Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat diidentifikasi.
EDWAR JENNER
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
ROBERT KOCH
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.
ALEXANDER YERSIN DAN ROUX
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.
Clemens von pirquet
Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarkan dengan istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
Metchnikoff
pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produksi antibodi.
Provided by
children’s ALLERGY CLINIC
email : judarwanto@gmail.com
Kamis, 15 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar