United Airway Disease : Keterkaitan Penyakit Rinitis dan Asma pada Anak
Widodo Judarwanto
email : judarwanto@gmail.com,
www.childrenclinic.wordpress.com/
Pendahuluan
Dalam beberapa waktu terakhir ini, berbagai laporan ilmiah menunjukkan hubungan yang kuat antara penyakit alergi rinitis dan sakit asma. Meskipun merupakan organ target yang berbeda, penyakit asma dan alergi rinitis merupakan bagian dari penyakit saluran nafas yang hampir sama. Dengan menggunakan data epidemiologi dan penelitian secara imunopatofisiologi, hubungan antara kondisi penyakit inflamasi ini menjadi jelas. Penelitian memperlihatkan jumlah penderita asma yang juga menderita alergi rinitis lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penderita asma.
Dalam banyak kasus penderita didapatkan asma bersama-sama rhinitis, infeksi virus saluran napas bagian atas mendahului eksaserbasi asma, rinitis sebagai faktor risiko untuk asma dan infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan asma terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan asma dan rhinitis sehingga beberapa peneliti menyatakan keduanya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis atau United Airway Disease.
Dengan melakukan kajian ilmiah melalui analisa data epidemiologi serta memperhatikan latarbelakang faktor genetik, ternyata alergi rinitis dan asma berkaitan secara anatomi, fisiologis, imunopatologi, serta secara umum berkaitan dengan tatalaksananya.
Temuan itu dapat memperbaiki strategi penanganan penyakit alergi khususnya alergi rinitis dan asma. Bahwa sebenarnya penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan penanganan menyeluruh dan bersamaan. Selama ini penanganan penyakit alergi khususnya kedua penyakit tersebut seringkali terpisah-pisah. Penyakit alergi rinitis akan ditangani dan lebih didalami oleh klinisi praktis dalam minat Telinga Hidung Tenggorok, tanpa melihat kondisi kondisi asma yang menyertai. Demikian sebaliknya klinisi dalam minat paru anak akan mempelajari lebih mendalam dan menanganani asma seorang anak tanpa memperhatikan kondisi alergi rinitis yang menyertainya.
Asma dan Alergi Rinitis
Rinitis alergika merupakan penyakit saluran nafas yang sering dijumpai pada anak, disamping asma dan sinusitis. Sekitar 40% anak pernah mengalami rinitis alergika sampai usianya mencapai 6 tahun. Rinitis alergika merupakan penyakit yang didasari oleh proses inflamasi. Terdapat hubungan yang erat antara saluran nafas bagian atas dan bawah
Hubungan antara rinitis-sinusitis-asma telah lama diketahui sehingga dalam penanganannya pun selalu dikaitkan antara ketiganya. Pada pasien asma sering sekali timbul gejala rinitis seperti pilek (keluarnya cairan dari hidung), gatal, kadang-kadang tersumbat, dan terasa panas pada hidung. Beberapa peneliti berpendapat bahwa diagnosis rinitis alergika masih sering misdiagnosis sehingga berdampak pada kesalahan tatalaksannya. Penanganan yang baik pada rinitis alergika akan menurunkan gejala pada sinusitis dan asma.
Rinitis alergik dan asma sering dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit tersebut sering merupakan satu kesatuan. Penatalaksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis minat yang berbeda. Seorang spesialis paru anak yang menangani kasus asma sering menitikberatkan pada gejala sesak pasien dan sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah menanyakan keluhan asmanya padahal dalam praktek sangat banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma. Fakta tersebut di atas menunjang konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan banyak organ dan system tubuh. Sehingga sangatlah tepat kalau dikatakan alergi merupakan penyakit sistemik.
Perjalanan alamiah rinitis dan asma
Berberapa penelitian mengemukakan tentang perjalanan alamiah (allergy March) rinitis alergika dan asma. Sebuah tim peneliti mengamati perjalanan penyakit pada 903 anak balita yang diikuti selama 23 tahun. Setelah 23 tahun didapatkan hasil bahwa 10,6% menjadi asma dan 43% menjadi rinitis alergika. Dari penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa anak dengan rinitis alergika mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi dibanding non rinitis untuk menjadi asma. Peneliti lain meneliti pada 154 anak rinitis alergika berusia 3-17 tahun dan diikuti selama 10 tahun. Hasil penelitiannya adalah 15% bebas tanpa rinitis, 50 tetap, dan 20% berkembang menjadi asma. Sedangkan penelitian lainnya didapatkan hasil pada anak rinitis alergi yang mempunyai riwayat asma pada keluarganya 9,8 kali lebih tinggi dibanding pada anak rinitis tanpa riwayat asma pada keluarga.
Kaitan Epidemiologi
Dari suatu survei epidemiologi yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua penyakit tadi. Sedangkan penelitian terhadap 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%)
Penelitian epidemiologi lainnya menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 – 78% penderita asma dibandingkan yang hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik dapat dijumpai pada 19 – 38% penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.
Kaitan anatomi dan patofisiologi
Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya.
Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid.
Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempeng- aruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena : vaso- dilatasi, edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obs- truksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkus- nya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat ber- napas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obs- truksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.
Rinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya adalah blokade-atau blocking hidup, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.
Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet . Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas.
Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah.
Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada asma
Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma.
Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang.
Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.
Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol. Di antara penderita rinitis alergik musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita rinitis alergik musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rinitis alergik perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rinitis alergik musiman. Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rinitis merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rinitis untuk berkembang menjadi asma.
Kaitan Imunopatologis
Proses imunopatologi pada rinitis dan asthma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi.
Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung. Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar.
Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..
Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan rinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.
Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum dan setelah adanya rinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan lingkungan.
Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya.
Kaitan terapi
Dalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi secara tidak langsung memperkuat dugaan tersebut. Dua macam obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergik musiman dan perenial. Menurut penelitian perbaikan asma ini mungkin berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek langsung pada saluran napas bagian bawah. Penelitian lain mendukung temuan tersebut di atas dengan menunjukkan bahwa triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran napas bagian atas dan bawah terhadap pemajanan dengan alergen bulu kucing.
Beberapa ahli melakukan penelitian pengaruh beklometason intranasal pada penderita rinitis alergik musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus meningkat selama musim tepung sari pada penderita yang mendapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang men- dapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki terlalu sedikit, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun nilai-nilai spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan bahwa terapi profilaksis kortikosteroid intranasal dapat men- cegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari pada penderita rinitis yang disertai asma.
Studi lain melakukan pengamatan pada penderita rinitis perenial yang juga mempunyai asma. Setelah 4 minggu memakai budesonide intranasal terjadi perbaikan obstruksi hidung, pernapasan mulut berkurang di- banding dengan kontrol. Perbaikan fungsi hidung ini juga menurunkan gejala asma serta kejadian asma akibat kegiatan jasmani.
Histamin merupakan salah satu mediator yang penting pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjuk- kan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian atas. Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada asmadan efek sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistaminhistamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari kembali.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar yaitu 240-540 mg sehari. Sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa cetirizin 15-20 mg sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian anti- histamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperanpenting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik maupun asma.
Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel kapiler, yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua ber- manfaat pada rinitis yang disertai asma. Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembali
Sebuah penelitian mengamati pemberian terfenadin secara kon- tinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p< 0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003). Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok. Laporan terakhir tersebut menyatakan bahwa pemberian cetirizin jangka panjang tidak saja mengurangi gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah tetapi juga biaya pemakaian obat tambahan seperti pemakaian obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan pemakaian obat bila perlu.
Refleks naso-bronkial, terungkap dari beberapa penelitian yang membuktikan pemberian silikat di mukosa hidung manusia bukan penderita asma menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme bronkus yang terjadi pada pemberian silikat di hidung ternyata dapat dihambat dengan atropine dan reseksi saraf trigeminus kejadian tersebut mendukung peranan refleks kolinergik. Meskipun masih terdapat silang pendapat, Pada penelitian lain telah dlakukan uji provokasi histamin pada hidung penderita rinitis alergi dan asma yang stabil, ternyata didapatkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) lebih dari 10% pada 8 dari 12 penderita.
Cepatnya respons saluran napas bagian bawah menunjukkan adanya kemungkinan peranan refleks naso-bronkial. Tetapi penelitian Little dkk tidak menyokong peranan refleks naso-bronkial, karena dengan pemberian fenilefrin yang bukan anti-kolinergik, refleks naso-bronkial dapat dihambat.
Pernapasan mulut terjadi akibat hidung tersumbat oleh edem jaringan dan sekret. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan ter- jadinya serangan asma karena kegiatan jasmani
Perbaikan fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini karena udara yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan dulu sebelum mencapai bronkus. Alergen dan polutan akan tersaring di hidung. Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran napas bagian atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi post-nasal drip. Meskipun pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat meningkatkan reaktivitas saluran napas,
Sebuah penelitian pencitraan dengan bahan radioaktif membuktikan dengan zat radioaktif, tidak ada aspirasi cairan sinus ke dalam bronkus. Akibat reaksi alergi sangat mungkin terjadi absorbsi zat-zat mediator atau kemotaktik, sebelum akhirnya mencapai bronkus.Teori ini menyatakan bahwa pada penyakit atopi, termasuk di dalamnya asma dan rinitis, kepekaan reseptor sel-selnya menurun terhadap rangsangan adrenergik beta.
KESIMPULAN
* Dengan melakukan kajian ilmiah melalui analisa data epidemiologi serta memperhatikan latarbelakang faktor genetik, ternyata alergi rinitis dan asma berkaitan secara anatomi, fisiologis, imunopatologi, serta secara umum berkaitan dengan tatalaksananya.
* Meskipun demikian sampai sekarang belum jelas mekanisme hubungan rinitis alergik dan asma, padahal keduanya merupakan penyakit inflamasi.
* Keterkaitan alergi rinitis dan asma dapat menunjang penatalaksanaan penyakit alergi lebih menyeluruh dengan tidak memisah-misahkan bahwa penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik.
KEPUSTAKAAN
* Smith JM. Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis and atopic dermatitis. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF, Adkinson NF. eds. Allergy : Principle and practice. 3rd ed. St. Louis: Mosby, 1988: 891-929.
* Dahl R. Rhinitis and asthma. Dalam : Mygind N, Naclerio RM, eds. Allergic and non allergic rhinitis. Clinical aspects. Copenhagen: Munks-gaard, 1993: 184-8.
* Broder I, Higgin MW, Mathews KP, Keller B. Epidemiology of asthma and allergic rhinitis in atotal community. Tecumseh, Michigan. J Allerg Clin Immunol 1974; 54: 100-10.
* Settipane RJ, Hagy GW, Settipane GA. Longterm risk factors for developing asthma and rhinitis : a 23-year follow up study of college students. Allerg Proc 1994; 15: 21-5.
* NHLBI/WHO Workshop report. Global Initiative for Asthma. Publication No. 95-3859. January 1995; 1-176.
* Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J Allerg Clin Immunol 1997; 99: 5781-6.
* Mygind N, Bisgaard H. Applied anatomy of the airways. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and differences. Copenhagen: Munksgaard. 1990: 21-37.
* Persson CCA. Pipkorn U. Pathogenesis and pharmacology of asthma and rhinitis. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and differences. Copenhagen. Munksgaard, 1990: 275-88.
* Simon FER. Allergic rhinobronchitis: the asthma-allergic rhinitis link. J Allerg Clin Immunol 1994; 104 : 534-40.
* Passalacqua G Ciprandi G, Canonica GW. United airway diseases: thera-peutic implication. Thorax 2000: 55(Suppl 2)S26-S27.
* Schleimer RP, Togias AG. Introduction. Systemic Aspects of Allergic Diseases. J Allerg Clin Immnunol 2000; 106(Suppl): 191s
* Madonini E, Briatico-Vangosa B, Pappacoda A, Maccagini G, Cardani A, Saporiti F. Seasonal increased bronchial reactivity in allergic rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1987; 79: 358-63.
* Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Asymptomatic bronchial hyperresponsiveness in rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1985; 75: 573-7.
* 13.Verdiani P, Di Carlo S, Baronti A. Different prevalence and degree of nonspesific bronchial hyperreactivity between seasonal and perennial rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 576-82. 14.Prieto L, Berto JM, Guiterrez V. Airway responsiveness to metacholine and risk of asthma in patients with allergic rhinitis. Ann Allerg 1994; 72: 534-9.
* Corren J. Adinoff AD, Buchmeier AD, Irvin CG. Nasal beclomethasone prevents the seasonal increase in bronchial responsiveness in patients with allergic rhinitis and asthma. J Allerg ClinImmunol 1992; 98: 250-6.
* Henriksen JW, Wenzel A. Effect of an intranasal administered corti-costeroid (budesonide) on nasal obstruction, mouth breathing and asthma. Am Rev Respir Dis 1984; 130: 1014-8.
* Watson WTA, Becker AB, Simmons FER. Treatment of allergic rhinitis with intranasal corticosteroids in patients with mild asthma: Effect on lower airway responsiveness. J Allerg Clin Immunol 1993; 91: 97-101.
* Wood RA, Eggleston PA. The effects of intranasal steroids on nasal and pulmonary response to cat exposure. Am J Respir Crit Care Med 1995; 151: 315-20.
* Karlin JM. The use of antihistamines in asthma. Ann Allerg 1972; 30: 342-7.
* Meltzer EO. The use of anti-H1 drugs in mild asthma. Allergy 1995; 50: 41-7.
* Rafferty P, Jackson L, Smith R, Holgate ST. Terfenadine: a potent H1-receptor antagonist in the treatment of grass pollen sensitive asthma. Br J Clin Pharmacol 1990; 30: 229-35.
* Grant JA, Nicodemus CF, Findaly SR et al. Cetirizine in patients with seasonal allergic rhinitis and concomitant asthma: prospective randomized, placebo-controlled trial. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 723-32.
* Cristina Seminario M, Gleich GJ. The role of eosinophils in the pathogenesis of asthma. Curr Op Immunol 1994; 6: 860-4.
* Mygid N. Pathophysiology of allergic rhinitis. Eur Respir Rev 1994; 4: 248-51.
* Paolieri F, Battifora M, Riccio AM et al. Terfenadine and fexofenadine reduce in vitro ICAM-1 expression on human continuous cell link. Ann Allerg Asthma Immunol 1998; 81: 601-7.
* Abdelaziz MM, Devalia JL. Kahir OA et al. Effect of fexofenadine on eosinophil-induced changes in epithelial permeability and cytokine relea-se from nasal epithelial cells of patients with seasonal allergic rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1998; 101: 410-20
* Vignola AM, Crampetle L, Mondain M et al. Inhibitory activity of loratadine and descarboethoxyloratadine on expression of ICAM-1 and HLA-DR by nasal epithelial cells. Allergy 1995; 50: 2000-3.
* Redier H, Chanez P, De Vos C et al. Inhibitory effect of cetirizine on bronchial eosinophil recruitment induced by allergen inhalation challenge in allergic patients with asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 215-24.
* Ciprandi G, Buscaglia S, Pesce G et al. Cetirizine reduces inflammatory cell recruitment and ICAM-1 (or CD-54) expression on conjunctival epithelium in both early and late phase reaction after allergen-specific challenge. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 612-21.
* Fadel R, Herpin-Richard N, Rilioux JP, Henocq E. Inhibitory effect of cetirizine 2 HCl on eosinophil migration in vivo. Clin Allerg 1987; 17: 373-9.
* Ciprandi G, Ricca V, Tosca M, Landi M, Passalaeque G, Cononica GW. Continuous antihistamine treatment controls allergic inflammation and reduces respiratory morbidity in children with mite allergy. Allergy 1999;
* 54: 358-65.
* Ciprandi G, Tosca M, Passalaequa G, Cononica G. Longterm cetirizine treatment reducesallergic symptoms and drug prescriptions in children with mite allergy. Ann Allerg Asthma Immunol 2001; 87: 222-6.
* Kaufman J, Wright GW. The effect of nasal and nasopharyngeal irritation on airway resistance in man. Am Rev Resp Dis 1969; 100: 626-30. ]
* Kaufman J, Chen JC, Wright GW. The effect of trigeminal resection on reflex bronchoconstriction after nasal and nasopharyngeal irritation in man. Am Rev Resp Dis 1970;101: 768-9.
* Yan K, Salome C. The response of the airways to nasal stimulation in asthmatics with rhinitis. Eur J Resp Dis 1983; (suppl): 105-8.
* Little NT, Carlisle CC,Millman RP, Braman SS. Changes in airway resis-tance following nasal provocation.Am Rev Respir Dis 1990;141:580-3.
* Brugman SM, Larson GL, Henson PM, Honor J, Irvin CG. Increased
* airway responsiveness associated with sinusitis in a rabbit model . Am Rev Resp Dis; 147: 314-.
* Shurtman-Ellstein R, Zeballos RJ, Buckley JM, Souhrada JF. The bene-ficial effect of nasal aerating in exercise induced broncho-constriction. Am Rev Respir Dis 1978; 118: 65-73.
* Bardin PG, Van-Heerden BB, Joubert JR. Absence of pulmonary aspiration of sinus contents in patients with asthma and sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 82-8.
* Bresciani M, Paradis L, Des Roches A, et al. Rhinosinusitis in severe asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 107: 73-80.
* Corren J, Togias A, Bousquet J, editors. Lung biology in health and disease. Volume 181: upper and lower respiratory disease. New York: Marcel Dekker, 2003.
* Bousquet J, Jacot W, Vignola AM, et al. Allergic rhinitis: a disease remodeling the upper airways? J Allergy Clin Immunol 2004; 113: 43-49.
* Kay AB. Concepts of allergy and hypersensitivity. In: Kay AB, editor. Allergy and allergic diseases. Oxford: Blackwell Science, 1997.
* Management of allergic rhinitis and its impact on asthma: pocket guide. Asthma workshop report in collaboration with the World Health Organization. Geneva: WHO, 2001.
* National Asthma Council Australia. Asthma management handbook 2002. Melbourne: National Asthma Council Australia Ltd, 2002.
* Togias A. Rhinitis and asthma: evidence for respiratory system integration. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 1171-1183.
* McCusker CT. Use of mouse models of allergic rhinitis to study the upper and lower airway link. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2004; 4: 11-16.
* Gaga M, Lambrou P, Papageorgiou N, et al. Eosinophils are a feature of upper and lower airway pathology in non-atopic asthma, irrespective of the presence of rhinitis. Clin Exp Allergy 2000; 30: 663-669.
* Braunstahl GJ, Kleinjan A, Overbeek SE, et al. Segmental bronchial provocation induces nasal inflammation in allergic rhinitis patients. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 2051-2057.
* Braunstahl GJ, Overbeek SE, Fokkens WJ, et al. Segmental bronchoprovocation in allergic rhinitis patients affects mast cell and basophil numbers in nasal and bronchial mucosa. Am J Respir Crit Care Med 2001; 164: 858-865.
* Denburg JA, Sehmi R, Saito H, et al. Systemic aspects of allergic disease: bone marrow responses. J Allergy Clin Immunol 2000; 106 (5 Suppl): S242-S246.
* Guerra S, Sherrill DL, Martinez FD, Barbee RA. Rhinitis as an independent risk factor for adult-onset asthma. J Allergy Clin Immunol 2002; 109: 419-425.
* Toelle BG, Xuan W, Peat JK, Marks GB. Childhood factors that predict asthma in young adulthood. Eur Respir J 2004; 23: 66-70.
* Tosca MA, Cosentino C, Pallestrini E, et al. Improvement of clinical and immunopathologic parameters in asthmatic children treated for concomitant chronic rhinosinusitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 91: 71-78.
* Taramarcaz P, Gibson PG. Intranasal corticosteroids for asthma control in people with coexisting asthma and rhinitis. Cochrane Database Syst Rev 2003; (3): CD003570.
* Grieff L, Andersson M, Svensson C, et al. Effects of orally inhaled budesonide in seasonal allergic rhinitis. Eur Respir J 1998; 11: 1268-1273.
* Stelmach R, do Patrocinio T Nunes M, Ribeiro M, Cukier A. Effect of treating allergic rhinitis with corticosteroids in patients with mild-to-moderate persistent asthma. Chest 2005; 128: 3140-3147.
* Adams RJ, Fuhlbrigge AL, Finkelstein JA, Weiss ST. Intranasal steroids and the risk of emergency department visits for asthma. J Allergy Clin Immunol 2002; 109: 636-642.
* Grant JA, Nicodemus CF, Findlay SR, et al. Cetirizine in patients with seasonal rhinitis and concomitant asthma: prospective, randomized, placebo-controlled trial. J Allergy Clin Immunol 1995; 95: 923-932.
* Warner JO; ETAC Study Group. Early Treatment of the Atopic Child. A double-blinded, randomized, placebo-controlled trial of cetirizine in preventing the onset of asthma in children with atopic dermatitis: 18 months’ treatment and 18 months’ posttreatment follow-up. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 929-937.
* Greenfeder S, Umland SP, Cuss FM, et al. Th2 cytokines and asthma. The role of interleukin-5 in allergic eosinophilic disease. Respir Res 2001; 2: 71-79.
* Donnelly AL, Glass M, Minkwitz MC, Casale TB. The leukotriene D4-receptor antagonist, ICI 204,219, relieves symptoms of acute seasonal allergic rhinitis. Am J Respir Crit Care Med 1995; 151: 1734-1739.
* Thien FC. Leukotriene receptor antagonist drugs for asthma. Med J Aust 1999; 171: 378-381.
* Holgate ST, Djukanovic´ R, Casale T, Bousquet J. Anti-immunoglobulin E treatment with omalizumab in allergic diseases: an update on anti-inflammatory activity and clinical efficacy. Clin Exp Allergy 2005; 35: 408-416.
* Strunk RC, Bloomberg GR. Omalizumab for asthma. N Engl J Med 2006; 354: 2689-2695.
* Alves B, Sheikh A, Hurwitz B, Durham SR. Allergen injection immunotherapy for seasonal allergic rhinitis. Cochrane Database Syst Rev 2000; (1): CD001936.
* Abramson MJ, Puy RM, Weiner JM. Allergen immunotherapy for asthma. Cochrane Database Syst Rev 2003; (4): CD001186.
* Pajno GB, Barberio G, De Luca F, et al. Prevention of new sensitizations in asthmatic children monosensitized to house dust mite by specific immunotherapy. A six-year follow-up study. Clin Exp Allergy 2001; 31: 1392-1397.
* Moller C, Dreborg S, Ferdousi HA, et al. Pollen immunotherapy reduces the development of asthma in children with seasonal rhinoconjunctivitis (the PAT study). J Allergy Clin Immunol 2002; 109: 251-256.
* Novembre E, Galli E, Landi F, et al. Coseasonal sublingual immunotherapy reduces the development of asthma in children with allergic rhinoconjunctivitis. J Allergy Clin Immunol 2004; 114: 851-857.
* Gotzsche PC, Johansen HK, Schmidt LM, Burr ML. House dust mite control measures for asthma. Cochrane Database Syst Rev 2004; (4): CD001187.
* O’Connor GT. Allergen avoidance in asthma: what do we do now? J Allergy Clin Immunol 2005; 116: 26-30.
* Peat JK, Mihrshahi S, Kemp AS, et al. Three-year outcomes of dietary fatty acid modification and house dust mite reduction in the Childhood Asthma Prevention Study. J Allergy Clin Immunol 2004; 114: 807-813.
* Stevenson DD, Szczeklik A. Clinical and pathologic perspectives on aspirin sensitivity and asthma. J Allergy Clin Immunol 2006; 4 Sep [online].
* Berges-Gimeno MP, Simon RA, Stevenson DD. Long-term treatment with aspirin desensitization in asthmatic patients with aspirin-exacerbated respiratory disease. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 180-186.
* National Health and Medical Research Council. How to use the evidence: assessment and application of scientific evidence. Canberra: NHMRC, 2000. http://www.nhmrc.gov.au/publications/_files/cp69.pdf (accessed Jul 2006).
* Berry MA, Hargadon B, McKenna S, et al. Observational study of the natural history of eosinophilic bronchitis. Clin Exp Allergy 2005; 35: 598-601.
* Hurst JR, Wilkinson TM, Perera WR, et al. Relationships among bacteria, upper airway, lower airway, and systemic inflammation in COPD. Chest 2005; 127: 1219-1226.
* Hurst JR, Perera WR, Wilkinson TM, et al. Systemic and upper and lower airway inflammation at exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2006; 173: 71-78.
* Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Lancet 1998; 351: 1225-1232.
* Toelle BG, Ng K, Belousova E, et al. Prevalence of asthma and allergy in schoolchildren in Belmont, Australia: three cross sectional surveys over 20 years. BMJ 2004; 328: 386-387.
Provided by
children’s ALLERGY CLINIC
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar