini kapan saja. atau bisa datang ke basecame kami di : Jl. Raya Banyuputih Sebelah timur SD N )! Banyuputih