Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto
BATASAN
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain� khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.
PATOFISIOLOGI
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :
� Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
� Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag.
� Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
� Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dapat berbeda dengan orang lain, dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering,dapat berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema nodusum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven Johnson.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi anafilaksis, karena adanya hipotensi,spasme bronkus,sembab laring,angioudema atau urtikaria generalisata. Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat tetapi biasanya pada hari 7-10 dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau beberapa hari kemudian. Demam disebabkan karena pelepasan sitokin. Beberapa obat dapat sebagai pirogen langsung misalnya amfoterisis B, simetidin, dextran, besi kalsium dan dimerkaprol. Mekanismenya belum jelas pada anak, epinefrin dapat menimbulkan demem karena bersifat vasokostriktor, dengan demikian menghambat pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atrofin serta fenotiasin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa obatseperti alupurinol, azatioprim, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilamin, penisilin, fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.
Tabel 1. : Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis
Anafilaksis
Sembab laring , hipotensi , bronkospasme
Erupsi kulit
Urtikaria/angioudema , pruritus , ruam makulopapular, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis,eritema nodusum, eritema multiforme,sindroma Steven Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitif.
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik,netropenia,trobositopenia.
Kelainan paru
Pneumonitis interstitialis/aveolaris,edema paru/fibrosis paru.
Kelainan renal
Nefritis interstitialis,glomerulonefritis,sindroma nefrotik.
Penyakit Serum
Demam obat
Vaskulitis sistemik
Limfadenopati
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat. Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting. Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi� kulit seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang obat yang sama atau dengan struktur obat yang sama (Tabel 2). Gambaran fisik terutama erupsi kulit ada pola gambaran tertentu untuk masing-masing obat (Tabel 3).
Tabel 2. : Kriteria Klinis Alergi Obat
1
The observed manifestation do not resemble the pharmacological action of the drug
2
The reaction are generally similar to those which may,occur with other Antigen.
3
An induction period commonly 7-10 days is required following initial exposure to the drug
4
The reaction may be reproduced by cross reacting chemical structures.
5
The reaction� may be reproduced by minute dose of the drug.
6
Blood� and /or tissue eosinophilia may be present.
7
Discontinuation of the drug result in resolution of the reaction.
8
The reaction occurs in a minority� of� patients receiving the drug.
�
Tabel 3. : Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka
Exanthems :
Ampicillin, penicillin
Phenilbutazone
Sulphonamides
Phenitoin
Carbamazepine
Gold
Allopurinol
Lichenoid eruptions :
Anti maalarials
Beta blockers
Chlorpropamide
Gold
Methyl dopa
Penicillamine
Phenylbutazone
Sterptomycin.
Erythema multiforme and Steven
Johnson Syndrome:
Trimetrprim,Smx
Penicillin
Griseofulvin
Tetracyclines
NSADs
Gold
Anticonvulsant
Tokxicepidermal necrolysis
Allopurinol
Apirin
Penicillin
Phenytoin
Sulfasalazine
Acneform eruptions :
Cortcosteroids
Anabolic steroids
Androgens (in female)
Oral contraceptives
Iodides and bromides
Lithium
Isoniazid
Uji Laboratorium :
Uji invivo.
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
Uji in vitro.
Uji in vitro� untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb�s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.
PENATALAKSANAAN
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.
Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan� pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari;� > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;� > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari;� > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan� sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan� semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan..
PROGNOSIS
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boguniewicz M. Adverse reaction to drugs. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 783-785.
2. Bernstein IL, Gruchalla RS, Lee RE. Disease management of drug hypersensitivity : A practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol 1999;� 83 : 678-79.
3. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
4. Gruchalla R. Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
5. Viard I., Wehrli P., Bullani R.� Inhibition of toxic epidermal necrolysis by blockade of CD95 with human intravenous immunoglobulin. Science 1998; 282 : 490-3.
Sabtu, 17 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar